Penerbangan Murah yang Tak Lagi Murah

Penerbangan Murah yang Tak Lagi Murah

Oleh: Suyono Saputra

BEBERAPA hari ini masyarakat pengguna jasa transportasi udara dipaksa berdamai dengan keputusan maskapai penerbangan yang secara sepihak memberlakukan layanan bagasi berbayar.

Walau sebenarnya di luar negeri layanan bagasi berbayar bukan hal baru, tapi keputusan tersebut juga diperparah oleh harga tiket penerbangan domestik yang terus naik kendati sudah lewat masa puncak liburan Natal dan Tahun Baru sepanjang Desember 2018 lalu.

Berbagai celoteh di media sosial mengkritisi kebijakan tersebut. Ada juga beberapa tulisan yang membandingkan betapa jomplang-nya tarif penerbangan lokal dengan luar negeri. Contoh, untuk rute Batam – Jakarta dengan lama penerbangan 1 jam 20 menit dikenakan harga Rp1,2 juta, tapi rute Jakarta – Singapura/Kuala Lumpur dengan lama penerbangan yang sama hanya dikenakan harga Rp500.000 oleh maskapai yang sama.

 

Perbandingan lain yang lebih menyakitkan, rute Jakarta – Papua dihargai Rp2 juta – Rp4 juta sekali terbang, sementara Jakarta – Seoul/Tokyo hanya Rp2 jutaan, dengan perkiraan waktu tempuh yang sama.

Perbandingan ini jelas sangat melukai akal sehat, bagaimana bisa terbang ke luar negeri lebih murah dibandingkan terbang antar kota di dalam negeri. Padahal maskapainya sama, pesawatnya sama, dan lama terbangnya pun sama. Lantas, dimana bedanya?

Sebelum kita bahas soal sistem pentarifan di penerbangan, ada baiknya kita pahami dulu dikotomi penerbangan umum (full-services) dan penerbangan murah (low-cost). Sejatinya, sejak dulu, bisnis ini hanya mengenai penerbangan umum.

Tarif tiket yang mahal menjadi ciri khas penerbangan jenis ini, karena hanya ditawarkan kepada pelanggan berpenghasilan tinggi. Rute yang dilayani umumnya kota-kota besar dengan jarak dan lama terbang tertentu. Maskapai yang melayani juga tidak banyak.

Namun seiring pertumbuhan penduduk dan penghasilan masyarakat serta perkembangan kota membuat destinasi penerbangan dan jangkauan konsumen juga semakin luas. Kondisi ini memicu permintaan terhadap jasa transportasi udara semakin tinggi.

Strategi LCC

Maskapai pun membaca ceruk pasar, segmen menengah memiliki pasar yang sangat besar. Penerbangan berbiaya murah mulai diberlakukan sebagai upaya memberikan kesempatan bagi masyarakat berpenghasilan menengah untuk menggunakan jasa transportasi udara sekaligus memotong jarak perjalanan menuju suatu kota.

Sesuai data ICAO, diprediksikan jumlah penumpang LCC akan terus melonjak dua kali lipat dari 3,5 miliar penumpang pada 2015 menjadi 7 miliar penumpang pada 2030. Untuk keseluruhan Asia, pangsa pasar LCC diperkirakan naik jadi 50% pada 2030.

 

Bagi maskapai, memutuskan menjadi penerbangan murah tentu dengan konsekwensi. Beberapa pos biaya terpaksa dipangkas supaya tarif tiket per penumpang bisa ditekan serendah mungkin, sementara pada sisi lain faktor keselamatan dan kenyamanan juga tetap harus dijaga.

Penulis merangkum lima strategi yang harus diambil maskapai untuk menekan harga tiket? Pertama, pemilihan jenis pesawat. Sebagai contoh, Lion Air. Dikutip dari laman www.lionair.co.id, maskapai kebanggaan negeri ini mengoperasikan empat jenis pesawat yaitu Boeing 737-900 ER, Boeing 737-800 NG, Boeing 747-400 dan Airbus A330-300.

Lion Air sengaja memilih Boeing 737-900 ER (sejak 2007) dan Boeing 737-800 NG (sejak 2012) untuk melayani rute domestik karena beberapa keunggulan  yaitu memiliki lorong tunggal, hemat bahan bakar, efisien untuk penerbangan domestik, dan susunan kursi yang bisa dikonfigurasi sesuai kebutuhan. Hingga kini maskapai milik Rusdi Kirana itu memiliki 71 unit Boeing 737-900 ER dan 32 unit Boeing 737-800 NG.

Mengapa Lion Air memilih pesawat dari satu pabrikan dan jenis yang sama dalam waktu lama? Strategi ini ternyata berkaitan dengan upaya mengurangi biaya, karena dengan memilih pesawat dari satu pabrikan diharapkan mampu mengurangi biaya pelatihan dan perawatan pesawat. Apalagi jika pesawat yang digunakan masih baru yang jauh lebih hemat bahan bakar.

Kedua, in-flight services. Maskapai LCC pada umumnya tidak menawarkan layanan in-flight sebagaimana yang ditawarkan penerbangan umum. Walau begitu, maskapai juga menyediakan layanan in-flight bagi penumpang yang membutuhkan seperti makan/minum, dan souvenir.

Ketiga, jaringan penerbangan. Maskapai penerbangan murah biasanya memilih point-to-point dan menghindari bandara yang padat dan berbiaya tinggi, mereka lebih memilih bandara yang kecil agar biaya ground handling dan waktu tunggu bisa ditekan. Air Asia, sebagai contoh, lebih banyak mendarat di KLIA 2 atau Low-Cost Carrier Terminal.

 

Keempat, pemasaran. Sejak maskapai mulai menawarkan tarif murah, perusahaan penerbangan cenderung mengurangi program pemasaran untuk menjual tiket. Ini terjadi karena kebanyakan tiket sudah terjual via website/online yang lebih hemat tanpa membayar komisi penjualan kepada agen perjalanan.

Kelima, sumber daya manusia. Ini faktor yang cukup krusial dihadapi oleh maskapai. Menjaga kualitas pelayanan tanpa didukung oleh tim yang kuat justru bisa berdampak buruk terhadap perusahaan. Lion Air paham betul soal ini, sehingga perusahaan termasuk agresif dalam merekrut tenaga pramugari dan pilot seiring dengan penambahan rute baru.

Namun, SDM yang terlalu gemuk juga berdampak terhadap biaya operasional. Apalagi gaji dan insentif terus meningkat setiap tahun, dan ini harus dibayar oleh perusahaan tepat waktu.

Sudah jelas, persaingan maskapai penerbangan murah semakin ketat. Tapi melihat kondisi harga tiket yang merangkak naik dalam beberapa bulan ini, apakah era penerbangan murah sudah berakhir di Indonesia?

Struktur Biaya

Pada prinsipnya harga jual tiket berlaku umum setelah memasukkan seluruh komponen biaya dalam struktur biaya. Apa yang kita nikmati selama ini hanya strategi maskapai menggarap ceruk pasar dengan mengurangi komponen biaya.

Harga tiket murah sebenarnya akan terasa murah jika kita pesan jauh-jauh hari, sementara jika tiket dibeli dalam waktu dekat maka harga jual tidak jauh berbeda dengan penerbangan umum.

Lantas, apa saja komponen yang menjadi dasar penghitungan struktur biaya oleh perusahaan penerbangan? Penulis mengutip analisa dari McKinsey dalam satu artikelnya mengenai perbandingan biaya penerbangan.

Ada 10 komponen biaya yang menjadi acuan biaya perusahaan penerbangan umum full service dan low-cost, yaitu biaya pesawat, biaya bahan bakar, pemeliharaan, cockpit crew, cabin crew, akomodasi hotel, biaya navigasi, onboard, biaya penjualan dan distribusi, dan biaya umum dan administrasi.

Tabel Struktur Biaya Penerbangan

 

 Daftar Biaya

Penerbangan Full-Services

Penerbangan Low-Cost

 

Kapasitas: 156 kursi

Jarak tempuh: 1.250 km

60% load factor

Kapasitas: 180 kursi

Jarak tempuh: 1.250 km

80% load factor

Sewa Pesawat

  • $ / month
  • BH per day

 

$340.000

8

 

$195.000

12

Bahan bakar

  • Gallon per BH
  • $/gallon

 

820

$1.40

 

800

$1.40

Pemeliharaan ($ per BH)

$700

$600

Cockpit Crew

  • Annual Salary
  • Benefit load
  • Annual training
  • BH/month

 

$120.000

35%

$15.000

60

 

$100.000

25%

$15.000

65

Cabin Crew

  • Annual salary
  • Benefit load
  • Cabin crew
  • BH/month

 

$50.000

25%

6

60

 

$40.000

20%

4

65

Hotel/Accomodation

$/crew member

 

$150

 

-

Airport/Navigation

  • $/turn. aircraft
  • $/leg. Ldg/Nav
  • $/pax. handling

 

$2.500

$750

$5

 

$2.000

$500

$3.50

Onboard ($/pax)

$5

$1

Sales & Dist. ($/pax)

$15

$5

General & Adm. ($/pax)

$10

$5

Cost per Available Seat Kilometer (CASK)

8,19 sen

4,71 sen

 

Sumber: McKinsey, 2017

Tabel diatas memberikan gambaran jelas apa saja komponen biaya yang mempengaruhi naik turun tiket pesawat baik penerbangan full-services maupun low-cost. Namun demikian, setiap perusahaan tentu memiliki strategi pentarifan yang berbeda-beda, ada banyak faktor yang mempengaruhi.

Cost per Available Seat Kilometer atau CASK adalah tolak ukur bagi maskapai untuk menghitung unit cost, biasaya dalam sen dollar. Semakin rendah CASK maka makin tinggi potensi perusahaan mencetak profit. Tapi tidak selamanya CASK rendah berujung profit, sebab dalam perhitungannya juga harus membandingkan dengan maskapai sejenis, dan dalam komponen biaya yang sama.

Dari tabel terlampir, biaya yang paling menentukan naik turun harga adalah biaya pesawat, pemeliharaan, bahan bakar, cockpit dan cabin crew. Bagi penerbangan full-services, potensi biaya bisa dikompensasi dalam harga tiket yang sudah tinggi walau kadangkala juga harus memperhatikan persaingan sesama penerbangan full-services.

Tapi bagi penerbangan low-cost, kenaikan biaya tersebut justru menjadi masalah karena sudah pasti berdampak terhadap CASK. Jika melihat pada lima faktor penentu harga murah yang saya jelaskan di atas, maka kenaikan biaya bahan bakar, pemeliharaan, dan biaya SDM jelas berpengaruh terhadap harga tiket.

 

Pertanyaannya kini, apakah tingginya harga tiket di rute domestik dibandingkan rute luar negeri disebabkan oleh faktor-faktor tersebut? Bisa jadi iya. Penulis melihat puluhan armada Lion Air yang masih beroperasi sejak 2007 sudah pasti mulai rutin menjalani perawatan.

Meskipun memiliki bengkel perawatan di fasilitas MRO di Batam, Lion Air tetap harus mengeluarkan biaya perawatan yang cukup signifikan apalagi onderdil yang masih impor dan terpengaruh nilai tukar Dollar yang sempat melejit beberapa bulan lalu.

Nilai tukar dolar juga berpengaruh terhadap harga beli bahan bakar pesawat, belum lagi beban SDM dan biaya ground handling di bandara tujuan. Ini pun juga masih bisa diperdebatkan mengingat mayoritas bandara domestik belum termasuk bandara internasional kecuali Kuala Namu, Hang Nadim, Minangkabau, Soekarno Hatta, Husein Sastranegara, Adi Sucipto, Djuanda, dan Sam Ratulangi.

Jika struktur biaya yang saya paparkan diatas belum cukup kuat menjawab penyebab kenaikan harga tiket di rute domestik ini, lalu apa?

 

Saya berharap pemerintah dalam hal ini Kementeri Perhubungan dapat menjelaskan secara terbuka apa pemicu kenaikan ini. Jika perlu, maskapai juga transparan menjelaskan struktur biaya dalam penentuan harga tiket pada rute domestik, dan apa bedanya dengan struktur biaya rute internasional.

 

Saat ini, maskapai penerbangan nasional dikuasai oleh dua kelompok usaha saja, yaitu Grup Lion Air meliputi Lion Air, Batik Air, dan Malindo Air, dan Grup Garuda Indonesia meliputi Garuda Indonesia dan Citilink.

Sangat wajar jika pasar penerbangan saat ini ditentukan oleh kebijakan kedua grup korporasi tersebut. Contohnya ketika Lion Air memutuskan untuk menerapkan bagasi berbayar, Citilink juga ikut-ikutan. Akibat kebijakan bagasi berbayar, harga tiket sudah pasti akan makin tinggi, padahal tanpa bayar bagasi pun harga sudah nyaris tak terjangkau.

Kini rentang jarak harga tiket antara penerbangan full-services dan low-cost di Indonesia semakin dekat. Hasil studi KPMG menemukan kesenjangan biaya (cost gap) CASK antara penerbangan full-services dan low-cost menurun hingga 30%.

Kendati data CASK pada tabel di atas menunjukkan gap antara penerbangan umum dan LCC terpaut hampir dua kali lipat, namun dalam beberapa kasus tertentu jarak keduanya semakin rapat. Artinya saat ini jika CASK penerbangan umum 8,4 sen maka LCC berada di kisaran 6,2 sen.

Jika sudah begini, masyarakat kelas menengah tidak punya pilihan lagi. Terbang naik pesawat sudah kembali menjadi sebuah aktivitas konsumsi yang mahal. Now, [not] everyone can fly..!

Penulis adalah akademisi Universitas Internasional Batam

 

 

 

 

 

 


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews