Rupiah Hari Ini Capai Rp15.720 Akibat Data Inflasi AS yang Melampaui Ekspektasi

Rupiah Hari Ini Capai Rp15.720 Akibat Data Inflasi AS yang Melampaui Ekspektasi

Ilustrasi

Jakarta, Batamnews - Rupiah mengalami pelemahan terhadap Dolar Amerika Serikat (AS) setelah data inflasi konsumen AS melampaui ekspektasi pasar. Menurut data dari Refinitiv, rupiah dibuka pada angka 15.720 per Dolar AS, mengalami penurunan sebesar 0,22% terhadap mata uang AS. 

Posisi ini mengakhiri tren penguatan selama dua hari berturut-turut dan merupakan level terendah sejak 10 Oktober 2023.

Sementara itu, pada hari Jumat, 13 Oktober 2023, indeks dolar AS (DXY) berada pada level 106,47, turun sebesar 0,12% dibandingkan dengan penutupan perdagangan pada Kamis, 12 Oktober 2023, yang berada di angka 106,60.

Pekan sebelumnya, AS merilis data Indeks Harga Konsumen (IHK) untuk bulan September 2023. Tingkat inflasi AS untuk periode tersebut mencapai 3,7% secara tahunan, tetapi angka ini melebihi ekspektasi pasar sebesar 3,6%. 

Baca juga: Ini Penyebab Utama Pelemahan Kurs Rupiah hari ini Capai Rp15.730 terhadap Dolar AS

Inflasi bulanan juga naik sebesar 0,4% (mtm) dan 3,7% (yoy) pada September 2023. Data ini membuat pasar kecewa karena mencerminkan tingginya inflasi dan masih panasnya ekonomi AS. 

Situasi ini mungkin akan mengarah pada kebijakan ketat oleh bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), di masa depan, seiring dengan fakta bahwa inflasi masih jauh dari target sasaran The Fed sebesar 2%.

Kondisi yang sulit ini juga diperparah oleh tingginya imbal hasil US Treasury dan lonjakan harga energi akibat konflik antara Israel dan Hamas. 

Imbal hasil US Treasury dengan tenor 10 tahun mendekati 5%, yang diperkirakan akan menyebabkan lonjakan suku bunga pinjaman perumahan dan membuat inflasi pada sektor tersebut sulit turun.

Tingkat inflasi yang tinggi di AS ini meningkatkan ekspektasi pasar mengenai kemungkinan kebijakan ketat dari The Fed di masa mendatang. 

Perangkat CME FedWatch menunjukkan bahwa hanya 9,2% pelaku pasar memperkirakan kemungkinan kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin pada bulan November mendatang, sementara persentase yang lebih besar muncul dalam Federal Open Market Committee (FOMC) bulan Desember, yakni sebesar 32,2%.

Baca juga: Waspada Rupiah Mendekati Level Tertinggi Tahun ini, Berpotensi Tekan Daya Beli dan Inflasi

Semakin meningkatnya kekhawatiran pelaku pasar mengenai kebijakan ketat ini dapat memicu arus keluar modal dari pasar keuangan Indonesia, termasuk Surat Berharga Negara (SBN), dan berpotensi memberikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah.

Di samping itu, di Asia, China telah merilis data inflasi konsumen yang mengejutkan dengan stagnasi pada bulan September 2023, tidak sesuai dengan perkiraan pasar yang mengharapkan kenaikan sebesar 0,2% setelah kenaikan sebesar 0,1% pada bulan Agustus. 

Situasi ini membawa sentimen negatif bagi negara-negara pasar berkembang, termasuk Indonesia, karena angka inflasi yang rendah mengindikasikan bahwa China masih mengalami perlambatan ekonomi. 

China adalah salah satu tujuan utama ekspor Indonesia, sehingga perlambatan ekonomi di China dapat merambat ke Indonesia.


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews