Ilmuan AS Temukan Spesies Ular Baru di Filipina

Ilmuan AS Temukan Spesies Ular Baru di Filipina

Ilustrasi

Jakarta - Jeff Weinell, asisten peneliti pascasarjana di Institut Keanekaragaman Hayati dan Museum Sejarah Alam di Universitas Kansas, Amerika Serikat, menemukan spesies ular baru yang berasal dari Filipina.

Ia menemukan spesies baru ini dari hasil penelitian menggunakan tiga ekor spesimen ular yang diawetkan di laboratorium kampusnya.

Berdasarkan laporan yang dipublikasikan dalam jurnal Copeia, Weinell dan rekannya awalnya tertarik mempelajari ular dari kelompok Pseudorabdion.

Dalam penelitian itu, mereka menggunakan metode analisis DNA dan CT scan untuk melihat struktur tulang ular. Namun mereka tidak menyangka akan menemukan spesies baru.

"Saya mengeluarkan DNA dari sejumlah spesies ular dari kelompok Pseudorabdion dan yang satu ini tidak masuk di antaranya (Pseudorabdion)," kata Weinell kepada CNN.

"Ketika saya mendapatkan hasil DNA, awalnya saya mengira saya salah meneliti, atau sampel terkontaminasi," tambahnya.

Dari hasil penelitian spesies ini memiliki panjang badan maksimal 6,7 inci atau sekitar 17 cm, sehingga ukuran mereka tiga hingga empat kali lebih kecil dari kerabat terdekat, yakni genus Pseudorabdion.

Spesies ular ini memiliki jumlah tulang belakang paling sedikit dan tengkorak yang panjang serta sempit di antara spesies ular lain di dunia. Jenis ini juga memiliki sisik yang berwarna-warni, dan memangsa cacing tanah sebagai sumber makanan utama.

Berdasarkan hasil penelitian ini, Weinell dan tim menyebut tiga ular ini adalah spesies Levitonius mirus dan berasal dari anggota genus Levitonius.

Nama ini terinspirasi dari seorang peneliti ular bernama Alan Leviton, yang menghabiskan puluhan tahun mempelajari ular di Filipina. Di tempat asalnya, warga pulau Samar dan Leyte di Filipina menyebut ular ini sebagai Waray.

Sebelum identitas mereka terungkap, tiga ekor ular tersebut merupakan koleksi di laboratorium Institut Keanekaragaman Hayati dan Museum Sejarah Alam di Universitas Kansas. Ular ini merupakan hasil pencairan tim peneliti dalam misi lapangan yang berlangsung pada 2006 hingga 2012 silam.

"Sekarang kami mendapatkan data dari seluruh genom ular, yang benar-benar mengubah cara kami memahami evolusi secara keseluruhan, sungguh, cara kami mendefinisikan spesies masih terus berubah. Bagaimana hal itu mempengaruhi berbagai hal di masa depan yang masih belum jelas," terang Weinell.

Selain dari koleksi ini, Weinell mengaku tidak pernah mengabdikan potret tiga ekor ular itu tidak dalam keadaan hidup-hidup. Ia sempat berusaha mencari spesies ini di alam liar dalam ekspedisi 2017 silam, namun gagal.


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews