Prabowo Persoalkan DPT hingga Situng dalam Gugatan ke MK

Prabowo Persoalkan DPT hingga Situng dalam Gugatan ke MK

Prabowo Subianto.

Jakarta - Prabowo-Sandi dalam gugatannya ke Mahkamah Konstitusi (MK) tak hanya mempersoalkan dugaan kecurangan yang dilakukan Jokowi, tetapi juga KPU sebagai penyelenggara. 

BPN Prabowo-Sandi menyebut terdapat 3 poin kejanggalan yang diduga dilakukan KPU. Sehingga hal itu dinilai bisa merugikan paslon 02, Prabowo-Sandi. 

Berikut 3 poin gugatan BPN yang termuat dalam argumentasi kecurangan kuantitatif di Pilpres 2019: 

Berikut 3 poin gugatan BPN yang termuat dalam argumentasi kecurangan kuantitatif di Pilpres 2019: 

DPT Tidak Masuk Akal

BPN menilai ada 17,5 juta daftar pemilih tetap (DPT) yang tidak masuk akal. Sebanyak 17,5 juta DPT yang tidak masuk akal itu dibagi dalam 3 kelompok yakni data kelahiran 1 Juli sebanyak 9,817,003 orang, kelahiran 31 Desember sebanyak 5,377,401 orang, dan kelahiran 1 Januari 2,359,304 orang. 

BPN menemukan DPT tak masuk akal itu masuk dalam daftar pemilih di 19.427 TPS di Pulau Jawa. Salah satunya di TPS 5, Desa Genteng, Bangkalan, Jawa Timur. Di TPS tersebut, terdapat 228 DPT yang bertanggal lahir 1 Juli

"Akal sehat tentu sangat meragukan, bagaimana mungkin di satu TPS ada 228 orang yang punya data lahir sama tanggalnya," bunyi gugatan BPN. 

Selain persoalan tanggal lahir yang sama, BPN juga menemukan adanya 20.475 pemilih di DPT yang ternyata berusia di bawah 17 tahun. 

Sayangnya, KPU hanya melakukan klarifikasi dengan cara sampling sebanyak 3.384 orang saja. Sehingga KPU dinilai terbukti melanggar prinsip one person, one value, one vote.

Masalah lainnya dalam DPT yakni adanya pemilih berusia di atas 90 tahun, dengan kelahiran tahun 1800 atau 1900 sebanyak 304.782 orang. BPN menganggap KPU tidak mampu mengklarifikasi kebenaran data tersebut. 

"Semua fakta ini menunjukkan terdapat kekeliruan yang terstruktur, sistematis, dan masif yang tidak bisa diatasi KPU," ucap BPN. 

Kekacauan Situng

BPN menemukan banyaknya kesalahan input data pada Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng). Hal itu menyebabkan ketidaksesuaian informasi dengan data yang ada pada C1 yang dipindai KPU dari 34 provinsi. 

BPN kemudian mencontohkan adanya studi kasus kekacauan Situng di Jawa Timur. Dalam studi kasus itu, terdapat permasalahan di 3.742 TPS yakni:

Jumlah seluruh pengguna hak pilih tidak sama dengan jumlah surat suara yang digunakan. Hal ini tersebar di 1.573 TPS.

Surat suara  yang digunakan tidak sama dengan jumlah surat suara sah dan tidak sah. Tak hanya itu, jumlah suara paslon yang tidak sama dengan sumber data C1 yang dipindai/scan oleh KPU di mana hal ini tersebar di 1.820 TPS.

Pengguna hak pilih dalam DPTb atau pemilih dari TPS lain lebih besar dari daftar pemilih terdaftar dalam DPTb yang tersebar di 349 TPS. 

"KPU telah menampilkan Situng yang membohongi publik karena banyaknya cacat jumlah angka dan cacat bentuk form C1, yang kemudian dipergunakan sebagai acuan informasi publik terkait hasil penghitungan Pilpres 2019," jelas BPN dalam gugatannya.

Dokumen C7 Sengaja Dihilangkan 

BPN menyebut dokumen C7 (daftar hadir pemilih di TPS) merupakan salah satu dokumen yang penting. Namun demikian, BPN menemukan banyak dokumen C7 yang sengaja dihilangkan, salah satunya di Kabupaten Sidoarjo, Jatim. 

BPN pun siap membuktikan di daerah mana saja C7 yang sengaja dihilangkan saat proses persidangan. 

Dengan bukti-bukti tersebut, BPN dalam petitumnya meminta kepada MK agar menyatakan batal atau tidak sah keputusan KPU terkait hasil Pemilu 2019, menyatakan paslon 01 melakukan pelanggaran dan kecurangan secara TSM, mendiskualifikasi Jokowi-Ma'ruf dari peserta Pilpres 2019, menetapkan Prabowo-Sandi sebagai presiden-wapres terpilih 2019-2024, atau meminta KPU melaksanakan PSU di seluruh Indonesia.

(*)


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews