KEK Batam, Persoalan yang Menghantui Industri Baja RI

KEK Batam, Persoalan yang Menghantui Industri Baja RI

Foto: Reuters

Jakarta, Batamnews - Pasokan baja dalam negeri tercatat mengalami kelebihan dibanding permintaan yang terpantau tidak mengalami pertumbuhan dalam kurun 4 tahun terakhir.

Terkait impor ini juga menjadi batu sandungan bagi industri baja nasional. Melalui Penerbitan PP No. 41 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja, membuat produsen baja dalam negeri harus menelan pil pahit.

Dominasi impor di kawasan Free Trade Zone (FTZ) Batam menyebabkan produsen plat baja domestik harus mengurangi kapasitasnya. Produsen plat baja nasional harus menyesuaikan atau menjualnya ke pasar ekspor.

Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Hukum Internasional UI Rektor Universitas Jenderal A Yani, Hikmahanto Juwana memiliki tanda tanya besar terkait dengan pembebasan bea masuk yang justru dikecualikan di kawasan ekonomi khusus (KEK) tepatnya di Batam, Kepulauan Riau.

"Kenapa ini dikecualikan kalau di kawasan KEK atau dalam hal ini penyelenggaraan kawasan perdagangan bebas. Kenapa pemerintah melakukan itu?," ujarnya.

"Perlu diketahui, baja impor murah yang menjadi bahan baku kapal itu yang membuat produksi kapal di luar KEK dan FTZ/FPZ menjadi susah bersaing. Mudah saja, bagaimana produsen kapal di Surabaya, Jakarta atau wilayah lain bisa bersaing jika bahan bakunya saja sudah lebih mahal dibanding produsen kapal di Batam yang menjadi KEK dan FTZ/FPZ," terangnya.

Dia menegaskan, sudah sepatutnya Pemerintah bijak dalam membuat berbagai rancangan peraturan pelaksanaan dari UU Ciptaker sehingga tidak mencederai tujuan dari UU Ciptaker karena akan membuat investor berpikir ulang tentang keberlangsungan bisnis mereka.

Direktur Eksekutif The Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA), Widodo Setiadarmadji juga angkat bicara. IISIA melihat adanya permasalahan yang dihadapi industri baja khususnya terkait dengan Penerbitan PP No. 41 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja.

 

Impor baja khususnya produk pelat yang membanjiri Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (Kawasan Bebas) Batam terjadi akibat pembebasan bea masuk, di mana di dalamnya termasuk bea masuk antidumping (BMAD), bea masuk imbalan (BMI), bea masuk pengamanan perdagangan (BMTP) dan bea masuk pembalasan.

"Sejak 2015, impor di Kawasan Bebas Batam terus naik, hal ini yang menjadi kekhawatiran rekan-rekan industri baja di Indonesia, terutama produsen baja untuk galangan kapal. Diberlakukannya PP No. 41 Tahun 2021 pada Februari 2021 berpotensi menambah porsi impor di Batam," jelas Widodo.

Pemerintah telah mengenakan BMAD terhadap pelat baja asal Tiongkok, Singapura, dan Ukraina sejak 2012 (diperpanjang 3 kali hingga berlaku sampai 2024), namun pengenaan BMAD ini tidak dapat dikenakan di Kawasan Bebas Batam karena terbentur dengan PP No. 10 Tahun 2012 yang kemudian diperbarui dengan PP No. 41 Tahun 2021.

Data dari BPS menyebutkan bahwa dari tahun 2015, impor pelat baja di Batam mengalami kenaikan seiring dengan meningkatnya permintaan kebutuhan baja di Batam dari 107.000 ton di 2015 menjadi 400.000 ton di 2019.

Porsi produk baja domestik hanya mampu mengisi 96.000 ton di 2019 di mana selebihnya 76% baja impor menguasai pangsa pasar Batam dengan total 304.000 ton dari total keseluruhan kebutuhan baja. "Sementara dari jumlah baja yang diimpor di 2019, 68%-nya merupakan baja yang berasal dari negara yang melakukan dumping," lanjut Widodo.

Widodo mengatakan, dumping adalah praktik yang tidak diperbolehkan oleh hukum dagang internasional. Masuknya baja impor ke Kawasan Bebas Batam harus tetap diawasi agar tidak keluar produknya untuk kembali dijual di wilayah Indonesia.

Pengendalian importasi produk baja dapat dilakukan dengan tidak memberikan rekomendasi/Pertek untuk produk besi baja yang bisa diproduksi oleh produsen dalam negeri.

Pemerintah juga wajib meningkatkan pengawasan dan pemeriksaan barang impor khususnya produk baja impor paduan dari Tiongkok. Semoga pemerintah kembali mengkaji peraturan PP no 41 tahun 2021 sebagai bentuk keberpihakan kepada industri baja nasional.


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews