Mengenang Ciputra, dari Atlet PON hingga Jadi Pengusaha Sukses

Mengenang Ciputra, dari Atlet PON hingga Jadi Pengusaha Sukses

Ciputra semasa hidupnya (Foto:ist/radarbogor)

Jakarta - Jie Tjin Hoan girang tak kepalang saat pertama kali mendengar kabar itu pada pertengahan 1951. Kabar itu merupakan wujud impiannya sejak lama. Tjin Hoan, yang masih duduk di bangku SMA Don Bosco, Manado, melompat-lompat kegirangan.

Pada hari itu, Pemerintah Kota Manado meminta Sekolah Don Bosco mengizinkan Tjin Hoan bergabung dengan kontingen Sulawesi Utara untuk mengikuti Pekan Olahraga Nasional II di Lapangan Ikada, Jakarta.

Di tingkat SMA di Sulawesi Utara, Tjin Hoan memang dikenal sebagai jago lari jarak menengah. Spesialisasinya adalah lari 800 meter dan 1.500 meter. Tak ada lagi lawannya di Sulawesi Utara.

"Bukan main! Ke Jakarta!" Tjin Hoan, yang kini lebih dikenal sebagai Ciputra, mengenang, dikutip dalam biografinya, The Passion of My Life karya Alberthiene Endah. Ciputra yang hari ini tutup usia meluncurkan biografinya pada akhir November 2017 silam di Jakarta. Kini semua orang tahu siapa Ciputra, seorang konglomerat dan salah satu raja properti di negeri ini.

Menurut perhitungan terakhir majalah Forbes yang dilansir Rabu (27/11/2019) Tjie Tjin Hoan alias Ciputra berada di urutan ke-27 orang terkaya di Indonesia 2018. Tapi, pada 1951, Tjin Hoan hanyalah anak SMA kere yang punya hobi lari. Jangankan ke Jakarta, menginjakkan kaki di Pulau Jawa saja belum pernah.

Perjalanan dari Manado ke Jakarta dengan kapal laut butuh waktu beberapa hari. Sepanjang jalan di atas kapal, lantaran begitu antusiasnya, Tjin Hoan malah jadi susah tidur. Walhasil, saat kapal itu berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Tjin Hoan dan teman-temannya malah loyo. Apalagi mereka hanya makan seadanya di atas kapal.

Walau tak sempat lagi memulihkan stamina, Tjin Hoan dan teman-temannya bertanding penuh semangat. Tjin Hoan lolos dari kualifikasi dan menembus babak final di nomor lari 800 meter dan 1.500 meter. Meski sudah berusaha mati-matian, dia gagal membawa pulang medali.

"Tapi saya tak kecewa," Tjon Hoan menuturkan. Dia tetap pulang dengan kepala tegak.

Apalagi dia menikmati betul perjalanan ke Ibu Kota Jakarta saat itu, terutama saat diundang Presiden Sukarno ke Istana Merdeka.

"Anak muda miskin ini bisa berada di dalam Istana. Saya memandang setiap sudut Istana Merdeka dengan takjub," Tjin Hoan menuturkan. Untuk kali pertama di Istana Merdeka itulah dia mengenal yang namanya Coca-Cola.

"Saat menenggaknya, saya merasakan sensasi yang luar biasa." Cepat dia masukkan satu botol Coca-Cola ke balik bajunya dan dibawanya pulang ke penginapan. Di penginapan (mereka tidur di salah satu sekolah di Jakarta) ditenggaknya sendirian Coca-Cola itu.

Lahir di Parigi, kota kecil di Sulawesi Tengah, sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara, semula hidup Tjie Tjin Hoan tak kekurangan. Hingga ayahnya ditangkap tentara Jepang lantaran dicurigai sebagai mata-mata. Ayah Tjin Hoan meninggal di ruang tahanan. Saat itu usia Tjin Hoan baru 12 tahun. Kehilangan tulang punggung, ekonomi keluarga itu seketika morat-marit.

Tjin Hoan, yang sebelumnya tak kenal berkotor-kotor di kebun, terpaksa memeras keringat setiap hari mengolah tanah supaya dia sekeluarga bisa makan. Lewat para pendatang dari Sangihe Talaud, Tjin Hoan belajar berburu binatang di hutan. Hanya dalam waktu singkat, ditemani kawanan anjingnya, dia telah menjadi pemburu yang hebat. Segala onak dan duri tak lagi menyakiti kakinya.

Setiap akhir pekan, dari pagi hingga petang, dengan bertelanjang kaki, Tjin Hoan memburu binatang untuk lauk makan keluarganya. Pulang dari hutan, biasanya dia selalu membawa babi hutan. Sebagian dagingnya disantap, sebagian lagi diawetkan dengan diasapi.

"Daging asap itu awet disimpan selama seminggu sehingga kami bisa makan daging setiap hari," kata Tjin Hoan.

Kematian sang ayah mengubah Tjin Hoan dari seorang anak yang manja menjadi anak yang ulet dan pantang menyerah lantaran ditempa hidup yang keras. Tjin Hoan selalu ingat nasihat sang ayah, "Jika ingin sukses, lawannya bukanlah orang lain, tapi diri sendiri."

Demi berlatih mengalahkan diri sendiri itulah Tjin Hoan rajin berlari. Semangat pantang menyerah itu pulalah yang mengantarkannya bisa berkuliah di Jurusan Teknik Arsitektur Institut Teknologi Bandung, dan kemudian menjadikannya pengusaha supertajir.

Punya duit banyak bukan modal nomor satu untuk jadi pengusaha kaya. Boleh percaya atau tidak, tapi itulah yang terjadi pada Tjie Tjin Hoan alias Ciputra.

Ciputra merintis usahanya sejak masih jadi mahasiswa di ITB. Bersama dua sahabatnya sesama mahasiswa ITB, Budi Brasali dan Ismail Sofyan, hanya bermodal ilmu arsitektur yang didapat di kampus, mereka mendirikan CV Daya Tjipta.

Awalnya, seperti kisah Larry Page dan Sergei Brin memulai Google, mereka berkantor di sebuah garasi di Jalan Soetjipto, Bandung. Mereka berkeliling dari rumah ke rumah di Bandung mencari orang yang bersedia memakai jasanya.

Hingga akhirnya Ciputra menikah, punya anak dan menyandang gelar insinyur dari ITB. "Apakah kita akan terus begini dan menunggu order datang?" Ciputra bertanya kepada Budi dan Ismail.

Bagi Ciputra kala itu, hanya mengerjakan proyek-proyek kecil dan bertahan hidup saja tak membuatnya puas. "Saya harus membuat lompatan besar."

Maka dia memboyong keluarganya meninggalkan Bandung dan pergi ke Jakarta. Pada awal 1960-an, Jakarta sedang berbenah. Tak ada cara lain supaya bisa dapat proyek besar kecuali bertemu dengan Gubernur DKI Jakarta, saat itu dijabat Soemarno Sosroatmodjo.

Lewat perantaraan seorang kerabat, Ciputra berkenalan dengan Mayor Charles, mantan asisten Gubernur Soemarno. Ciputra minta bantuan Charles untuk mempertemukannya dengan Gubernur Soemarno.

"Saya hanya ingin menyampaikan pemikiran saya untuk membangun Jakarta," kata Ciputra. Entah apa yang dipikirkan Gubernur Soemarno, dia mau menemui dan mendengarkan paparan gagasan Ciputra yang baru lulus kuliah.

"Apa yang kau katakan benar adanya,"

Gubernur Soemarno mengomentari konsep Ciputra. "Tapi pemerintah tak punya dana." Dia menunjuk satu wilayah Jakarta, kawasan Senen, yang perlu segera ditata.

"Jika kau sudah melihat ke sana, kita bertemu lagi untuk bicara."

Dengan mengendarai sepeda motor, datanglah Ciputra ke kawasan Senen, Jakarta Pusat. Yang dia lihat saat itu adalah satu kesemrawutan yang sempurna. Kios-kios dan lapak pedagang berimpitan sangat rapat, berebut tempat dengan rumah-rumah petak warga. Sampah bertebaran dan menggunung di mana-mana, seolah sudah jadi suatu hal yang wajar.

Berhari-hari, Ciputra bolak-balik menyusuri setiap pojok kawasan Senen sembari terus memutar otak, bagaimana caranya membereskan kesemrawutan itu. Dia balik ke Bandung menemui dua sahabatnya, Budi dan Ismail.

"Kita harus membuat maket yang sempurna," kata Ciputra. Mereka tancap gas menggarap proyek itu siang-malam.

"Saya setuju. Sempurna…. Pertokoan dan permukiman memang tak boleh disatukan," kata Gubernur Soemarno setelah menyimak presentasi Ciputra. "Kita bersama-sama akan menghadap Presiden."

Beberapa hari kemudian, Gubernur Soemarno dan tim Ciputra diterima Presiden Sukarno untuk mempresentasikan konsep peremajaan kawasan Senen. Ciputra, yang masih anak bawang, mesti mengumpulkan keberanian dan kepercayaan diri.

Meski yang dihadapi hanyalah arsitek yang masih sangat muda, Presiden Sukarno menyimak pemaparan Ciputra dengan serius.

"Bagus sekali," kata Presiden Sukarno. Restu dari Presiden turun sudah, tapi ada satu masalah besar: dari mana duitnya?

Gubernur Soemarno berjanji akan membantu mengumpulkan sejumlah pengusaha untuk menyokong proyek itu. Berkumpullah beberapa pengusaha besar kala itu, seperti Hasjim Ning dan Agus Musin Dasaad, juga sejumlah petinggi bank, seperti Jusuf Muda Dalam, bos Bank Negara Indonesia, dan Jan Daniel Massie, Direktur Utama Bank Dagang Negara. Lahirlah PT Pembangunan Ibukota Jakarta Raya (Pembangunan Jaya) pada 3 September 1961.

Proyek Senen ini tak semulus rencana di atas kertas. Pedagang dan penduduk yang sudah bertahun-tahun berada di Senen menolak pindah dan melawan sengit setiap upaya menggusur mereka. Perlu usaha sangat keras, berkeringat, dan berdarah-darah supaya Proyek Senen terus merayap ke depan.

Hingga Gubernur Jakarta berganti, Ciputra dan anak buahnya masih terus berjuang menuntaskan Proyek Senen. Akhirnya tiga blok berhasil mereka bangun, yakni Blok I, Blok II, dan Blok IV.

Proyek Senen menguras tenaga dan emosi. Tapi proyek inilah yang jadi pijakan pertama usaha Ciputra hingga akhirnya perusahaannya beranak-pinak sampai sekarang. Di Senen, Ciputra mendapat pelajaran berharga. Setelah menuntaskan tiga blok itu, dia menyampaikan kepada anggota direksi Pembangunan Jaya, Eric Samola, Soekrisman, dan Hiskak Secakusuma, niatnya mundur dari Senen.

"Cukup sudah, saya tak mau meneruskan pekerjaan di Proyek Senen," kata Ciputra suatu hari. "Ini merupakan pelajaran pertama dan terakhir. Ke depan, saya harap saya tak mengerjakan lagi proyek yang menyakiti orang lain. Tidak menggusur dan memaksa pindah."

(*)


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews