EDITORIAL

Lockdown Telah Jadi Bubur?

Lockdown Telah Jadi Bubur?

Petugas kesehatan mengevakuasi pasien suspect corona beberapa waktu lalu di Batam (Foto: Batamnews)

Lockdown, lockdown!

Oleh: Zuhri Muhammad

Kata-kata itu bersiliweran sejak beberapa hari belakangan. Kerap viral. Terutama sejak pandemi virus corona atau COVID-19 di Tanah Air. 

Saya juga sempat menulis agar lockdown ini secepatnya dilaksanakan. Sebelum terlambat. Sebelum ada korban atau sebelum semua bertambah parah dan tak terkendali. Terutama di Kepulauan Riau.

Kepri barangkali jauh lebih mudah di-lockdown, penduduknya tak seberapa. Itu pun terpisah-pisah antar pulau. Cenderung lebih mudah mengunci semua akses. Terutama dari kasus virus corona impor yang dibawa orang-orang dari luar terutama Jakarta atau Pulau Jawa.

Nanti lah kita bahas soal aturan lockdown. Menyelamatkan nyawa jauh lebih penting dari segala aturan tetek bengek.

Lebih cepat mengunci pertempuran membuat kita lebih cepat menang. Tapi status lockdown itu sepertinya telah telat meskipun belum terlalu terlambat.

Korban memang telah berjatuhan dan terus bertambah setiap harinya.

Terutama di Kepri. Ribuan orang diduga telah terpapar penyakit mematikan yang belum ada obatnya ini. 

Beberapa diantaranya meninggal dunia. Pintu-pintu keluar masuk masih bebas dibuka. Orang-orang dari daerah pandemi telah bebas masuk dan menularkan virus yang di Italia telah merenggut 10 ribu orang itu.

Kita bukan menyesali keputusan yang belum dibuat. Tapi alangkah lebih baiknya langkah preventif cepat dieksekusi. Lebih baik berdarah-darah dahulu dari pada larut dalam lautan luka dalam. Saat ini kita tak tahu harus bagaimana. Sampai kapan. Celakanya, kita tak tahu kapan derita ini akan berakhir? 

 

Singapura dan Malaysia sudah lebih dahulu paham soal itu. Apalagi China atau Wuhan. Tanpa lockdown secara lokal rasanya sulit kita keluar dari pandemi ini. 

Sebenarnya kita bisa lebih cepat dari Singapura dan Malaysia. Tapi kita masih ragu-ragu menentukan sikap. Pemimpinnya cenderung tak berani. Justru pada saat inilah kualitas dan nyali seorang pemimpin diuji dan dibuktikan kepada publik. 

Seorang pemimpin harus taktis, cepat dan tegas di saat-saat krisis dan bencana semacam ini. 

Saya sudah menulisnya soal lockdown pada 17 Maret 2020 lalu. Saat itu belum ada pasief positif. Masih terdata 104 suspect. Belum ada yang mati.

Saat itu kita masih bisa tertawa dan bercanda mengenai corona. Sebelum semuanya berubah mendadak menyeramkan dan mematikan. Sama seperti di Italia. Semua hal tentang virus ini awalnya ditertawakan.

Oleh karane itu, lebih cepat ditetapkan status pembatasan, lebih cepat daerah diisolasi, lebih cepat kita siap dan mengerti akan situasi yang terjadi. Kita semua tak ingin mati berdiri karena tak tahu harus bagaimana dan harus ngapain.

Lalu, tiba-tiba saja dalam beberapa hari sudah puluhan orang yang mati di Indonesia. Ratusan terpapar positif corona. Semua baru sadar dan panik. Dokter-dokter bertumbangan terpapar COVID-19.

Begitu juga di Batam. Ekonomi lumpuh. Masyarakat tak tahu harus bagaimana. Di rumah juga tak tahu sampai kapan. Tidak ada waktu yang ditentukan. Tidak ada kepastian. 

 

Tidak ada tindakan taktis di awal mengantisipasi penyebaran virus corona. Sejumlah tempat berkumpul masih saja penuh. Tempat hiburan dibuka lebar-lebar. Jangankan lockdown, justru kita cenderung cuek bebek. 

Di sejumlah kecamatan seperti Batuaji seolah tak ada kejadian apa-apa. Pasar kaget masih saja ramai dan digelar. Di Batam, pasar-pasar basah hampir penuh. Apalagi di hari Minggu. Orang-orang di jalanan juga tak berkurang. Kesadaran masyarakat soal ini belum penuh. Tidak ada sanksi yang tegas membuat semua orang cenderung tak peduli.

Kita lebih cenderung seperti seorang penjudi. "Ah, mana tahu nanti enggak sampai ke sini virusnya, ah mungkin gak akan separah di Wuhan, ah jangan takut kali, semua orang akan mati. Ah, kalau mau mati ya mati juga." Dan banyak lagi gumanan itu.

Di Italia juga seperti itu. Awalnya rakyat Italia masih mengejek-ejek virus tersebut. Dan diantaranya bandel tak menuruti imbauan. Informasi terakhir, kematian di sana sudah sangat mengerikan. Sudah ribuan nyawa melayang.

Begitu juga saat Kota Wuhan menjadi kota hantu, sepi, kita masih bisa tertawa lepas. Kita tak menyadari saat itu virus itu ternyata juga menyelinap di tengah-tengah kita.

Padahal Kepri sudah lebih dahulu sadar akan dampaknya virus corona. Dimulai dari demo masyarakat Natuna menolak WNI dari Wuhan yang akan dikarantina di Natuna. Ternyata itu saja tidak cukup.

Mungkin kita belum paham apa itu lockdown. Padahal istilahnya bisa diperbanyak dengan cara pembatasan semua aktivitas di masyarakat. Paling penting menutup pelabuhan dan bandara. 

Kita harus belajar kepada Wuhan atau Tiongkok. Tak lama lagi melepas status lockdownnya. Aktivitas kembali seperti semula. Butuh tiga bulan lamanya.

Corona Impor

 

Rata-rata carrier virus corona di Batam membawa virus itu dari luar. Pasien 05 di Kepri, seorang pria terpapar sepulang dari Malaysia.

Kemudian ada lagi, seorang pasien Pendeta Sintiche diperkirakan tertular saat menghadiri acara keagamaan di Bogor. Pendeta ini jadi pasien 01 yang dinyatakan positif. Sintiche akhirnya meninggal beberapa hari lalu. Sempat dirawat di RSUD Embung Fatimah Batam, tapi gagal melawan virus.

Ia dikuburkan malam itu juga pada Minggu malam, 22 Maret 2020, sesuai standar WHO, empat jam setelah kematian wajib dikuburkan. Tak ada yang mengantar ke kubur kecuali penggali kubur. Tanpa keluarga dan jemaat. Dikuburkan dalam keheningan malam.

Seorang pasien lainnya, berusia 32 tahun, diketahui positif. Ia datang dari Paris. Pulang dari Paris pria tersebut disebutkan positif corona setelah sebelumnya menunjukkan gejala COVID-19.

Kemudian tak berselang lama, seorang warga Batam dinyatakan positif setelah pulang dari Jakarta. Kuat dugaan terpapar virus corona di Jakarta. Beberapa kali pria tersebut rapat di Jakarta termasuk di kantor Kementerian Perhubungan.

Ia kemudian meninggal dunia hari Senin dini hari, 30 Maret 2020.

Kebijakan lockdown memang menuai dilema. Banyak konsekuensi yang harus ditanggung. 

Di satu sisi kita berharap semua akan baik-baik saja. Virus itu tak akan sampai ke Batam atau Kepri. Nyata kecele. Semua berubah. Tiba-tiba semua panik. Jumlah korban bertambah semakin hari semakin banyak. Seperti gunung es.

Virus itu mengganas. Menerpa sejumlah orang. Ratusan orang dipantau. Enam orang positif per 28 Maret 2020. Dua orang meninggal dunia. 

Kita baru sadar. Virus ini cukup berbahaya. Penyebarannya sangat cepat. Obatnya belum ditemukan. Penanganannya sulit. Tenaga medis tak mumpuni. Rumah sakit tak siap. Pemerintah juga gagap.

Dengan segala kekurangan dan keterbatasan sejumlah pasien dirawat. Batam masih mengharapkan pusat. Terutama menentukan hasil laboratorium, apakah pasien tersebut positif atau tidak.

Lockdown

 

Apa itu lockdwon? Lockdown dapat diartikan, situasi yang melarang warga untuk masuk ke suatu tempat karena kondisi darurat. Lockdown juga bisa berarti negara yang menutup perbatasannya, agar tidak ada orang yang masuk atau keluar dari negaranya.

Lantas apa dampaknya? Lockdown tentu saja akan berdampak luas. Dari berbagai sisi. Semua terhenti seketika. Tapi tentu ada batas waktunya. 

Indonesia secara hukum positif memang tak mengenal kata lockdown, kecuali karantina wilayah. Tapi dalam kondisi darurat apa saja bisa dilakukan. Bahkan lockdown sekalipun. 

Ini menimbang nyawa ratusan juta orang yang terancam. Belum satu orang pun yang mampu mengembalikan nyawa yang telah pergi karena corona, sementara kita masih meragu dan gagal melindungi nyawa masyarakat luas.

Ketika lockdown berlaku tentu saja sakit. Bisa menjurus kejam. Bahkan bisa-bisa menyedihkan. Ancaman kelaparan dan lainnya di depan mata. Tapi segala kebijakan tentu ada risiko. Mana yang lebih tepat itu yang dipilih. Tapi tidak dengan ragu-ragu.

Padahal kita bisa bersakit-sakit dahulu, baru bersenang-senang kemudian. 

Lihat saja Wuhan yang pertama kali menjadi pandemi virus corona, kini sudah clear dari pasien virus corona. Tak lama lagi atau awal April mereka sudah membuka kunci setelah selama tiga bulan menutup diri.

Sebentar lagi Singapura terbebas dari pandemi itu.

 

Ketika lockdown memang diperlukan komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah selama 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Pemerintah tidak boleh lepas tangan. Kucurkan anggaran ke total untuk penanganan virus corona ini selama sebulan.

Kebijakan lockdown ini sebenarnya belum telat meski angka kematian kita sangat besar dari angka yang sembuh. Bahkan lebih banyak yang meninggal kena virus corona dibandingkan yang sembuh. 

Rasanya lockdown belum telat karena kita belum seperti Italia. Atau kita lockdown menunggu seperti Italia lebih dahulu?

 

 

 

 

 


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews