Aktivis Hong Kong Ajak Taiwan Bersama Melawan China

Aktivis Hong Kong Ajak Taiwan Bersama Melawan China

Unjuk rasa di Bandara Hong Kong. (Foto: Bloomberg)

Hong Kong - Para pegiat pro demokrasi Hong Kong meminta pemerintah Taiwan untuk bergabung dengan mereka menghadapi pemerintah China yang dianggap otoriter. Mereka berharap Taiwan mau menggelar aksi sebelum peringatan 70 tahun pendirian Partai Komunis China pada 1 Oktober mendatang.

"Sahabat kami di Taiwan bukan cuma pemerhati demonstrasi Hong Kong. Mereka juga peserta. China pasti akan mengambil alih Taiwan setelah mereka menguasai Hong Kong," kata tokoh mahasiswa sekaligus pemimpin Gerakan Payung Hong Kong, Lester Shum, dalam jumpa pers di Taipei, seperti dilansir Reuters, Rabu (4/9/2019).

"Saya harap orang-orang bisa memberikan sumbangan ide untuk bagaimana memenangkan perang melawan sikap teror dan otoriter Beijing," ujar Shum.

Dalam jumpa pers itu juga hadir pentolan aktivis Hong Kong, Joshua Wong. Dia meminta warga Taiwan untuk menggelar unjuk rasa besar-besaran untuk menyatakan sikap menentang China.

"Kami berharap Hong Kong suatu hari seperti Taiwan, tempat dengan demokrasi dan kebebasan," kata Joshua.

Presiden Taiwan, Tsai Ing-wen, menyatakan terus mengamati perkembangan situasi di Hong Kong dari jauh. Dia menampik tuduhan China yang menyebut Taiwan terlibat dalam gerakan massa di Hong Kong.

"Kami akan menyediakan bantuan untuk warga Hong Kong di Taiwan, dan tidak hanya diam. Republik China (Taiwan) tetap mendukung demokrasi dan kebebasan di Hong Kong, dan berharap masyarakat setempat bisa kembali stabil," demikian pernyataan Tsai.

Kemarin pemerintah China menyatakan tetap mendukung pemimpin Hong Kong, Carrie Lam, melanjutkan tugasnya. Pernyataan itu disampaikan tak lama setelah beredar kabar bahwa Lam ingin mengundurkan diri untuk meredam demonstrasi.

"Kami menegaskan dukungan untuk pemimpin eksekutif Hong Kong, Carrie Lam, dalam memimpin pemerintahan SAR (Kawasan Administrasi Khusus)," ujar juru bicara Kantor Hubungan Macau dan Hong Kong, Yang Guang.

Setelah dikembalikan Inggris kepada China pada 1997, warga Hong Kong dijanjikan tidak mengalami hal yang sama dengan penduduk China daratan. Dalam perjanjian itu, Inggris mensyaratkan Hong Kong harus tetap menjunjung demokrasi dan diberi ruang untuk menyatakan pendapat serta sistem hukum yang mandiri.

Meski begitu, kondisi Hong Kong menjadi panas sejak pertengahan Juni karena para aktivis menolak pembahasan Rancangan Undang-Undang Ekstradisi. Mereka khawatir beleid itu menjadi pasal karet untuk menjerat dan membungkam para aktivis yang tidak sejalan dengan pemerintah China.

(*)

Artikel ini terbit pertama kali di CNN Indonesia
 


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews