Apa Sebab Perang Dagang Lebih Untungkan Vietnam Dibanding Indonesia?

Apa Sebab Perang Dagang Lebih Untungkan Vietnam Dibanding Indonesia?

Jakarta - Perang dagang antara AS dengan China ternyata lebih menguntungkan Vietnam dibandingkan Indonesia. Relokasi industri dari China mulai marak. Kelebihan Vietnam ternyata di persoalan perizinan dan iklim investasi.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Hubungan Internasional, Shinta Kamdani menuturkan, saat ini untuk menghindari tarif bea masuk tinggi yang dikenakan pemerintahan Trump terhadap produk asal China dalam perang dagang, banyak importir AS mengalihkan pesanannya kepada negara-negara lain di Asia Tenggara. 

Laporan perusahaan riset keuangan asal Jepang, Nomura, menyebutkan Vietnam berhasil meraup tambahan nilai dagang hingga setara 7,9% dari PDB-nya sepanjang kuartal I-2019 dari pengalihan dagang (trade diversion) yang terjadi. 

Selain pengalihan dagang, tentu saja perusahaan-perusahaan multinasional (multinational corporations/ MNCs) turut berpikir panjang akan kelangsungan bisnisnya apabila tetap bersikukuh mempertahankan basis produksinya di Negeri Tirai Bambu. Vietnam pun menjadi salah satu tujuan utama perusahaan-perusahaan asing untuk memindahkan fasilitas pabriknya. 

Mengapa Indonesia kalah bersaing dalam memperebutkan relokasi pabrik ini? 

Shinta mengatakan, kecepatan penerbitan izin usaha menjadi salah satu faktor yang paling mendasar bagi investor. Dia mengaku sudah mendengar beberapa rencana relokasi industri dan investasi baru dari China, namun hingga kini belum ada lampu hijau. 

"Apa masalahnya? Masalahnya selalu klasik: iklim investasi kita, regulasi, ketenagakerjaan, penyediaan bahan baku, supply chain, infrastruktur, ya di situ masalahnya. Ini yang mesti kita perhatikan. Kalau kita benar-benar mau move forward mengambil peluang-peluang ini, ada banyak pembenahan yang harus dilakukan di dalam negeri," kata Shinta seperti dikutip dari CNBC Indonesia.

Shinta mengungkapkan, perizinan di Vietnam terintegrasi dengan sederhana dari pusat hingga ke daerah, berbeda dengan di Tanah Air. Meskipun pemerintah telah meluncurkan Online Single Submission(OSS) di mana seluruh perizinan bisa diurus satu pintu melalui Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), menurutnya implementasi OSS belum bisa maksimal. 

Dia mencontohkan, saat suatu perusahaan mengajukan izin usaha melalui OSS di BKPM, BKPM sebenarnya tidak bisa langsung memutuskan. Pengajuan izin tersebut harus memutar terlebih dahulu ke kementerian/lembaga teknis terkait, termasuk ke pemerintah daerah di mana investasi itu akan ditanam. 

"Itu saja sudah perbedaan mendasar. OSS kita saja sampai sekarang, integrasi dengan daerah sama sekali belum jalan, ini cuma izin prinsipnya yang jalan. Jadi pada dasarnya implementasi OSS belum bisa maksimal walaupun itu menjadi jualannya Indonesia," katanya. 

"Sekarang kalau kita ajukan perizinan juga nggak bisa satu pintu, mestinya kan di BKPM aja selesai. Ini enggak, masih nunggu ini-itu, it will take time. Jadi pemenuhan kondisinya juga lebih sulit, tapi walaupun dipermudah administrasinya juga masih berputar-putar begini," keluhnya.

Menurut Shinta, perizinan di Vietnam jauh lebih sederhana karena mereka menerapkan pemerintahan yang tersentralisasi. Seperti diketahui, layaknya China, Vietnam adalah negara komunis. 

"Tentu itu menentukan. Jadi everything is much simpler. Mungkin juga tidak adil untuk membandingkan langsung dengan negara sebesar Indonesia. But unfortunately, investor tidak peduli. Pokoknya dia cari yang paling gampang, paling efisien, ekonomis. Jadi saya rasa itu masalah utama kenapa kita masih ketinggalan," katanya.

(*)


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews