Rupiah Terpuruk ke Rp 15.000/USD, Hati-Hati Kinerja Perbankan

Rupiah Terpuruk ke Rp 15.000/USD, Hati-Hati Kinerja Perbankan

Ilustrasi

Jakarta - Pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin hari, semakin dalam. Sejak kemarin, rupiah telah menembus level psikologis Rp 15.000/US$ atau terlemah sejak krisis moneter 1998.  

Pada hari ini, Rabu (3/10/2018), US$ 1 dibuka pada Rp 15.045 di pasar spot. Rupiah melemah tipis 0,03% dibandingkan penutupan perdagangan kemarin. Sementara pada pukul 12:00 WIB, posisi rupiah berada di Rp 15.070/US$

Pelemahan ini tidak bisa dihindari seiring dinamika global yang begitu kuat. Arah normalisasi kebijakan moneter di AS yang agresif hingga 2020, perang dagang antara AS dan China, hingga yang terbaru dinamika politik di Italia.  

Bank sentral AS, Federal Reserve/ The Fed pada 26 September lalu, kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) ke rentang 2-2,25% dengan median 2,125%. Ini merupakan kali ketiga pada tahun ini, The Fed melakukan kebijakan tersebut.  

Bahkan Gubernur The Fed Jerome Powell, terang-terangan akan kembali menaikkan Federal Funds Rate (FFR) pada Desember mendatang. Sementara di 2019, The Fed akan menaikkan setidaknya tiga kali lagi. Pada akhir 2020, median FFR ditargetkan berada di level 3,4%.  

Kondisi ini tentu berdampak kepada kenaikan imbal hasil (yield) instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi. Akibatnya, aliran modal asing yang kembali masuk ke Negeri Paman Sam dan mendorong penguatan dolar AS.  Sejak awal tahun hingga hari ini, dolar index yang menggambarkan  dolar as terhadap enam mata uang utama menguat hingga 3,69%. Tentu penguatan tersebut menyebabkan mata uang global termasuk rupiah tertekan.  

Selain itu, faktor memanasnya tensi perang dagang antara AS dan China ikut mempengaruhi. Tahun ini, Presiden AS Donald Trump telah mengenakan 2 aturan resmi pengenaan bea masuk bagi produk impor China masing-masing 25% dan 10%.

Kebijakan Trump tersebut didorong defisit perdagangan Negeri Paman Sam dengan China yang cukup besar. Di Tahun 2017 saja, AS mengalami defisit mencapai US$375 miliar. Alasan itu tidak dibenarkan pihak Beijing.

Negeri Tirai Bambu juga ikut memberlakukan tarif impor terhadap produk AS dengan besaran yang sama.  Aksi saling balas ini menimbulkan apa yang disebut perang dagang. Sontak kondisi ekonomi global jadi kacau balau.

Investor memilih cari aman dengan memburu instrumen minim risiko (safe haven) diantaranya dolar AS. Akibatnya bisa ditebak, greenback bergerak menguat dan mata uang global pun melemah.

Terbaru, dinamika politik di Italia ikut-ikutan jadi biang kerok. Presiden Uni Eropa Jean-Claude Juncker mengatakan sebaiknya Italia membatalkan rencana pengesahan anggaran 2019 dengan defisit 2,4% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).   

Menurut Juncker, Italia semestinya melakukan disiplin fiskal. Jangan sampai anggaran yang terlalu ekspansif menyebabkan krisis fiskal seperti yang terjadi pada 2009-2010.  Namun pihak Roma justru enggan menuruti ajakan tersebut.  Bahkan mereka mengancam akan keluar dari Zona Eropa dan mata uang euro. Investor pun jadi tidak tenang dan beralih memburu instrumen minim risiko seperti dolar AS.  

Ketiga penyebab ini setidaknya jadi sekian faktor yang menyebabkan rupiah anjlok hingga Rp 15.000/US$. Lantas apa dampak yang kira-kira dikhawatirkan dari kondisi ini? Mari kita lihat dari sektor perbankan.  

Pada konferensi pers kemarin, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan kondisi perbankan masih aman meskipun rupiah di level tersebut. Sebenarnya ada risiko yang ditakutkan dari pelemahan tersebut, yaitu Tingkat Kecukupan Modal Minimum (Capital Adequacy Ratio/CAR) dan Net Performing Loan (NPL)  Untuk menilai apakah kedua indikator tersebut terdampak ke depannya, mari kita kembali ke kondisi 2015 saat rupiah juga melemah tajam.

(*)


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews