China `Ngamuk` Mike Pompeo ke RI, Sebut Serangan dan Provokasi

China `Ngamuk` Mike Pompeo ke RI, Sebut Serangan dan Provokasi

Presiden Joko Widodo bertemu Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo (Biro Pers Sekretariat Presiden/Muchlis Jr)

Jakarta - Duta Besar China untuk Indonesia Xiao Qian menanggapi kunjungan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Michael Richard Pompeo ke Indonesia pada Kamis (29/10/2020) kemarin.

Dalam keterangan yang disampaikan di situs resmi Kedutaan Besar China, Xiao Qian mengatakan Pompeo melakukan serangan dan memprovokasi China.

"Di tengah kunjungannya ke Indonesia, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo telah melakukan serangan yang tidak berdasar terhadap Tiongkok (China), telah memprovokasi hubungan Tiongkok-Indonesia, serta telah mengganggu perdamaian dan stabilitas kawasan. Tiongkok menentang keras hal ini," ujar Xiao Qian dikutip Jumat (30/10/2020).

Selain itu, Xiao Qian mengatakan tindakan dan pernyataan keliru Pompeo akhir-akhir ini malah menyingkapkan intensi buruk AS, yang malah memperlihatkan jika ada masalah serius di dalam internal AS.

Xiao Qian juga menyebut AS adalah provokator 'Perang Dingin Baru'. Menurutnya, China berhasil berkomitmen untuk membangun kerja sama dengan negara-negara lain atas dasar Lima Prinsip Hidup Berdampingan Secara Damai, serta berkomitmen untuk tidak mengekspor ideologinya ataupun mencampuri urusan dalam negeri negara lain.

Tetapi di sisi lain, AS justru meluncurkan perang dingin baru, yang memprovokasi dan membangkitkan 'revolusi berwarna' di berbagai belahan dunia.

"AS juga secara brutal mengintervensi urusan dalam negeri negara lain, bahkan tidak segan menggunakan perang dan mendatangkan malapetaka bagi dunia," lanjutnya.

Selanjutnya Xiao Qian juga menyebut AS penyebar super 'virus politik'. China dari awal berpegang pada prinsip "rakyat dan keselamatan jiwa adalah prioritas utama" dalam melakukan upaya pengendalian dan pencegahan pandemi Covid-19.

 

Dengan unsur ilmiah dan efektif, Xiao Qian mengatakan China terbuka, transparan, dan bertanggung jawab. China juga gencar menggalang kerja sama internasional untuk menangani pandemi, serta aktif membangun komunitas kesehatan umat manusia.

"Sementara para politisi AS menjalankan kebijakan 'kepentingan politik sendiri adalah prioritas utama', meremehkan pandemi dan mengabaikan sains, sehingga mengakibatkan penyebaran wabah yang lepas kendali dan mendatangkan penderitaan bagi rakyat tidak berdosa," lanjutnya.

"AS sedang menyebarkan 'virus politik', menimpakan kesalahan kepada pihak lain, menyerang WHO tanpa alasan yang rasional, dan bahkan keluar dari keanggotaan WHO. Tindakan AS ini telah mengganggu kerja sama global untuk menangani pandemi."

AS juga menjadi penghambat bagi kerja sama dan keterbukaan dunia, menurut Xiao Qian. Inisiatif 'Belt and Road' yang diprakarsai China bertujuan untuk mewujudkan keuntungan bagi semua pihak dengan prinsip "konsultasi bersama, pembangunan bersama, dan berbagi manfaat bersama", keterbukaan, inklusivitas, serta transparansi.

"Inisiatif ini telah mendapat tanggapan dan dukungan dari seratus lebih negara dan organisasi internasional. Banyak proyek dalam inisiatif ini, misalnya Proyek KA Cepat Jakarta-Bandung, telah membawa manfaat nyata bagi negara-negara yang terlibat, termasuk Indonesia," katanya.

Sebaliknya, kata Xiao Qian, pemerintah AS menjalankan prinsip 'America First', melakukan proteksionisme perdagangan dan perundungan perdagangan, serta membelokkan rantai industri global. AS juga menggunakan kebijakan perdagangan unilateral untuk menekan negara-negara tertentu.

"Aksi AS ini telah mengganggu sistem perdagangan multilateral dan tatanan ekonomi internasional, telah menghambat perkembangan normal negara-negara di dunia, serta telah menghalangi upaya menggalang kerja sama dan keterbukaan global," tambahnya.

 

Selain itu, Xiao Qian menyebut AS sebagai negara peretas terbesar di dunia, negara pencipta penderitaan bagi dunia Muslim, serta negara paling berbahaya bagi perdamaian di Laut China Selatan.

Xiao Qian mengatakan China telah bekerja sama dengan negara-negara di kawasan untuk memelihara perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan, mendorong kerja sama dan perkembangan, serta menyelesaikan pertikaian dengan melalui konsultasi dan negosiasi bersahabat.

Sedangkan AS, menurut Xiao Qian, justru tidak pernah meratifikasi Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), tetapi malah bertingkah sebagai pembela UNCLOS demi kepentingan hegemoni maritimnya dan kepentingan geopolitiknya.

"AS juga terus-menerus memprovokasi konflik, memamerkan kekuatan militer, dan menciptakan ketegangan di Laut China Selatan. Ini adalah pendorong terbesar bagi militerisasi Laut China Selatan, dan merupakan faktor paling berbahaya yang menghancurkan perdamaian di Laut China Selatan," katanya.

Terakhir, Xiao Qian mengatakan AS adalah perusak kerja sama regional. Strategi Indo-Pasifik yang dicetuskan AS dianggap penuh dengan konfrontasi militer dan mentalitas Perang Dingin. Strategi ini berupaya membangun sesuatu yang disebut sebagai sebuah NATO 'baru' versi kawasan Indo-Pasifik, yang akan dipimpin oleh AS sendiri.

"Langkah ini bertentangan dengan semangat kerja sama yang saling menguntungkan di Asia Timur, menyerang posisi sentral dan kepemimpinan ASEAN dalam urusan regional, sekaligus merusak momentum positif kerja sama Asia Timur yang telah berlangsung sekian lama. Langkah yang membalikkan sejarah ini merupakan ancaman besar bagi perdamaian dan stabilitas kawasan," paparnya.

Menurut Xiao Qian, sejumlah politisi AS harus menghentikan kebijakan keliru yang bermusuhan terhadap China. Salah satunya mereka harus berhenti memprovokasi dan mengintervensi hubungan kerja sama bersahabat antara China dengan negara-negara lain di kawasan. Selain itu berhenti mengganggu perdamaian dan stabilitas regional, serta berhenti menginjak-injak keadilan internasional.

 

"Kalau tidak, semua upaya mereka itu hanya akan berakhir dengan kegagalan total," pungkasnya.

Konflik di Laut China Selatan kian memanas. Belum lama ini, AS mengerahkan kapal penjaga pantai ke Pasifik Barat untuk mengawasi aktivitas illegal fishing di wilayah perairan yang sedang menjadi sengketa tersebut.

AS menuduh China melanggar hukum internasional dengan mengirimkan kapal perangnya sebagai pengawal bagi kapal penangkap ikan China ke daerah penangkapan ikan di negara lain.

China sendiri mengklaim secara sepihak 80% kawasan perairan Laut China Selatan dengan konsep sembilan garis putus-putus (nine-dash line). Laut China Selatan sendiri kaya akan sumber daya, dan merupakan rute perdagangan utama dunia.


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews