KUHP Baru Ancam Kebebasan Berpendapat, Koalisi Rakyat Batam Ngadu ke DPRD

KUHP Baru Ancam Kebebasan Berpendapat, Koalisi Rakyat Batam Ngadu ke DPRD

Koalisi Rakyat Batam menemui Ketua DPRD Batam bahas pengesahaan KUHP. (Foto: Istimewa)

Batam, Batamnews - Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) telah disetujui bersama oleh DPR RI dan pemerintah untuk disahkan menjadi UU KUHP dalam sidang paripurna DPR RI, Selasa (6/12/2022) lalu di Jakarta.

Serikat buruh yang bergabung dalam Koalisi Rakyat Batam menyayangkan keputusan itu diambil dengan mengabaikan minimnya partisipasi dan masukan masyarakat, termasuk kaum buruh di Indonesia.

Sejumlah pasal dalam UU KUHP tersebut disinyalir mengancam kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum dan kebebasan berekspresi kini menghadapi upaya pembungkaman.

Baca juga: Ekonomi Batam Tumbuh Menguat, Pembangunan Infrastruktur Terus Berlanjut di 2023

Serikat buruh dalam memperjuangkan hak-hak yang normatif akibat gagalnya perundingan, seperti yang tercantum dalam UU 13/2003 yaitu mogok kerja tidak bermakna lagi, hal ini akan lumpuh karena berhadapan dengan ancaman kriminalisasi.

"Dalam kehidupan yang demokratis, kemerdekaan menyampaikan pikiran dan pendapat sesuai dengan hati nurani dan hak memperoleh informasi, merupakan hak asasi manusia hakiki," ujar salah seorang perwakilan serikat buruh, Yapet Ramon, Jumat (9/12/2022).

Maka dengan itu, serikat buruh di Batam yang bergabung dalam Koalisi Rakyat Batam menyatakan, penolakan RKUHP, Omnibus Law, upah murah, kenaikan harga sembako, rencana kenaikan tarif dasar listrik. Selain itu, mereka juga menolak jaminan sosial untuk seluruh rakyat, menuntut pengesahan RUU PRT, tolak outsourcing dan land reform.

"Pasal 240; Penghinaan terhadap Pemerintah atau Lembaga Negara. Dalam pasal ini, penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara dilebur menjadi satu pasal dan menjadi delik aduan secara terbatas, yaitu untuk penghinaan yang tidak mengakibatkan kerusuhan," ujarnya.

 

Pasal tersebut, menurut Ramon, tidak sejalan dengan cita-cita demokrasi. Sebab, perbuatan penghinaan tidak perlu dipidana karena akan selalu sulit dibedakan dengan kritik.

"Pasal tersebut juga mesti dihapus karena pemerintah dan lembaga negara adalah objek kritik yang tidak dapat dilindungi dengan pasal pembatasan. Apalagi ini untuk institusi yang tak memiliki reputasi secara personal. Pasal penghinaan hanya untuk melindungi orang, bukan institusi," kata Ketua FSPMI Batam itu.

Kemudian, dalam Pasal 256 tentang larangan unjuk rasa tanpa pemberitahuan yang mengakibatkan terganggunya pelayanan publik dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak Rp 10 juta.

"Bahwa pemberitahuan ke aparat bukan lah izin. Pengaturan ini sudah dimuat dalam UU 9/1998, bahwa unjuk rasa digelar hanya dengan pemberitahuan," katanya.

Dari Pasal 510 KUHP, ancaman pidananya hanya pidana penjara 2 minggu. Sedangkan dalam Pasal 256 RKUHP menjadi 6 bulan pidana penjara.

Aksi Koalisi Rakyat Batam itu berlangsung di Kantor DPRD setempat. Mereka pun langsung disambut oleh Ketua DPRD Batam, Nuryanto.

"Kami akan menjembatani, menjadi penyambung lidah rakyat. Kami akan sampaikan aspirasi ini ke DPR RI," ujarnya.


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews