Dewan Temukan Tiga Kejanggalan Pembebasan Lahan TPA di Tanjunguban

Dewan Temukan Tiga Kejanggalan Pembebasan Lahan TPA di Tanjunguban

Komisi II DPRD Bintan saat mengecek lahan yang dibebaskan untuk TPA sampah beberapa waktu lalu (Foto:Ary/Batamnews)

Bintan - Pembebasan lahan untuk pembangunan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Kelurahan Tanjunguban Selatan, Kabupaten Bintan menuai polemik dari masyarakat.

Polemik itu ditanggapi langsung oleh Komisi II DPRD Bintan dengan melakukan hearing di Kantor Dewan Bintan baru-baru ini. Ditemukan kejanggalan-kejanggalan terkait pembebasan lahan TPA sampah tersebut.

Kejanggalan pertama adalah ketika Komisi II DPRD Bintan bersama Dinas Perkim meninjau lokasi lahan yang akan dibangun TPA. Di sana diketahui luas lahan yang akan dipergunakan 5,8 hektare (ha) namun lahan yang akan dibebaskan seluas 3 ha.

Untuk TPA itu, pemerintah telah menganggarkan dana Rp3,6 miliar. Diantaranya untuk pembebasan lahan seluas 3 ha dikucurkan Rp3 miliar dan Rp600 juta untuk alokasi lainnya sebagai pendukung pembangunan TPA.

Namun kenyataannya pada 2018 lalu, pemerintah hanya membebaskan lahan seluas 2 ha, dengan biaya yang dikeluarkan sebesar Rp2,44 miliar.

Kejanggalan berikutnya yaitu lahan yang dibebaskan seluas 2 ha merupakan milik Safrin. Dia mendapatkan bayaran pembebasan lahan itu dari  pemerintah. Tetapi pada lokasi yang sama diklaim merupakan milik Ari dengan luas 6 ha.

"Ini data-data yang kami peroleh di lapangan," ujar Anggota Komisi II DPRD Bintan, Andreas Salim, Kamis (7/2/2019).

Sebenarnya pemilik lahan aslinya yakni, Safrin. Karena ada perencanaan lahan itu akan dibebaskan pemerintah untuk dibangun TPA. Tiba-tiba 2017 lalu dikeluarkan atau diterbitkan di atas lahan yang sama surat atas nama Ari.

Saat ditanya kemungkinan ada indikasi “broker” yang bermain. Ia mengatakan hal tersebut bisa jadi. "Ya bisa jadi ada broker," sebutnya.

Kemudian kejanggalan lainnya yaitu ada 7 orang yang disebut menerima pembayaran ganti rugi. Padahal yang berhak mendapatkan ganti rugi atau biaya pembebasan lahan hanya pemilik lahan pertama.

"7 orang itu siapa dan dasarnya apa bisa mendapatkan pembayaran ganti rugi. Apabila ada pihak ketiga dari masalah lahan ini seharusnya Safrin yang membayarkan. Karena pemerintah sudah membayarkan sepenuhnya dengan Safrin sang pemiliki lahan. Tapi nyatanya pemerintah yang membayar," ujarnya.

Lalu, 7 orang yang mengaku pihak pemilik lahan ini mengklaim bahwa pembayaran tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan dan apa yang dibayarkan oleh pemerintah.

Dari NJOP tanah tersebut, dinilai seharga Rp82 ribu permeter. Kemudian tim apraisal menilai ganti rugi sebesar Rp122 ribu.

"Sebenarnya nilai ganti rugi lahan yang ditetapkan pemerintah tidak masalah. Karena sudah melalui tim apraisal, namun pembayaran ke mereka yang klaim pemilik lahan yang tidak sesuai dengan apa yang dianggarkan pemerintah," ucapnya.

(ary)


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews