Hasil Investigasi LPSK, Potensi Kekerasan Tumbuh Subur di SPN Dirgantara

Hasil Investigasi LPSK, Potensi Kekerasan Tumbuh Subur di SPN Dirgantara

Pelajar SPN Dirgantara diborgol. (Foto: ist/Batamnews)

Batam, Batamnews - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menungungkap sejumlah fakta miris dari hasil investigasi yang mereka lakukan di SMK SPN Dirgantara Batam.

Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi Pasaribu menyebutkan, sebelum pelaporan ke Mapolda Kepri para korban sempat mendapat pengancaman.

Baru setelah pelaporan, sejak November 2021, tidak lagi ada ancaman yang terjadi sebelumnya.

Baca juga: Korban Kekerasan SPN Dirgantara Batam Alami Gejala Stockholm Syndrome

"Sebelum pelaporan, beberapa keluarga korban menceritakan, ketika anak mereka tidak mau lagi sekolah (kabur dari asrama), di sana mereka dijemput paksa, ditakuti akan dilaporkan untuk kasus narkotika," ucap Edwin.

LPSK sendiri sudah berkoordinasi dengan Polda Kepri, Direskrimum dan meminta keterangan kepada pihak sekolah, keluarga korban, korban dan warga di area sekolah.

Banyak orangtua pelajar yang menjadi korban awam soal hukum. Apalagi pelaku mengatasnamakan anggota polisi, saat anak mereka mau dijemput paksa kembali masuk asrama di sekolah.

Seperti diketahui terlapor merupakan pembina di sekolah itu yang merupakan oknum anggota polisi berpangkat Aiptu. Sementara asrama sekolah berada di ruko sekolah itu berada.

"Kami temukan anak-anak tidak punya kebebasan pulang ke rumah. Hingga kurun waktu mingguan dan bulanan. Korban biasanya mengalami luka (dugaan penganiayaan), dan sengaja tidak dibolehkan pulang hingga sembuh," tutur Edwin.

Dalam satu kasus bahkan LPSK menerima laporan ada korban yang mengalami luka di mulut hingga mengalami pembengkakan akibat pemukulan. Di sana biasanya keluarga yang minta izin membawa siswa keluar dari asrama untuk berobat ke RS.

Pelaku kekerasan 

Dari cerita yang didapatkan dari keterangan para korban, kekerasan itu dilakukan oleh sejumlah elemen di sekolah.

"Pelaku kekerasan diceritakan korban, adalah oknum polisi ED selaku pembina, ada juga anak dari ED yang juga merupakan siswa, yang kerap melakukan kekerasan terhadap siswa lainnya. Ada juga unsur senioritas, atau mereka mengalami kekerasan dari para senior," beber Edwin.

LPSK melihat lingkungan yang tercipta dari pola pendidikan di SMK itu sudah tidak sehat, dan menimbulkan potensi penganiayaan hingga kekerasan.

"Sekolah yang berbasis asrama yang menerapkan gaya militeristik berpotensi suburkan tindakan kekerasan. Tingkat kontrol orangtua terhadap keadaan anak di asrama sangat minim," sebutnya.

Baca juga: Kekerasan di SPN Dirgantara, Propam Polda Kepri Dalami Keterlibatan Aiptu Erwin

Sudah dipastikan para orangtua tidak mengetahui seperti apa perlakuan yang diterima anak mereka selama di asrama dan bersekolah di SPN dirgantara.

"Info dari korban, (kekerasan) tak hanya dialami siswa laki-laki, juga perempuan," ungkapnya.

LPSK ditegaskannya siap memberikan pendampingan secara psikologi kepada para korban, terkhusus jika kasus ini mulai diproses.

"Kita berikan asessment, sejauh mana bantuan terkait rehabilitasi psikologis, mereka akan dapatkan dari ahli yang sesuai," terangnya.


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews