Pandangan Sosiolog Unair soal 'Ngemis' Online dan Senang Lihat Orang Menderita

Pandangan Sosiolog Unair soal

Tangkapan layar viral TikTok/Fenomena Ngemis Online. (TikTok)

Batam - Fenomena 'ngemis' online di TikTok tengah marak terjadi. Kegiatan ini dilakukan dengan tujuan mendapatkan hadiah dari penonton melalui media sosial tersebut.

Bentuk aktivitas yang dilakukan pun beragam, contohnya mandi lumpur. Selain itu, tak jarang orang tua atau lansia terlibat sebagai objek eksploitasi.

Menurut Sosiolog Universitas Airlangga (Unair), Prof Dr Bagong Suyanto, Drs, MSi substansi para 'pengemis' online tidaklah berbeda, yakni meminta belas kasihan orang agar memperoleh sesuatu.

Baca juga: Aplikasi Video TikTok Makin Diberangus di Amerika Serikat

Prof Bagong mengatakan, perilaku 'ngemis' online ini adalah bentuk kreativitas karena menghadapi situasi yang semakin kompetitif.

"Jadi mengemis ini tidak mudah, makin banyak saingan. Sehingga mereka perlu berkreasi untuk mendapatkan belas kasihan masyarat untuk memberikan amal karitatifnya," jelasnya, dikutip dari rilis laman Universitas Airlangga, Kamis (19/1/2023).

Fenomena Kesenangan Melihat Orang Menderita

Di sisi lain, Prof Bagong menyorot fenomena kesenangan yang muncul saat melihat orang menderita. Pada kegiatan 'ngemis' online, masyarakat akan memberi hadiah lebih banyak jika si pengemis tersiksa lebih berat, contohnya diguyur air lebih banyak atau berendam lumpur lebih lama.

Baca juga: Live Mandi Lumpur Trending di TikTok, Kominfo Diskusi dengan Ahli

Prof Bagong juga mengecam kreator konten yang mencoba mengeksploitasi orang tua mereka. Dia menyebut, ada banyak anak muda di belakang layar yang berperan, terutama untuk mengoperasikan media sosial tersebut.

"Itu yang harus ditangkap. Ini masuk kategori orang yang bukan karena terpaksa tapi justru dia mengeksploitasi penderitaan orang-orang yang tidak berdaya untuk memperkaya dirinya sendiri," tegasnya.

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair ini menilai bahwa pemerintah harus bisa melakukan perang wacana. Pasalnya, 'pengemis' online tidak dapat ditindak seperti pengemis pada umumnya dengan dukungan dinas sosial atau Satpol PP.

 

Prof Bagong menekankan, biar masyarakat yang menghakimi tindakan tersebut dengan cara tidak menyumbang maupun menonton konten 'ngemis' online. Dia berpesan supaya pemerintah dan masyarakat bersikap adil serta tidak memberi stigma negatif terhadap orang miskin. Musababnya, banyak juga masyarakat miskin yang butuh bantuan sehingga terpaksa mengemis.

Penindakan keras menurutnya justru perlu diterapkan kepada orang yang memanfaatkan orang miskin demi kekayaan pribadi. Guru besar sosiologi ekonomi ini menekankan perlunya memilah karena masyarakat tidak bisa menghakimi semuanya salah.

"Harus dilihat siapa yang melakukan karena dia butuh hidup, itu tidak masalah. Ini kan sama seperti artis yang membuka donasi terbuka, kan sama. Lah kenapa kalau artis tidak kecam, orang miskin dikecam," pungkasnya.
 


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews