Gerhana Matahari Total 9 Maret, Ini Mitos dan Faktanya

Gerhana Matahari Total 9 Maret, Ini Mitos dan Faktanya

Ilustrasi gerhana matahari total. (foto: ist/net)

BATAMNEWS.CO.ID, Jakarta - Pada 9 Maret 2016, akan terjadi gerhana matahari total istimewa yang bisa disaksikan di 12 provinsi di Indonesia. Di Indonesia, gerhana matahari total dikaitkan dengan sejumlah mitos. Apa saja?

Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan)  Thomas Djamaluddin mengatakan, gerhana matahari total seperti ini pernah terjadi sebelumnya di Indonesia, yaitu pada 1983, 1988, dan 1995. Gerhana matahari total yang akan terjadi pada 9 Maret 2016 diperkirakan baru akan terjadi lagi pada 2023.

"Istimewa karena, untuk wilayah daratan, hanya Indonesia yang bisa lihat, selebihnya Lautan Hindia dan Pasifik,” kata Thomas, belum lama ini.

Gerhana matahari total ini akan bisa disaksikan dengan jelas di 12 Provinsi dari Indonesia bagian barat sampai timur. Untuk wilayah Indonesia bagian barat, waktu puncak terjadinya gerhana adalah pada pukul 07.20 WIB.

Untuk Indonesia bagian tengah, puncak gerhana matahari total akan terjadi pada pukul 08.35 Wita. Sedangkan untuk Indonesia bagian timur, puncak gerhana ini akan terlihat pada pukul 09.50 WIT.

Provinsi yang penduduknya bisa melihat gerhana matahari total adalah Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu, Jambi, Bangka Belitung, dan Kalimantan Barat. Selain itu, wilayah lain, seperti Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat, dan Sulawesi Tengah, serta Maluku Utara.

Wilayah Indonesia lain yang tidak berada di 12 provinsi tersebut akan tetap bisa menyaksikan gerhana matahari meski hanya sebagian yang terlihat. Menurut Lapan, gerhana matahari total itu hanya akan terlihat selama 1,5-3 menit.

Pegiat astronomi dari komunitas Langit Selatan, Bandung, Jawa Barat, Avivah Yamani, mengatakan masyarakat di sebagian daerah di Indonesia percaya gerhana sebagai peristiwa buruk. Masyarakat Jawa dan Bali, misalnya, percaya gerhana merupakan ulah Batara Kala atau Batara Kala Rau. Gerhana dianggap peristiwa ketika Batara Kala Rau, yang tinggal kepala, menelan Dewi Ratih. Cerita ini turun-temurun dan menjadi cerita favorit kala gerhana.

Halmahera punya mitos serupa. Sebagian masyarakat di sana menganggap gerhana terjadi akibat suanggi atau setan melahap matahari. Uniknya, masyarakat yang percaya mitos-mitos tadi membuat reaksi yang sama ketika gerhana terjadi. Mereka, baik di Jawa, Bali, maupun Halmahera, membuat bunyi-bunyian.

"Masyarakat harus membuat bunyi-bunyian untuk mengusir si raksasa jahat karena kegelapan adalah pertanda buruk," ucap Avivah.

Sulawesi Selatan memiliki mitos tersendiri. Ketiadaan sementara matahari dipercaya sebagai sanksi. Agar langit kembali terang, masyarakat dilarang memakan babi.

Nah, di zaman modern, fenomena gerhana matahari punya mitos lain. Mereka yang melihat gerhana matahari bakal buta. Benarkah begitu? Avivah menuturkan, "Memang bisa berbahaya kalau menatap matahari langsung, tapi bukan berarti kita tidak bisa melihat keindahan peristiwa itu."
 
Saat gerhana matahari terlihat, pengamat memang dilarang melihat secara langsung ke arah matahari. Cara aman menyaksikan peristiwa sejajarnya tiga benda angkasa tadi adalah dengan menggunakan alat bantu. Alat bantu itu bisa berupa teleskop yang dilengkapi filter atau plastik film hitam putih (klise) untuk fotografi.

Puluhan tahun lalu, masyarakat melihat gerhana matahari dari pantulan air di baskom atau ember. Namun cara ini mengandung bahaya karena tidak banyak mengurangi intensitas sinar matahari.

"Ini adalah cara yang keliru. Sebab, meskipun air hanya memantulkan 5 persen cahaya matahari, pantulan yang dihasilkan masih sangat terang dan pada akhirnya dapat menyebabkan kebutaan," kata Avivah.

(ind/bbs)


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews