Korban Kekerasan SPN Dirgantara Batam Alami Gejala Stockholm Syndrome

Korban Kekerasan SPN Dirgantara Batam Alami Gejala Stockholm Syndrome

Pelajar SPN Dirgantara diborgol. (Foto: ist/Batamnews)

Batam, Batamnews - Kasus kekerasan di SPN Dirgantara menyita perhatian. Dunia pendidikan di Batam seakan terguncang dengan tindak kekerasan yang berulang kali terjadi di sekolah yang beralamat di Komplek Ruko Taman Eden, Jl. Ahmad Yani, Taman Baloi, Kec. Batam Kota, Kota Batam itu.

Kekinian sejumlah siswa korban kekerasan yang melaporkan ke Mapolda Kepri ikut dimintai keterangan oleh Direktorat Profesi dan Pengamanan (Dit Propam) Polda Kepri. 

Baca juga: Kekerasan di SPN Dirgantara, Propam Polda Kepri Dalami Keterlibatan Aiptu Erwin

Propam menggali keterangan para siswa tersebut terkait keterlibatan salah satu anggota Polri, yakni Aiptu Erwin Depari selaku pembina di sekolah itu. Erwin Depari sendiri merupakan pimpinan Yayasan Sapta Lencana yang mengelola sekolah ini.

Ia saat ini aktif sebagai anggota satuan di Bagian Operasional (Bagops) Polres Natuna. Erwin didemosi dari Polresta Barelang sejak 10 Maret 2021 berdasarkan Surat Telegram Kapolda Kepri Nomor STR/113/III/Kep/2021. 

Erwin pernah terjerat kasus serupa pada 2018 lalu, hal itu juga bisa dilacak dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara Pengadilan Negeri Batam.

Dia didakwa hukuman pidana penjara selama 8 bulan masa percobaan. Demosi ke Polres Natuna merupakan bagian dari hukuman kode etik kepolisian yang dijatuhkan Propam Polresta Barelang kepada Erwin.

Kabid Humas Polda Kepri Kombes Harry Goldenhardt mengatakan kepolisian telah memeriksa 16 saksi dalam kasus tersebut. Mereka merupakan para korban, orang tua korban, dan pengawas dari Dinas Pendidikan Kepri.

“Kami juga melakukan pemeriksaan kesehatan pelapor atau korban ke Rumah Sakit Graha Hermine dan melakukan koordinasi dengan UPTD PPA untuk melakukan pemeriksaan psikologi terhadap lima anak didik yang diduga mendapat perlakuan kekerasan,” ungkap Harry.

Psikolog klinis RSBP Batam, Dini Rakhmawati, yang mendampingi korban, mengatakan saat ini kondisi korban mengalami kecemasan dan gangguan stres ringan hingga berat. 

Mereka trauma pada kata ‘konseling’. Sebab, pengurus sekolah menyebut ruang penyiksaan itu sebagai ruang konseling, sehingga para korban meminta agar sebutan ‘konseling’, yang biasa digunakan untuk jadwal pertemuan dengan psikolog, diganti namanya dengan ‘treatment’.

Selain itu, satu orang korban juga terindikasi mengalami gejala Stockholm syndrome. Ini merupakan gangguan psikologis pada korban penyanderaan yang membuat mereka merasa bersimpati kepada pelaku. 

Baca juga: Belum Ada Tersangka Kasus Kekerasan di SPN Dirgantara

Dampaknya, korban cenderung membenarkan aksi kekerasan yang diduga dilakukan Erwin. Korban merasa wajar aksi kekerasan itu dilakukan guna melatih mental dan karakternya.

“Tapi untuk mencari tahu apakah kasus kekerasan itu mempengaruhi mereka atau tidak, itu memang perlu dilakukan pemeriksaan yang jauh lebih mendalam, biasanya visum psikologis,” ungkap Dini, dikutip batamnews via detikom.

Sebelumnya, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mendapatkan foto-foto terkait siswa diborgol, lehernya dirantai hingga dikurung di dalam sel yang ada di sekolah itu. Pihak sekolah menyebutnya ruang bimbingan konseling. 

Selanjutnya: Tentang stockholm syndrome...

 

Stockholm syndrome atau sindrom Stockholm adalah gangguan psikologis pada korban penyanderaan yang membuat mereka merasa simpati atau bahkan muncul rasa kasih sayang terhadap pelaku. 

Dilansir batamnews dari alodokter.com, Stockholm syndrome diperkenalkan oleh seorang kriminolog, Nils Bejerot, berdasarkan kasus perampokan bank yang terjadi pada 1973 di Stockholm, Swedia. Dalam kasus ini, para sandera justru membentuk ikatan emosional dengan para pelaku meski telah disekap selama 6 hari.

Sandera bahkan menolak bersaksi di pengadilan dan justru mengumpulkan dana bantuan hukum untuk membela pelaku.

Faktor yang Mendasari Timbulnya Stockholm Syndrome

Dalam suatu penyanderaan, para sandera umumnya akan merasa benci dan takut karena pelaku atau penculik kerap berlaku kasar dan bahkan kejam. Namun, dalam kasus Stockholm syndrome, hal yang terjadi justru sebaliknya. Para korban malah merasa simpati terhadap pelaku.

Ada beberapa faktor yang mendasari munculnya Stockholm syndrome, di antaranya:

*Para penyandera dan korban berada di dalam ruangan dan tekanan situasi yang sama.

*Situasi penyanderaan berlangsung cukup lama, bahkan hingga beberapa hari.

*Penyandera menunjukkan kebaikan kepada para sandera atau setidaknya menahan diri untuk tidak melukai mereka.

Para psikolog menduga jika Stockholm syndrome merupakan cara korban untuk mengatasi stres atau trauma yang berlebihan akibat penyanderaan.

Mengenali Gejala Stockholm Syndrome

Seperti sindrom lain, Stockholm syndrome juga terdiri dari sekumpulan gejala. Gejala ini secara umum hampir sama seperti gejala gangguan stres pasca trauma atau PTSD. Gejala yang muncul meliputi:

*Mudah kaget

*Gelisah

*Mimpi buruk

*Sulit tidur atau insomnia

*Muncul perasaan seperti sedang tidak berada dalam kenyataan

*Sulit konsentrasi

*Selalu mengenang masa trauma (flashback)

*Tidak lagi menikmati pengalaman yang sebelumnya menyenangkan

Namun, di samping berbagai gejala tersebut, seseorang yang mengalami Stockholm syndrome juga akan menunjukkan gejala lain berupa perasaan negatif terhadap keluarga maupun teman yang mencoba untuk menyelamatkannya dan selalu mendukung setiap hal yang dilakukan oleh penyandera.

Cara Menangani Stockholm Syndrome

Tidak ada pengobatan khusus bagi penderita Stockholm syndrome. Namun, psikiater akan menggunakan pola mengatasi situasi traumatis sebagaimana yang terjadi pada kondisi PTSD.

Sebagian penderita sindrom Stockholm juga akan diberikan obat yang umum digunakan oleh penderita PTSD untuk mengatasi kecemasan yang dialami.

Selain itu, terapi kelompok juga menjadi metode yang sering digunakan dalam menangani Stockholm syndrome. Penderita akan belajar untuk mengontrol emosi  dan membentuk hubungan baru dengan orang lain yang melalui situasi serupa.

Ada pula terapi keluarga untuk korban Stockholm syndrome agar dapat berbicara tentang perasaan dan kekhawatiran yang mereka rasakan secara terbuka. Dengan demikian, keluarga dapat mengetahui cara yang lebih baik dalam membantu penderita sindrom tersebut.

Stockholm syndrome merupakan kondisi tidak umum yang kerap dirasakan oleh para korban penyanderaan. Bila Anda atau keluarga dan kerabat Anda ada yang mengalami gejala Stockholm syndrome, segera konsultasikan ke psikiater agar penanganan yang tepat dapat segera dilakukan.


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews