Negoisasi Investasi Yes Relokasi No "Catatan Kepedulian Terhadap Warga Rempang"

Negoisasi Investasi Yes Relokasi No "Catatan Kepedulian Terhadap Warga Rempang"

Pulau Rempang. (Foto: Google Maps)

Oleh: Fatmawati, S.PdI

Demikianlah kesimpulan yang bisa kita tarik dari rentetan peristiwa aksi #SaveRempang seperti yang dimuat di berbagai media elektronik dan siber akhir-akhir ini dan pada akhirnya berlanjut dalam proses negoisasi Investasi Yes Relokasi No. Negara sepertinya ngotot untuk merelokasi warga Rempang yang sudah berdiam sejak lama demi memenuhi keinginan dan kenyamanan investor atas rencana investasinya, sementara warga Rempang menolak relokasi karena memang sudah mendiami tanah leluhur sejak lama, namun tetap mendukung investasi. Pada akhirnya, sekarang kembali ke proses negoisasi karena ada aksi penolakan.

Efek dari hal ini, aksi demonstrasi juga tidak bisa dibendung, apalagi setelah ada tindakan represif aparat yang direstui pemerintah dalam upaya mengeksekusi lahan Rempang untuk investor dengan tindakan mematok lahan dimana warga Rempang bermukim dan kemudian diperparah lagi dengan gas air mata saat mengeksekusi lahan warga yang kemudian membuat sebagian warga cedera dan anak-anak usia sekolah berlarian saat sedang belajar di ruang kelas. Konflik pun terjadi dan semakin memanas.

Kemudian menjadi perhatian bersama karena masalah ini sudah menyentuh masalah kemanusiaan. Sebagian publik kemudian menganggap negara tidak manusiawi, negara tidak peduli dengan rakyatnya dan beragam tudingan negatif lainnya. Sementara perspektif negara mereka ingin menciptakan lapangan kerja, meningkatkan perekonomian tapi kemudian ingin memindahkan orang yang sejak lama tinggal di kampung tua.

 

Sejarah Rempang dan Marwah Kita

Mengutip tulisan, "Membangun Pulau Rempang, Melindungi Masyarakat Lokal" yang ditulis oleh Dedi Arman, Peneliti Pusat Riset Kewilayahan-Badan Riset Inovasi Nasional di Republika.id yang dipublish pada 8 September 2023, ada beberapa point sejarah penting terkait pulau Rempang ini.

Pertama, Kesejarahan Rempang-Galang masa lampau bisa dilihat dalam catatan arsip Belanda dan Kesultanan Riau Lingga. Setidaknya sejak Abad 19, sejumlah sumber Belanda dan arsip Kesultanan Riau Lingga menunjukkan daerah Rempang dan Galang sudah ramai penduduknya.

Kedua, Catatan Elisha Netscher dalam Beschrijving van Een Gedeelte Der Residentie Riouw (1854), ada 18 pabrik pengolahan gambir (bangsal) di Kepulauan Riau tahun 1848. Diantaranya ada di Galang, Sembulang, Duriangkang, dan Mukakuning. Pemilik bangsal gambir ini adalah orang Tionghoa. Tidak hanya gambir, perkebunan lada juga ada di wilayah Galang dan Rempang, serta Batam.

Ketiga, Tahun 1861, Yang Dipertuan Muda (YDM) Riau X, Raja Muhammad Yusuf atas nama Sultan Riau Lingga dan disetujui Residen Belanda di Tanjungpinang mengeluarkan plakat, memberikan izin kepada tauke Tionghoa untuk membuka ladang gambir di Pulau Cembul, Pulau Bulang dan wilayah lain di Batam. Dalam plakat itu ditegaskan, pihak Kerajaan Riau Lingga akan menghukum seberat-beratnya siapa saja yang mengganggu usaha gambir orang Tionghoa itu.

Keempat, ada dua kelompok masyarakat yang mendiami Rempang-Galang sejak abad ke-19 tersebut. Pertama, masyarakat Melayu dan Tionghoa. Masyarakat Tionghoa menjadi tauke gambir, lada dan ikan. Sementara masyarakat Melayu banyak bekerja sebagai nelayan, selain menjadi pekerja di perkebunan gambir dan lada. Kedua, masyarakat adat yang mendiami Pulau Rempang-Galang, yakni Orang Darat dan Orang Laut. Orang Darat mendiami daerah Kampung Sadap di Rempang Cate. Sementara, Orang Laut mendiami daerah pesisir Rempang-Galang dan pulau-pulau sekitarnya. (Arman, 2023).

Kelima, secara administrasi wilayah Rempang-Galang dulunya masuk dalam kekuasaan Belanda. Pasca bubarnya Kesultanan Riau Lingga tahun 1913, seluruh daerah Riau-Lingga termasuk Rempang-Galang diakui tunduk di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Pasca Indonesia merdeka, wilayah Rempang-Galang masuk dalam wilayah Kecamatan Bintan Selatan, Kabupaten Kepulauan Riau. Saat terbentuknya Kotamadya Batam tahun 1983, wilayah Rempang-Galang bergabung dan berpisah dari Kabupaten Kepri. 

Selain sejarah di atas meminjam tulisan Tokoh Melayu Riau Hj. Azlaini Agus, "Konflik Pulau Rempang,"  di Batamnews.co.id, Rabu, 13 September 2023 dituliskan bahwa arti Kitab Tuhfat An-Nafis karya Raja Ali Haji (terbit perdana tahun 1890), dijelaskan bahwa penduduk Pulau Rempang, Galang dan Bulang adalah keturunan dari Prajurit-prajurit/Laskar Kesultanan Riau Lingga, yang sudah mendiami pulau2 tersebut sejak tahun 1720 M, di masa pemerintahan Sultan Sulaiman Badrul Alamsyah I.

Selama Perang Riau I (1782 - 1784) melawan Belanda, mereka menjadi prajurit Raja Haji Fisabilillah ( salah seorang Pahlawan Nasional). Kemudian dalam Perang Riau II, juga melawan Belanda (1784-1787) mereka menjadi prajurit yang dipimpin oleh Sultan Mahmud Riayat Syah. Kuatnya basis pertahanan di Pulau Rempang, Galang dan Bulang, sehingga pasukan Belanda dan Inggris tidak berani memasuki wilayah Kesultanan Riau Lingga. Anak cucu prajurit itulah yang sampai saat ini mendiami pulau Rempang, Galang dan Bulang secara turun temurun. Pada Perang Riau I dan Riau II, nenek moyang mereka disebut sebagai Pasukan Pertikaman Kesultanan (semacam pasukan elite).

Meminjam pendapatnya, jadi adalah keliru jika penguasa Negara Indonesia menganggap penduduk 16 Kampung Tua di Pulau Rempang sebagai pendatang. Penduduk Melayu yang berdiam di Pulau Rempang, termasuk juga Galang dan Bulang sudah eksis sejak lebih dari 300 tahun yang lalu, beranak-pinak berketurunan, hidup mendiami pulau tersebut serta menjaga nilai dan tradisi nenek moyang mereka sampai hari ini. Pada umumnya mereka beragama Islam.

Dari sisi historis, wajar kemudian relokasi ini bukanlah opsi yang mudah untuk ditawar. Baik dengan cara yang paling komunikatif sekalipun apalagi dengan pendekatan yang represif. Bagi masyarakat Melayu tanah Rempang adalah tanah leluhur dan bertuah. Tidak mungkin mereka tinggalkan begitu saja walau kemudian diiming-imingi tempat tinggal,  pekerjaan, uang pengganti dan fasilitas yang memadai.

 

Tentang Investasi

Melihat dari berbagai referensi rilis pemberitaan media disebutkan bahwa Proyek Kawasan Rempang Eco City termasuk ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Proyek ini sudah direncanakan sejak tahun 2004. Saat itu, pemerintah melalui BP Batam dan Pemko Batam, bekerja sama dengan PT Makmur Elok Graha. PSN diakui melalui keputusan Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Tahun 2021 mengenai Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.

Total wilayah dalam kawasan terintegrasi ini seluas 16.500 hektare dan yang digunakan dalam Proyek Rempang Eco City seluas 7.572 hektare. Kalau dipresentasekan luas wilayah Rempang yang digunakan sebesar 45,89 persen (katadata.co.id).

Masih meminjam data yang dirilis katadata.co.id, Pulau Rempang termasuk dalam kawasan Integrasi Batam dengan total luas wilayah 16.500 hektare. Sementara total lahan yang akan digunakan dalam Proyek Rempang Eco City ini seluas 7.572 hektare. Jika dikalkulasikan dalam bentuk persentase, maka luas wilayah Rempang yang digunakan sebesar 45.89 persen. 18 tahun lamanya proyek ini tertunda hingga pada Rabu 12 April 2023 pada akhirnya kawasan Pulau Rempang diresmikan sebagai kawasan industri dengan pengembangan kawasan dilakukan anak perusahaan Artha Graha milik Tomy Winata yang dijalankan oleh PT MEG (Makmur Elok Graha).

Mereka telah mengantongi Surat Keputusan (SK) Izin Usaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Penyediaan Sarana Wisata Alam (IUPJL-PSWA) dan SK Pelepasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK).

 

Adakah Solusinya?

Terlepas dari hal di atas, persoalan ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Negara dalam hal ini perlu memprioritaskan rakyatnya. Penulis lebih cenderung negara bernegosiasi dengan calon investornya untuk melindungi 16 Komunitas masyarakat di kampung tua daripada kemudian bernegosiasi dengan masyarakat yang sudah lama menetap di sana. Investasi Yes Relokasi No seperti harapan warga Rempang menerima investasi tapi menolak relokasi.

Terakhir, mari kita doakan bersama, semoga segera ada jalan keluar terbaiknya. Investasi tetap jalan, tanpa merelokasi warga Rempang dari tanah lahir dan leluhurnya.

Penulis adalah Ketua Komunitas Peduli Kampung Sendiri (KPKS) Bintan-Lingga.


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews