Usman Hamid: Jargon NKRI Harga Mati Tak Cocok untuk Papua

Usman Hamid: Jargon NKRI Harga Mati Tak Cocok untuk Papua

Usman Hamid dan Kristin Samah (Foto:ist/detik)

Jakarta - Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menyatakan kebijakan pemerintah Pusat, khususnya aparat keamanan dalam memahami ideologi dengan sangat kaku, membuat Papua makin menderita. Sebab setiap upaya untuk menyampaikan aspirasi kerap direspons dengan apriori bahkan divonis sebagai ekspresi separatisme.

"Rigiditas (kekakuan) ideologis Jakarta, seperti jargon 'NKRI Harga Mati' itu tidak cocok untuk Papua. Sebab dia mengganggap bahwa separatis yang ada di Papua lebih berbahaya daripada radikalisme," kata Usman dalam bedah buku "Duka dari Nduga" karya wartawati senior Kristin Samah di Graha Oikumene, Salemba, Rabu (30/10/2019).

Kekakuan jargon ideologi 'NKRI Harga Mati' ini, dia melanjutkan, pada gilirannya juga menyepelekan nilai kemanusiaan. Juga berdampak pada tertutupnya jalan bantuan organisasi kemanusiaan bagi Papua, khususnya bagi para pengungsi di Nduga.

Andai Papua dilihat dan dipahami lewat sudut pandang kemanusiaan, seperti ditulis Kristin lewat buku tersebut, setiap aspirasi yang muncul tidak akan serta-merta dicurigai sebagai ancaman separatisme. Sebab berbagai konflik yang terjadi di Papua sebetulnya bukan cuma karena isu separatisme. Hal lebih besar dari itu adalah ketidakadilan ekonomi, sosial, persamaan derajat, dan lainnya.

Kristin Samah yang dalam beberapa tahun terakhir bolak-balik ke sejumlah daerah di Papua pun menyebut konflik yang terjadi di sana lebih sebagai masalah kemanusiaan. Karena itu lewat buku "Duka dari Nduga" dia sengaja tidak memasukkan unsur politik tapi hanya kemanusiaan. Karena dia ingin mengetuk hati manusia di Indonesia, mengetuk hati para pembaca untuk membangun solidaritas kemanusiaan Papua.

"Kalaupun buku ini tidak berdampak secara luas setidaknya mengetuk hati perempuan Indonesia, yang walaupun gerakannya seperti diam tapi pasti akan berdampak," ujarnya.

Lewat buku yang diterbitkan Gramedia ini Kristin menyampaikan potret terkini di Papua kepada masyarakat. Harapannya tentu dapat menciptakan keterbukaan untuk penyelesaian pemasalahan yang terjadi di sana.

Dia menulis buku ini berdasarkan kisah nyata, yakni tentang seorang perempuan penyintas kekerasan seksual, yang secara tidak langsung berkaitan dengan peristiwa kekerasan dan pembunuhan di Kabupaten Nduga, pada periode berbeda-beda. Tapi beberapa nama sengaja disamarkan dengan pertimbangan keamanan. Beberapa nama daerah juga tidak disebut secara langsung untuk menghindari kemungkinan sentimen suku.

"Selama dua tahun terakhir, kekerasan dan konflik di Kabupaten Nduga bisa dikatakan menjadi letupan yang kemungkinan akan muncul lagi di daerah lain di provinsi itu," tutur Kristin yang pernah menjadi wartawati Suara Pembaruan dan Sinar Harapan, pada Prolog buku tersebut.

Bertemunya kepentingan politik lokal, politik nasional, bahkan internasional, ia melanjutkan, kelindan persoalan ini tidak akan bisa mudah diselesaikan bila akar persoalan tidak disentuh sama sekali.

(*)


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews