Ini 8 Keppres Nepotisme Era Soeharto Hasil Riset Ketua Pukat UGM

Ini 8 Keppres Nepotisme Era Soeharto Hasil Riset Ketua Pukat UGM

Mantan Presiden, Soeharto

Jakarta - Kadar korupsi di tiap rezim dibanding-bandingkan. Prabowo menilai saat ini korupsi sudah masuk stadium 4. PDIP menilai balik, Soeharto-lah guru korupsi. Bagaimana riset akademis soal korupsi di era Soeharto?

Salah satu penelitian tentang korupsi di era Soeharto dilakukan oleh Ketua Pusat Kajian Anti-Korupsi (Pukat) UGM, Oce Madril. Penelitian itu dilakukan sebagai syarat disertasi guna meraih gelar doktor dengan judul 'Politik Hukum Presiden dalam Pemberantasan Korupsi di Pemerintahan'. 

Penelitian itu ia pertahankan di depan tim penguji, yaitu Prof Mahfud Md., Prof Denny Indrayana, Prof Saldi Isra, Prof Nikmatul Huda, Dr Supriyadi, Dr Richo A. Wibowo, serta Dekan FH UGM sebagai ketua, yaitu Prof Sigit Riyanto. Adapun untuk promotor adalah Prof Eddy OS Hiariej dan Dr Zainal Arifin Mochtar. Sidang doktor itu digelar di Kampus UGM, Yogyakarta, pada awal Oktober 2018.

Dalam penelitiannya, dari 7 presiden, yaitu Sukarno, Soeharto, BJ Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY dan Jokowi, Soeharto dinilai paling lemah memberantas korupsi.

"Yang paling lemah tentu Presiden Soeharto karena karakter kekuasaan Presiden ala executive heavy yang korup," ucap Oce.

Untuk menguatkan teorinya, Oce menunjukkan 8 Keputusan Presiden (Keppres) Soeharto yang menguntungkan keluarganya, yaitu:

 

1. Keppres No 36/1985 tentang Pajak Pertambahan Nilai yang Terutang atas Penyerahan dan Impor Barang Terkena Pajak Tertentu Ditanggung Pemerintah.

"Keppres ini membuka kran KKN untuk pajak impor yang belum ada di Indonesia," cetus Oce.

 

2. Keppres No 74/1995 tentang perlakuan pabean dan perpajakan atas impor atau penyerahan komponen kendaraan bermotor sedan untuk dipergunakan dalam usaha pertaksian.

"Dengan keppres ini, Taksi Citra milik Mbak Tutut yang menggunakan mobil Proton Saga mendapat pembebasan pajak pertambahan nilai," kata Oce.

 

3. Keppres No 86/1994 

"Keppres ini berisi pemberian hak monopoli distribusi bahan peledak yang diberikan kepada dua perusahaan, yaitu kepada PT Dahana untuk kepentingan militer sedang distribusi komersial diberikan kepada PT Multi Nitroma Kimia (sahamnya sebesar 30 persen milik Hutomo Mandalaputra, 40 persen milik Bambang Trihatmodjo melalui PT Bimantara, dan sisanya PT Pupuk Kujang)," papar Oce.

 

4. Keppres No 81/1994 tentang Penetapan Tarif Pajak Jalan Tol

Keppres ini menguntungkan kerabat dan kolega Soeharto.

 

5. Keppres No 31/1997 tentang Izin Pembangunan Kilang Minyak oleh Swasta

Keppres ini menguntungkan kerabat dan kolega Soeharto.

 

6. Keppres No 1/1997 tentang Koordinasi Pengembangan Kawasan Jonggol sebagai Kota Mandiri

Keppres ini menguntungkan kerabat dan kolega Soeharto.

 

7. Keppres No 93/1996 tentang Bantuan Pinjaman kepada PT Kiani Kertas

Keppres ini merugikan masyarakat dan negara.

 

8. Keppres No 42/1996 tentang Pembuatan Mobil Nasional

"Menguntungkan anak-anak Soeharto karena proyek pembuatan mobil nasional dikuasai oleh anak-anak Soeharto," kata Oce menegaskan.

Adapun guru besar UGM, Prof Denny Indrayana, menyatakan penguasa Orde Baru itu meninggal dalam status sebagai terdakwa, bukan sekadar tersangka. Kasus dugaan korupsi berbagai yayasan yang dipimpinnya saat itu sudah masuk tahap penuntutan, baru kemudian tiba-tiba dihentikan Jaksa Agung saat itu.

"Tolong dicatat, Pak Harto meninggal sebagai terdakwa. Belum ada putusan, sehingga statusnya tetap sebagai terdakwa," kata Denny pada 28 Januari 2008.    

(*)


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews