Indonesia Rawan Gempa dan Tsunami, Tapi Literasi Soal Bencana Buruk

Indonesia Rawan Gempa dan Tsunami, Tapi Literasi Soal Bencana Buruk

Diskusi AJI tentang bencana di Indonesia

Jakarta - Indonesia merupakan Negara yang terletak dalam cakupan Ring of Fire atau Cincin Api Pasifik, demikian juga Aceh yang pernah dilanda gempa dan tsunami 14 tahun silam, tepat berada di patahan sesar sumatera yang cukup rawan terjadi gempa dan tsunami.

Meskipun kerap diterjang bencana gempa dan tsunami, literasi kebencanaan di Indonesia dinilai sangat buruk. Bencana yang pernah terjadi sebelumnya sering dilupakan. Seharusnya peristiwa masa lalu bisa menjadi pelajaran untuk melakukan mitigasi kebencanaan saat ini.

Buruknya literasi kebencanaan di Indonesia, khususnya di Aceh terungkap dalam diskusi yang digelar Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Banda Aceh, Kamis (27/12/2018), menghadirkan pemateri; jurnalis spesialis isu bencana, Ahmad Arif dan Megumi Sugimoto berasal dari Kyushu University, Jepang. Diskusi berlangsung di Aula Sekolah Muharram Journalism Collage (MJC) dengan tema Membangun Gerakan Literasi Kebencanaan di Aceh.

"Indonesia tingkat literasinya masih sangat buruk ketimbang Negara lain. Literasi tidak hanya sekadar membaca, tapi bagaimana memahami tentang pendidikan kebencanaan itu sendiri," kata Ahmad Arif.

Menurutnya, berdasarkan hasil catatannya, para ahli geologi dan arkeologi telah menemukan jejak tsunami di Aceh jauh sebelum terjadi 26 Desember 2004 silam. Ini membuktikan tsunami telah beberapa kali menerjang Serambi Mekkah. Namun karena pengaruh literasi yang terputus menimbulkan ketidaktahuan masyarakat Aceh ketika gempa besar disusul gelombang tsunami.

Arif mencontohkan, seperti kampung runtuh di Kelurahan Talise, Palu Timur, Sulawesi Tengah. Tsunami yang menerjang pesisir Palu pada 28 September 2018 lalu ternyata jauh sebelumnya tsunami juga pernah terjadi di sana.

"Padahal di Palu masih banyak saksi hidup yang pernah merasakan tsunami masa lalu, namun pengetahuan ini yang tidak dirawat oleh warga di sana," sebut Arif.

Kendati demikian, ia menemukan fakta lain di Kabupaten Simeulue, Provinsi Aceh. Masyarakat di sana masih memegang erat kearifan lokal literasi kebencanaan.

Pengetahuan literasi dan kearifan local itu dijaga dan diwariskan secara turun-temurun kepada anak-cucunya. Misalnya sebutan Smong untuk tsunami, telah membuat warga di sana hanya 3 orang yang meninggal dunia saat Aceh diterjang tsunami 14 tahun silam.

Buruknya literasi di Indonesia, sebutnya, berdasarkan survei yang dilakukan Worlds Most Literate Nations tahun 2006. Indonesia peringkat ke 60 dari 61 negara yang diteliti.

"Sehingga kita kurang tahu mana hoaks dan benar. Sehingga ketidaktahuan dan memahami ini menjadi masalah," jelasnya.

Ahmad Arif menyebutkan, lemahnya literasi di Indonesia membuat banyak orang tidak mengetahui Indonesia rawan terhadap gempa dan tsunami. Terutama di Aceh, bahwa sebelumnya pernah terjadi tsunami.

Sementara itu, Megumi Sugimoto menyebutkan, kelemahan di Indonesia adalah kurangnya media dalam hal menyampaikan pengetahuan tentang gempa dan tsunami. Di negaranya, banyak channel yang memberikan informasi tentang hal-hal berkaitan dengan tsunami.

"Kalau di Jepang banyak channel untuk menginformasikan tsunami seperti televisi, radio, dan telepon," kata Sugimoto.

Menurut Sugimoto, parahnya sistem yang ada di Indonesia hanya fokus pada tsunami akibat gempa. Di Jepang juga ada kasus yang sama tetapi tidak cukup hanya sistem peringatan tsunami yang dijadikan isu ketika terjadi bencana, tapi juga berapa cepat tsunami itu datang.

Pengalaman Sugimoto saat gempa dan tsunami terjadi di Tohoku, Jepang tahun 2011 lalu. Kawasan yang diperkirakan akan terjadi tsunami kecil, ternyata terjadi sebaliknya.

"Padahal di sana sudah dibangun talud untuk menghalau ombak. Prediksi sainstik juga tidak terlalu benar, bahkan escape building pun terkena dampak tsunami dan tidak aman," jelasnya.

(*)


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews