Sering Kritik Presiden Duterte, Pemred Rappler Ditangkap di Ruang Redaksi

Sering Kritik Presiden Duterte, Pemred Rappler Ditangkap di Ruang Redaksi

Penangkapan pemred Rappler Maria Ressa di ruang redaksi media tersebut. (Foto: Rappler)

Manila - Maria Angelita Aycardo Ressa alias Maria Ressa, Eksekutif Editor sekaligus CEO media daring Rappler ditangkap aparat Biro Investigasi Nasional Filipina, Selasa(12/2/2019) malam.

Jurnalis yang kritis terhadap Presiden Rodrigo Duterte tersebut ditangkap atas alasan mencemarkan nama baik melalui media sosial terhadap Departemen Kehakiman.

“Rabu sore sekitar pukul 17.00, petugas NBI yang mengenakan pakaian sipil mendatangi kantor redaksi Rappler untuk memberikan surat perintah penangkapan Maria Ressa,” demikian artikel yang diterbitkan Rappler.com dilansir Suara.com, Rabu (13/2/2019).

Surat perintah penangkapan itu diterbitkan per Selasa (12/2/2019), oleh Hakim Ketua Rainelda Estacio-Montesa dari Pengadilan Wilayah Manila Cabang 46.

Departemen Kehakiman telah merekomendasikan kasus Maria Ressa disidang di pengadilan. Bersama Maria, mantan jurnalis Rappler Reynaldo Santos Jr juga mendapat tuntutan yang sama.

Kasus tersebut terbilang politis, karena menyasar isi artikel yang diterbitkan Rappler.com pada bulan Mei 2012, atau 4 bulan sebelum undang-undang yang diduga dilanggar mereka diberlakukan.

Kasus yang diajukan oleh Departemen Kehakiman itu, berasal dari pengaduan pengusaha Wilfredo D Kengwas, yang diidentifikasi dalam artikel Rappler sebagai pemilik SUV yang digunakan selama sidang pemakzulan.

Keng sebenarnya tidak mengajukan komplain kepada Rappler.com mengenai dugaan kepemilikan kendaraan tersebut.

Keng hanya mengeluhkan latar belakangnya yang ditulis dalam artikel tersebut. Sebab, dalam artikel itu, ia ditulis sebagai terduga terkait narkoba dan perdagangan manusia.

Pembungkaman Media

Upaya pembungkaman terhadap Rappler.com yang kerap mengkritik Duterte tak hanya kali ini terjadi.

Sebelumnya, Komisi Sekuritas dan Bursa Efek Filipina (SEC) mencabut sertifikat korporasi laman berita Rappler, pada hari Senin 15 Januari 2018.

Pencabutan itu, seperti dilansir Rappler.com, dilakukan atas alasan laman berita Rappler melanggar pembatasan kepemilikan asing terhadap media massa yang diatur dalam konstitusi negara tersebut.

"Rappler menjual kontrol atas media massa mereka kepada orang asing," demikian petikan resolusi SEC tertanggal 11 Januari 2018.

Dalam surat pencabutan sertifikat tersebut, juga disebutkan SEC akan memberikan salinannya ke Departemen Kehakiman sebagai dasar penutupan kantor berita Rappler.

SEC menilai Rappler melanggar pembatasan konstitusional atas kepemilikan dan kontrol media massa, karena dana mereka berasal dari Omidyar Network. Jaringan pendanaan tersebut didirikan oleh Pierre Omudyar, pengusaha pemilik eBay.

"Dalam sesi En Banc (sesi dengar pendapat sebelum sidang putusan; berasal dari bahasa Prancis) ditemukan bahwa Rappler Inc dan Rappler Holdings Corporation, dan badan media mereka melanggar pembatasan ekuitas secara konstitusional," demikian lanjutan resolusi SEC itu yang dikutip Rappler.

Rappler sendiri menilai pencabutan sertifikat perusahaannya merupakan bentuk pembredelan dan pembungkaman media massa.

"Pencabutan perizinan Rappler adalah 'pembunuhan' yang dilakukan SEC. Ini sangat memalukan, karena pencabutan tersebut merupakan kali pertama dalam sejarah, baik untuk SEC sendiri maupun media massa Filipina," tegas redaksi Rappler.

"Apa artinya ini bagi Anda dan bagi kami? Jelas, ini adalah pemerintah membungkam kebebasan pers. Pemerintah memaksa kami untuk berhenti menceritakan apa yang terjadi kepada Anda. Ini berarti pemerintah memaksa kami berhenti menyebarkan kebenaran kepada khalayak. Memaksa kami melepaskan cita-cita kebebasan berpendapat yang sudah dirintis Rappler sejak 2012," tegas redaksi Rappler.

Sebagai bentuk perlawanan, redaksi Rappler memutuskan untuk tetap melakukan kerja-kerja jurnalistik.

"Rappler, bagaimana pun bakal tetap beroperasi selagi mengajukan banding ke pengadilan. Rappler akan tetap mempertahankan dan menjunjung kebebasan pers yang dijamin oleh Konstitusi," tegas mereka.

Sementara Rappler versi Indonesia juga menyiarkan pernyataan, bahwa biro mereka akan tetap melaksanakan tugas-tugas jurnalistik.

"Kami berharap seluruh jurnalis di Filipina maupun internasional berdiri di barisan kami untuk mempertahankan kebebasan pers," tegas redaksi Rappler.

(*)
 


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews