Isu Dualisme Kewenangan, Skenario Tenggelamkan Batam?

Isu Dualisme Kewenangan, Skenario Tenggelamkan Batam?

Danang Girindrawardana.

Oleh: Danang Girindrawardana (Pengamat Kebijakan Publik)

DUALISME kewenangan di Batam menjadi isu 'seksi' dalam beberapa tahun terakhir. Isu itu terus diembuskan, tentunya dengan ragam maksud dan kepentingan yang menyertai.

Sebenarnya yang disebut dualisme kewenangan itu tidak benar-benar terjadi di Batam. Yang terjadi sebenarnya adalah sebuah grand desain besar sedang dilakukan untuk menenggelamkan daerah penting dan strategis seperti Batam. 

Batam tidak boleh menjadi daerah yang kuat untuk menarik investasi dan sebagai hub pelabuhan internasional. Kalau Batam tumbuh kuat, maka Singapura akan melemah. Tidak ada negara manapun yang ingin Singapura lemah.

Sejak dibentuknya Otorita Batam, pembangunan infrastruktur dan pertumbuhan ekononi dari munculnya ratusan industri pengolahan tingkat internasional dan prospek kerjasama dengan investor mancanegara untuk membangun pelabuhan kelas internasional sudah muncul dan ditetapkan dalam blueprint Batam. 

Tapi dalam praktiknya, hal itu selalu dicegah realisasinya dengan segala cara agar investasi di Batam itu dihambat oleh regulasi negeri sendiri, melalui berbagai hal, misalnya tata ruang, izin kawasan penetapan kawasan hutan di seluruh Pulau Batam, tata ruang dan UU Otonomi Daerah.

Mengubah Otorita Batam menjadi BP Batam itu adalah salah satu strategi untuk melemahkan Batam.

Tapi, walaupun sudah bertransformasi menjadi BP, ternyata pertumbuhan ekonomi Batam tetap bagus, terus menerus di atas rata-rata nasional, 6 hingga 7 persen kala itu.

Bahkan, ketika akhir era Mustofa Widjaja memimpin BP Batam, pertumbuhan ekonomi tetap berada 5 tertinggi di Indonesia, tahun 2016 ekonomi Batam masih di sekitar angka 5 persen.

Maka kemudian upaya melemahkan BP Batam dilanjutkan dengan mengganti Mustofa di tengah masa kepemimpinannya yang belum berakhir penuh. Digantilah dengan tokoh baru Hatanto Reksodipoetro yang mengeluarkan kebijakan antibisnis, dengan meluncurkan berbagai keputusan menaikkan berlipat-lipat biaya sewa lahan atau yang dikenal dengan nama UWTO.

Pemberlakuan kebijakan ini ditentang habis-habisan oleh asosiasi pelaku usaha di Batam, baik Kadin ataupun Apindo. Bahkan Pemko Batam pun melawan dengan statement beban ganda, karena selain bayar UWTO, masyarakat juga wajib bayar Pajak Bumi dan Bangunan. 

Inilah yang kemudian menjadi diperuncing dalam rangka melemahkan Batam. Padahal sebenarnya beban ganda itu lumrah saja. Di daerah-daerah kawasan industri para pengusaha kena beban sewa lahan dan juga kena Pajak Bumi dan Bangunan. 

Yang ditentang para pengusaha adalah lipatgandanya iuran tahunan dan perlakuan berbeda kepada kalangan industri. Padahal sejak dilahirkan, Pulau Batam sudah dikemas sedemikian rupa sebagai kawasan industri, bukan kawasan yang diizinkan untuk memiliki tanah hak milik, semuanya hak pakai, baik individu ataupun industri.

Tetapi pertentangan seolah-olah dualisme itu terus menerus dipelihara sedemikian rupa dan menghasilkan keterpurukan ekonomi. Sejak tahun 2017 duet Pemko bersama BP Batam 'sukses' menurunkan pertumbuhan ekonomi Batam menjadi hanya 2,1 persen, capaian terendah daripada daerah manapun Indonesia. 

Tetapi saya perlu tekankan sekali lagi, bahwa jebloknya ekonomi di Batam tahun 2017 dan 2018 bukan karena penyebab yang digaung-gaungkan sebagai dualisme kepemimpinan Batam, karena tidak ada pengaruhnya secara signifikan dan fenomena Batam ini sudah terjadi belasan tahun sebelum 2017 dan nyatanya ekonomi Batam tetap menempati 5 tertinggi di Indonesia.

Penyebab Batam jeblok pada 2017 dan 2018 ini adalah perlawanan dunia usaha terhadap kepemimpinan di Batam yang membuat berbagai kebijakan dan statement-statement kontraproduktif dengan investasi.

Salah satu bagian dari skenario pelemahan Batam itu dimulai dari abainya kita terhadap amanat UU nomor 53 tahun 1999 yang melahirkan Pemko Batam, bagian dari euforia pemekaran daerah. UU itu ternyata malahan menyuburkan egoisme para pimpinan di pemko dan BP Batam. 

Kita abaikan dengan jelas perintah UU agar menyusun perangkat peraturan supaya terdapat pembagian urusan antara Pemko dengan BP Batam. Pemerintah pusat dan daerah sejak zaman itu sampai sekarang juga tidak pernah menerbitkan PP itu, artinya mereka andil dalam upaya pelemahan Batam.

Bahkan, UU nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik menegaskan bahwa daerah menyelenggarakan pelayanan investasi melalui pelayanan terpadu satu pintu, yang di Batam jelas-jelas sudah ada layanan investasi itu diselenggarakan oleh duet Pemko Batam dan BP Batam, sejak jaman Otorita Batam sudah ada. 

Disebut dengan SPIPISE sejak tahun 2010, yang diresmikan Kepala BKPM dan Mendagri Gamawan Fauzi kala itu, juga ditandatangani perjanjian operasional SPIPISE oleh Ahmad Dahlan selaku Wali Kota Batam dan Mustofa Widjaja sebagai Kepala BP Batam. 

Jadi, pendapat saya adalah tidak ada dualisme seperti yang digembar-gemborkan itu. Memang ada masalah-masalah implementasi yang bisa dianggap sebagai dualisme kewenangan, misalnya pajak reklame atau pajak reklamasi pantai apakah itu masuk pendapatan pemko atau BP. 

Hal lain juga adalah masalah-masalah tata ruang dan tata cara prosedur pendaftaran ulang terhadap lahan-lahan industri. Hal-hal sederhana yang bisa diselesaikan dengan mudah, apalagi jika mengukur potensi ekonomi Pulau Rempang dan Galang yang sudah dihubungkan dengan Jembatan Barelang. Itu tidak pernah muncul suatu upaya serius untuk menyelesaikannya.

Bagian dari skenario sistematik yang dipakai untuk melanjutkan pelemahan Batam dalam dua tahun terakhir adalah menempatkan kepemimpinan BP yang memang diposisikan menjadi lemah supaya tidak mampu menyelesaikan masalah yang lumrah terjadi dimanapun daerah yang memiliki kawasan industri.

Apalagi, Batam adalah satu-satunya kawasan otonomi asimetris yang pernah disegani dunia. Dulu, hampir semua negara-negara di kawasan Asia belajar dari Batam, sekarang mereka sukses, jauh meninggalkan Batam.
 
Karena, Batam memang dikondisikan untuk menjadi lemah, menjadi layaknya sebuah daerah otonom biasa yang dipimpin oleh kepala daerah dari hasil pilkada. Bukan dipimpin oleh pejabat yang menjadi perpanjangan tangan Presiden untuk membangun daerah penting dan strategis ini.

Mau implementasi KEK atau FTZ di Batam itu bukan hal yang sulit jika BP Batam itu di bawah kendali Presiden. Tetapi kalau kepala BP Batam adalah ex-officio kepala daerah Kota Batam, maka dinamika kepentingan politik lokal akan lebih mendominasi kebijakan strategik Batam. 

Yang jelas, saya khawatir bahwa keputusan itu bisa berdampak negatif di mata para pengusaha. Situasi saat ini akan menambah kekhawatiran mengenai masa depan Batam. Sehingga di mata investor, Batam sudah menjadi daerah biasa saja, tidak memiliki daya tarik lagi meskipun secara geografis dan geopolitik, Batam itu istimewa. 

Jadi, menurut saya angka-angka pertumbuhan ekonomi Batam yang jeblok itu bukan karena dualisme, tetapi memang diciptakan melalui beberapa tahap secara sistematis. 

Saya khawatir justru yang terjadi saat ini adalah bagian dari skenario sistematis untuk menenggelamkan Batam, yaitu pada akhirnya, adalah memberikan input kepada Presiden yang memang harus dibiaskan supaya lembaga BP itu hilang karena persepsi dualisme kepemimpinan yang sebenarnya tidak benar-benar terjadi.

Tetapi, jika memang ini adalah bagian dari skenario sistematis untuk menenggelamkan BP Batam, saya kira sudah tercapai 75 persen.

(*)

 


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews