Nelayan Kampung Terih Protes Proyek Reklamasi di Nongsa: Jangan Ada Penimbunan, Biarkan Hutan Bakau Tumbuh

Nelayan Kampung Terih Protes Proyek Reklamasi di Nongsa: Jangan Ada Penimbunan, Biarkan Hutan Bakau Tumbuh

Nelayan Kampung terih, kelembak, Sambau, Kota Batam protes dengan proyek reklamasi di Nongsa. Proyek ini membuat hutan batau jadi berkurang (jun)

Batam, Batamnews - Masyarakat Kampung Terih, Kelembak, Sambau, Kota Batam, Kepulauan Riau, menggelar protes terhadap proyek reklamasi di Nongsa. Masyarakat, terutama para nelayan, juga telah menghentikan aktivitas penutupan alur sungai yang dilakukan oleh PT Raja Sakti Cemerlang.

Sulaimain (46), warga Kampung Terih sekaligus ketua Elang Laut Nongsa, menyatakan bahwa mereka telah memperjuangkan hak-hak nelayan terkait dampak dari proyek reklamasi tersebut kepada DPRD Batam pada Rabu (21/6) pekan lalu.

"Kami hanya berjuang untuk hak kami sebagai nelayan. Selama ini, lokasi mata pencaharian nelayan kami sudah tercemar akibat penimbunan yang dilakukan oleh pihak yang dapat dikatakan tidak bertanggung jawab," ujarnya pada Senin (3/7/2023).

Baca juga: Pengunjung Mega Mall Terjebak dalam Lift Selama Sejam, Termasuk Bayi 11 Bulan, Manajemen Klaim Hanya Belasan Menit

Ia menambahkan bahwa kompensasi yang diberikan tidak sebanding dengan hasil tangkapan mereka. Nelayan juga tidak menghalangi pembangunan yang ada di Batam, namun mereka berharap kompensasi yang diberikan sesuai dengan upaya meningkatkan kesejahteraan para nelayan.

"Jika kami diberi pilihan, lebih baik tidak ada penimbunan. Biarkanlah hutan bakau tumbuh secara alami tanpa ada kerusakan. Kerugian yang kami alami sangat besar, dan kompensasi yang diberikan tidak sebanding dengan hilangnya hasil tangkapan," tegasnya.

Sementara itu, NGO Akar Bhumi Indonesia (ABI) telah memverifikasi bahwa kasus reklamasi ini telah dilaporkan ke DLH Batam dan Gakkum KLHK. Surat aduan No. 627/ABI-DLH BATAM/REKLAMASI-V/2023 tertanggal 8 Mei 2023 melaporkan dugaan reklamasi ilegal di Sei Ulu Panglong, Nongsa, Batam.

Baca juga: Pemerintah Bintan Mengajukan 42,15 Hektar Pemanfaatan Ruang Laut untuk Wilayah Pesisir

DLH Batam saat ini sedang melakukan verifikasi lapangan terkait aduan tersebut dan sedang mengumpulkan data dan informasi terkait. Dinas terkait juga telah menghubungi beberapa masyarakat dari Rumpun Nelayan Bersatu Nongsa.

Selain itu, ABI juga menyoroti bahwa RDPU di DPRD Batam yang tidak melibatkan perusahaan pemilik proyek dapat dianggap tidak valid, ditambah lagi dengan ketidakhadiran perwakilan dari Direktorat Pengelolaan Lahan BP Batam. Pihak pelaksana proyek pematangan lahan hanya diwakili oleh petugas lapangan, yang kapasitas dan pengetahuannya tidak memadai untuk menangani kasus yang melibatkan perusahaan. ABI juga tidak mengetahui apakah perwakilan perusahaan tersebut memiliki surat kuasa dari direksi.

Hendrik Hermawan, Pendiri ABI, menyayangkan dampak besar dari proyek reklamasi ini dan pelanggaran terhadap regulasi yang terjadi. Hutan bakau di Batam, meskipun dinilai dengan harga puluhan juta saja, memiliki peran penting bagi nelayan yang bergantung pada ekosistem biota laut.

Pemerintah seolah-olah membiarkan terjadi "negosiasi gelap" yang merugikan lingkungan dan masa depan masyarakat.

Baca juga: Tragedi di Pantai Mutun, Lampung: 2 Pemancing Tewas Tenggelam Setelah Perahu Dihantam Ombak

"Perusahaan sering menggunakan cara-cara licik dengan bantuan 'oknum' dan memprovokasi konflik antar kelompok demi kelancaran proyek ilegal mereka. Seperti prinsip ekonomi lama, 'Bagaimana mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan modal sekecil-kecilnya'. Inilah yang terjadi," ungkap Hendrik.

Ketua ABI, Soni Riyanto, menambahkan bahwa instansi terkait kurang tegas dalam menangani masalah ini. Ia menekankan bahwa lokasi proyek reklamasi tersebut merupakan kawasan mangrove yang dilindungi.

"Aparatur Kota Batam seharusnya telah menetapkan batasan dengan memasang garis kuning agar perusahaan tidak beraktivitas sebelum semua izin terpenuhi. Perda No 4 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup seharusnya lebih melindungi lingkungan dan masyarakat," ungkap Soni.

Soni juga menambahkan bahwa Batam sebagai pulau kecil dilindungi oleh Undang-Undang No 27 tahun 2007 bersama dengan Undang-Undang No 1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Namun, informasi dari masyarakat menyebutkan bahwa perusahaan tidak mematuhi keputusan RDPU untuk menghentikan semua aktivitas setelah satu hari.

"Seperti anjing yang menggonggong saat kafilah berlalu, keputusan Komisi I DPRD Kota Batam tidak dihiraukan, dan kita khawatir akan terjadi kekacauan di lapangan," pungkasnya.


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews