Pasca Ledakan bak Bom Atom, Terungkap Sederet Aib Lebanon

Pasca Ledakan bak Bom Atom, Terungkap Sederet Aib Lebanon

Kericuhan Demo di Lebanon (Foto: AP/Thibault Camus)

Lebanon sedang berduka setelah negara itu mengalami tragedi ledakan dahsyat di kawasan pelabuhan di kota Beirut. Kejadian yang berlangsung pada Selasa (4/8/2020) itu tidak hanya telah membuat porak-poranda wilayah di sekitar ledakan, tapi juga telah menelan korban jiwa ratusan orang dan menyebabkan ribuan lainnya luka-luka.

Tragedi ledakan itu menambah tekanan pada Lebanon yang sedang berada di masa sulitnya akibat wabah virus corona (COVID-19) dan juga krisis ekonomi yang sudah berlangsung cukup lama.

Akibat kekacauan ekonomi, puluhan ribu orang di negara itu telah terperosok ke dalam kemiskinan, seperti dikutip dari BBC. Kekacauan itu juga telah memicu lahirnya protes anti-pemerintah yang besar.

Sebagaimana diketahui, sebelum wabah corona dan ledakan terjadi, Lebanon telah terhimpit masalah ekonomi besar yang yang belum pernah terjadi sebelumnya. Di mana utang terhadap produk domestik bruto (PDB) atau jumlah utang suatu negara dibandingkan dengan penghasilannya, merupakan yang tertinggi ketiga di dunia.

Selain itu, angka pengangguran negara ini juga tinggi, mencapai 25% dan hampir sepertiga penduduk hidup di bawah garis kemiskinan.

Hal itu juga diperparah skema utang yang dijalankan oleh bank sentral negara itu. Dimana bank sentral telah meminjam dari bank komersial dengan suku bunga di atas pasar untuk membayar kembali utangnya dan mempertahankan nilai tukar tetap (fixed exchange rate) pound Lebanon dengan dolar Amerika Serikat (AS).

 

Itu bukan akhir kekacauan negara itu. Semua masalah itu diperparah oleh kegagalan pemerintah dalam menyediakan pelayanan dasar untuk warganya. Di mana warga harus berurusan dengan pemadaman listrik setiap hari, kekurangan air minum yang layak, memiliki layanan kesehatan publik yang terbatas, dan sejumlah koneksi internetnya merupakan yang terburuk di dunia.

Semua kekacauan itu membuat demo besar terjadi di negara itu. Banyak yang menyalahkan elit penguasa yang telah mendominasi politik selama bertahun-tahun. warga juga menuduh para pemimpin memikirkan kekayaan mereka sendiri di saat gagal melakukan reformasi besar-besaran yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah negara.

Demo besar itu meningkat pada 2019. Itu terjadi setelah pada awal Oktober tahun yang sama, negara dilanda kekurangan mata uang asing yang menyebabkan pound Lebanon kehilangan nilai terhadap dolar di pasar gelap. Industri pun terdampak kejadian itu, dan karenanya  serikat pekerja melakukan pemogokan.

Belum selesai masalah itu, negara dilanda kebakaran hutan yang belum pernah terjadi sebelumnya di pegunungan barat. Kejadian itu menguak fakta bahwa dana dan kelengkapan layanan pemadam kebakaran di Lebanon sangat minim.

Pada pertengahan Oktober, pemerintah mengusulkan pajak baru untuk tembakau, bensin, dan panggilan suara melalui layanan pesan seperti WhatsApp untuk mendapatkan lebih banyak pendapatan, tetapi protes keras memaksa negara untuk membatalkan rencana tersebut.

Bencana tersebut juga kembali menimbulkan gelombang ketidakpuasan yang telah membara di Lebanon selama bertahun-tahun.

 

Puluhan ribu orang Lebanon turun ke jalan, menyebabkan Perdana Menteri Saad Hariri yang didukung Barat dan pemerintah persatuannya mengundurkan diri. Setelahnya, demo terus berlanjut hingga melintasi garis sectarian dan membuat negara itu benar-benar terhenti.

Tak lama setelah itu, Perdana Menteri Hassan Diab yang baru diangkat mengumumkan bahwa Lebanon akan gagal membayar utang luar negerinya untuk pertama kalinya dalam sejarah. Pada saat itu Diab mengatakan cadangan mata uang asing negara telah mencapai tingkat "kritis dan berbahaya" dan bahwa dana yang tersisa harus digunakan untuk membayar impor penting.

Kemudian, wabah COVID-19 menyerang negara itu, memaksa penguncian (lockdown) dilakukan pada pertengahan Maret untuk mengekang penyebaran penyakit asal Wuhan, China itu.

Wabah membuat demo mereda, namun hal itu membuat krisis ekonomi semakin parah dan mengekspos buruknya sistem kesejahteraan sosial Lebanon. Selain itu, banyak PHK juga terjadi dan sejumlah pegawai bekerja tanpa gaji. Pada saat yang sama, kesenjangan antara nilai pound Lebanon pada nilai tukar resmi dan pasar gelap melebar; dan bank memperketat kontrol modal.

Kenaikan harga barang-barang juga terjadi pada saat itu, membuat banyak keluarga tidak mampu membeli kebutuhan pokok.

Demi mengurangi masalah itu, pemerintah akhirnya menyetujui rencana pemulihan yang diharapkan dapat mengakhiri krisis ekonomi dan mendapatkan dukungan dari Dana Moneter Internasional (IMF) untuk paket bailout senilai US$ 10 miliar.

Sayangnya, keadaan terus memburuk hingga Diab memperingatkan bahwa Lebanon berisiko mengalami krisis pangan besar.

"Banyak orang Lebanon telah berhenti membeli daging, buah-buahan dan sayuran, dan mungkin akan merasa sulit untuk hanya membeli roti," tulisnya di Washington Post.


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews