Pilpres 2024: Calon Kuat Tak Punya Tiket

Pilpres 2024: Calon Kuat Tak Punya Tiket

Ganjar, Prabowo dan Anies

"Ganjar dan Anies menguat, Prabowo stagnan," kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi.

Ucapan itu disampaikan Burhanuddin saat merilis hasil survei popularitas kandidat calon presiden yang dilakukan lembaganya pada bulan April lalu.

Nama Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan selalu berada dalam tiga besar kandidat capres terpopuler hasil-hasil survei berkala yang digelar berbagai lembaga survei. Angka popularitas mereka selalu di atas dua digit.

Seperti hasil survei Populi Center pada akhir Maret 2022 lalu yang juga menempatkan ketiganya dalam urutan teratas.

"Di luar ketiga nama tersebut, terdapat nama-nama lain yang patut diperhitungkan, antara lain Sandiaga Salahuddin Uno, Ridwan Kamil, dan Erick Thohir," kata Peneliti Populi Center Rafif Pamenang Imawan saat menyampaikan hasil survei lembaganya pada Minggu 24 Maret lalu.

Sementara lembaga survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) membuat simulasi jika nama-nama itu dipasangkan menjadi capres dan cawapres. Hasilnya cenderung imbang karena selisih persentase berada di angka margin of error.

Pendiri SMRC Saiful Mujani menjelaskan, jika yang bertarung hanya dua pasangan calon, di mana Prabowo-Puan dipasangkan, melawan Anies-AHY, hasilnya, Prabowo-Puan unggul tipis 41 persen dari Anies-AHY 37,9 persen. Sementara 21 persen belum menentukan pilihan.

"Suara dua pasangan ini dinilai seimbang karena selisihnya di bawah margin of error. Dukungan pada dua pasangan ini secara statistik tidak berbeda secara signifikan," papar Saiful, Kamis (21/4/2022).

Sementara jika pasangan Prabowo-Puan melawan Ganjar-Airlangga, pada simulasi ini Prabowo-Puan kalah tipis 39,3 persen berbanding Ganjar-Airlangga 40,3 persen suara. Masih ada 20,5 persen yang belum menentukan pilihan.

Seolah mengamini penilaian Burhanuddin bahwa popularitas Prabowo cenderung stagnan, Saiful mengatakan jika nantinya nama-nama yang disimulasikan itu benar-benar diusung parpol dalam Pilpres 2024, akan sulit memperkirakan pasangan mana yang akan unggul.

Yang menjadi catatan SMRC, Prabowo yang sudah berkali-kali mengikuti pilpres kemungkinan sulit untuk menaikkan suaranya dibanding Ganjar atau Anies. "Saya kira di akhir tahun, kemungkinan pasangan ini akan semakin mengerucut," tukas Saiful.

Jika diurutkan, survei Indikator Politik pada April lalu menempatkan Ganjar Pranowo menjadi bakal capres di posisi teratas dengan elektabilitas sebesar 26,7 persen. Kemudian Prabowo (23,9 persen), dan Anies Baswedan (19,4 persen).

Di luar tiga teratas itu, ada nama Ridwan Kamil (3,5 persen), Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY (3,2 persen), Sandiaga Uno (2,4 persen), Erick Thohir (2,4 persen).

Puan Maharani yang disebut-sebut sebagai 'putri mahkota' PDI Perjuangan hanya punya elektabilitas 1,1 persen. Dia bahkan kalah dari Khofifah Indar Parawansa (1,9 persen) dan Tri Rismaharini (1,3 persen). Dua ketua umum partai yakni Airlangga Hartarto dan Muhaimin Iskandar cuma punya elektabilitas di bawah 1 persen.

Bukan Ketua Umum Parpol

 

Mengacu pada hasil-hasil survei elektabilitas capres, Ganjar dan Anies dinilai akan menjadi 'kuda hitam' pada pilpres 2024. Sayangnya, nasib mereka akan terganjal meski punya elektabilitas kuat. Faktor utamanya adalah mereka tidak bisa mengamankan tiket menjadi capres.

Berbeda dengan Prabowo Subianto dan AHY yang memimpin Gerindra dan Demokrat, atau Airlangga Hartarto dan Muhaimin yang merupakan ketum Partai Golkar dan PKB, Ganjar Pranowo hanya kader biasa yang tak punya jabatan di kepengurusan DPP PDIP. Gubernur Jawa Tengah itu harus bisa meyakinkan partainya dengan elektabilitas yang dia miliki agar dilirik ketimbang Puan Maharani.

Sementara Anies Baswedan bukan merupakan kader partai meski sering diasosiasikan sebagai capres dari kalangan pemilih muslim yang dekat dengan PKS. Anies juga cukup dekat dengan Partai NasDem.

Demikian juga Ridwan Kamil yang hingga kini belum memutuskan bergabung dengan parpol mana, meski dia mengaku sudah dirayu dan dijanjikan jabatan di tingkat pengurus pusat.

Menanggapi munculnya nama-nama non ketua parpol yang memilik elektabilitas tinggi di survei capres, Ketua DPP PDIP Hendrawan Supratikno menyatakan, para kandidat capres akan dinilai atas kinerja mereka. Rakyat akan mengapresiasi tokoh yang tumbuh dengan kinerja yang nyata dan prestasi yang teruji.

"Yang penting bekerja dulu dengan serius dan tulus. Tunaikan program kerja dengan baik," ujarnya ketika dihubungi merdeka.com pekan lalu.

 

Dalam setiap kontestasi pilpres, partai politik, lanjut Hendrawan, menginginkan calon yang diusung menang. Dengan begitu, tokoh-tokoh yang diidolakan masyarakat tentunya akan dilirik.

"Soal siapa dilirik parpol mana, tunggu tanggal mainnya. Dalam politik, ketergesa-gesaan lebih dimaknai sebagai kebodohan," tukasnya.

Senada, Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menyebut, publik sebagai pemilik suara dalam pilpres punya logika sendiri. Sementara parpol punya target masing-masing.

"Tugas parpol meyakinkan publik bahwa kadernya punya kapasitas dan integritas. Bahwa proses kaderisasi berjalan dengan baik. Dan itu tidak mudah tapi wajib dijalankan," ujarnya.

Di mata PKS, lanjut Mardani, sosok Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Ridwan Kamil adalah tiga figur yang sejalan dengan zamannya. Ketiganya mampu berkomunikasi dengan baik dan terus hadir di masyarakat dengan programnya sebagai kepala daerah di wilayahnya masing-masing.

"Biarkan ada kompetisi sehat dan yang untung adalah pemilih. PKS berkomunikasi dengan semua. Tapi saat ini fokus menokohkan Dr Salim," ujarnya.

Dr Salim yang dimaksud Mardani adalah Salim Segaf Aljufri yang merupakan ketua Majelis Syura PKS. Meski begitu, Mardani mengatakan PKS akan realistis. Dari ketiga nama, dia menyebut Anies Baswedan menjadi nama yang kemungkinan besar bakal digandeng.

"Mas Anies di antara yang terdekat," ungkapnya.

Sedangkan Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat Kamhar Lakumani menyebut, konfigurasi politik pilpres saat ini masih cair dan akan mengkristal pada menit-menit terakhir.

Kamhar menegaskan, dalam politik selalu menyajikan banyak kemungkinan-kemungkinan dengan dinamika sangat tinggi. "Karenanya, untuk membuat proyeksi calon mana yang akan mendapat tiket atau tidak, masih terlalu pagi," ujarnya.

Dia melanjutkan, kandidat capres yang bukan ketua umum parpol masih punya peluang. Karena pada akhirnya parpol akan merespons keinginan masyarakat. "Pada kondisi tertentu, parpol akan pragmatis merespons ini. Pak Jokowi contoh nyata untuk itu," ujarnya.

Bagi Demokrat, kata Kamhar, pekerjaan besar saat ini adalah fokus pada konsolidasi internal, advokasi kebijakan dan melaksanakan kerja-kerja nyata untuk rakyat, seraya berikhtiar menjajaki kerja sama politik atau koalisi dengan parpol-parpol yang memiliki komitmen dan platform politik yang sama.

"Terkait Pilpres 2024 kami masih fokus pada pemantapan mesin politik partai dan supporting terhadap Mas Ketum AHY sebagaimana aspirasi mayoritas kader agar bisa tampil pada 2024 nanti," pungkasnya.

 

Mematangkan Sistem Politik dan Fungsi Parpol

Munculnya nama-nama kuat kandidat capres yang bukan ketua umum partai politik di mata politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luqman Hakim menandakan sistem dan budaya politik Indonesia belum matang.

Menurutnya, dalam sistem demokrasi modern, pilar utamanya adalah partai politik. Parpol memiliki peran dan fungsi menyiapkan sumber daya manusia untuk mengisi jabatan-jabatan politik, seperti presiden, wakil presiden, menteri, DPRD, kepala daerah dan sebagainya.

"Maka, setiap partai politik pasti berusaha menyiapkan kader terbaiknya untuk mengisi jabatan-jabatan politik. Pada saat yang sama, menurut saya, siapa pun yang ingin mengabdikan diri kepada masyarakat dan bangsa melalui jabatan politik, seharusnya secara aktif masuk ke salah satu partai politik," ujarnya kepada merdeka.com.

"Sehingga, ketika seseorang sudah menjadi bagian dari partai politik dan mulai melakukan upaya-upaya membangun popularitas dan elektabilitas, maka sesungguhnya ia sedang menjalankan peran dan fungsi partai politik," papar Luqman.

Idealnya, lanjut Luqman, capres atau cawapres adalah ketua umum partai politik. Sebab, ketua umum merupakan kader terbaik di partainya. Begitu juga di daerah. Ketua partai di daerah harusnya memiliki kesiapan untuk maju menjadi kepala atau wakil kepala daerah.

"Jika idealitas sistem dan budaya politik berbasis demokrasi modern dapat diwujudkan, maka tidak akan ada (lagi) fenomena orang ingin menjadi pejabat publik tapi alergi dengan partai politik," ujarnya.

Namun, dalam pengalaman empiris politik, Luqman mencontohkan, capres atau cawapres tidak selalu diisi oleh figur ketua umum partai politik. Seperti yang dilakukan Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri yang memberikan jalan bagi Jokowi menjadi capres pada pilpres 2014 dan 2019.

Di PKB, Luqman mengatakan, hal itu pun dilakukan Ketum PKB Muhaimin Iskandar pada pilpres 2019 yang mempersilakan tokoh PKB Ma'ruf Amin untuk menjadi cawapres. PKB sendiri, saat ini akan terus mengupayakan Muhaimin Iskandar menjadi capres di 2024. Soal koalisi, atau mengajak satu dari tiga nama di antara Ganjar, Anies, atau Ridwan Kamil, PKB tetap terbuka.

"Terpenting bagi PKB, adalah bagaimana terus memperluas jalan bagi Gus Muhaimin untuk menjadi Presiden 2024," pungkasnya. 


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews