Pengacara Minta Hakim Bebaskan Nurdin Basirun

Pengacara Minta Hakim Bebaskan Nurdin Basirun

Nurdin Basirun saat menjalani persidangan online dari Gedung KPK Jakarta. (Foto: istimewa)

Tanjungpinang - Pengacara Gubernur Kepri nonaktif Nurdin Basirun meminta hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat membebaskan kliennya.

Permintaan disampaikan dalam sidang dengan agenda pembacaan pledoi atau nota pembelaan di hadapan sidang PN Jakarta Pusat yang dilakukan secara online dari Gedung Merah Putih KPK.

Persidangan juga dihadiri oleh terdakwa dan tim penasehat hukum, jaksa penuntut umum serta majelis hakim dari ruangan sidang PN Jakarta Pusat di Jalan Bungur Besar Jakarta Pusat pada, Kamis (2/4/2020). 

Pengacara Nurdin Basirun, Andi Muhammad Asrun berpendapat bahwa perkara yang dituduhkan tidak boleh dipaksakan untuk mencari kesalahan terdakwa.

Karena yang akan terjadi pertentangan atau berlawanan dengan fakta persidangan berupa alat bukti keterangan-keterangan saksi dimaksud, tidak ada bukti yang bersifat meyakinkan terungkapnya kebenaran materiil mengenai kesalahan terdakwa. 

"Oleh karena itu, kami mohon kiranya asas hukum “in dubio pro reo” (yang berarti dalam keragu-raguan hakim haruslah membebaskan terdakwa) dapat dipertimbangkan untuk diterapkan," kata Andi Asrun dalam keterangan tertulis.

Pihaknya juga menyampaikan sejumlah hal yang bisa dijadikan pertimbangan hakim, seperti sikap kooperatif Nurdin dalam menjalani proses hukum.

Terdakwa tidak mengajukan upaya hukum praperadilan maupun mengajukan Nota Keberatan (eksepsi) terhadap surat dakwaan, sehingga sidang berjalan dengan lancar.

Dia juga menganggap Jaksa Penuntut Umum KPK telah salah memahami pengertian “Izin Prinsip,” terutama “Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut,” dengan merujuk ketentuan Pasal 8 ayat (1) Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2018 tentang Perubahan Gubernur Nomor 57 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Provinsi Kepulauan Riau (selanjutnya disebut Peraturan Gubernur Kepri No. 31 Tahun 2018). 

Bahwa Peraturan Gubernur Kepri No. 31 Tahun 2018 hanya menyebutkan “Izin Prinsip Penanaman Modal” (vide Lampiran Peraturan Gubernur Kepri No. 31 Tahun 2018) termasuk kewenangan Gubernur yang dilimpahkan kepada “PTSP”, bukan termasuk “Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut”.

Sehingga tidak benar dan tidak beralasan hukum Jaksa Penuntut Umum KPK mendakwa Terdakwa telah menandatangani Izin Prinsi Pemanfataan Ruang Laut, sebagai perbuatan melawan hukum yang melampaui kewenangan Terdakwa Gubernur Kepri nonaktif.

Bahwa Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut bukan Perijinan sebagaimana dimaksudkan Peraturan Gubernur Kepri No. 31 Tahun 2018, karena secara teknis administrasi pemerintahan penomoran surat untuk “Izin” diberikan oleh Biro Hukum.

Sementara penomoran Izin Prinsip Pemanfaatan Ruang Laut dikeluarkan oleh Biro Umum disebabkan merupakan satu surat biasa menjawab Permohonan Pemanfaatan Ruang Laut.

"Bahwa secara hukum tidak ada persesuaian kehendak meeting of mind antara terdakwa dengan pelaku lain, antara lain Abu Bakar dan Kock Meng yang memberikan uang kepada Budi Hartono dan Edy Sofyan," kata Andi. 

Perbuatan keempat orang yang kesemuanya menjadi terdakwa dalam perkara ini tidak ada pengetahuan apalagi persetujuan terdakwa, dengan fakta hukum sebagai berikut:

a. Bahwa dalam perkara ini penerimaan uang yang diduga diterima oleh terdakwa quod non melalui Budi Hartono bersama dengan Edy Sofyan yaitu uang sebanyak Rp 45 juta, nyatanya tidak pernah dinikmati oleh terdakwa. 

Uang ini tidak pernah sampai ke tangan terdakwa, bahkan melalui uang inilah sebagian kecil persoalan sosial masyarakat di pulau-pulau dapat terbantukan terlayani, bukan untuk terdakwa;

Bahwa tidak ada fakta yang meyakinkan menurut hukum akan adanya penerimaan SGD 5.000 yang diberikan oleh Edy Sofyan kepada terdakwa. 

Hal penerimaan ini hanya didasarkan pada keterangan tunggal dari saksi Edy Sofyan tanpa didukung keterangan saksi lain ataupun bukti lain sebagaimana asas dan doktrin hukum pembuktian, satu saksi bukanlah saksi (unus testis nullus testis).

Tuntutan bahwa terdakwa menerima uang SGD 6.000,- adalah menyesatkan. Uang tersebut tidak pernah diberikan atau diterima terdakwa. Uang milik Kock Meng yang diberikan kepada Budi Hartono adalah uang untuk biaya ahli dan data atau dokumen. 

Tidak pernah ada rencana atau pun niat dari Budy Hartono dan Edy Sofyan untuk memberikannya kepada terdakwa. Ketiga saksi, Kock Meng, Budi Hartono dan Eddy Sofyan tegas mengatakan itu uang untuk biaya ahli dan dokumen. 

"Oleh karena itu kami heran, fakta hukum persidangan yang mana yang masih dipakai oleh Penuntut Umum sehingga masih menuntut terdakwa menerima uang SGD 6000 tersebut. Sedangkan terkait dengan tuntutan Pasal 12B tentang Gratifikasi, sepenuhnya juga harus ditolak," imbuhnya. 

Fakta persidangan dengan terang menunjukkan bahwa seluruh saksi yang dihadirkan di persidangan mengatakan seluruh uang tersebut untuk kegiatan sosial Gubernur selaku Pemerintah Propinsi Kepri bersama-sama dengan OPD. Bukan untuk kepentingan pribadi terdakwa.


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews