Buah Naga Indonesia Serbu Australia, Petani Lokal Menjerit

Buah Naga Indonesia Serbu Australia, Petani Lokal Menjerit

Buah naga impor dari Vietnam yang dijual diMelbourne (Foto: detik.com)

Canberra - Petani buah naga di Australia utara mengeluhkan anjloknya harga komoditi mereka menyusul serbuan buah impor dari Vietnam dan Indonesia. Mereka tak begitu yakin bisa mempertahankan perkebunannya.

Buah naga pertama kali diperkenalkan secara komersial di Australia pada bulan September 2017, setelah pemerintah mengizinkan masuknya impor dari Indonesia.

Petani di Kota Darwin, Vuong Nguien, mengaku meningkatnya persaingan buah impor kemungkinan memaksanya meninggalkan industri ini.

"Pada tahun pertama masuknya impor, harga turun 30 persen. Tahun ini turun minimal 40 persen lagi. Bayangkan saja seperti apa tahun depan," katanya kepada ABC Rural.

"Bila terus berlanjut, keluargaku tidak akan bertahan. Tidak menguntungkan lagi dan tak ada gunanya menanam buah jika tidak ada yang beli," tambahnya.

Vuong tadinya berencana suatu saat kelak akan mewariskan perkebunannya ke anak-anak mereka. Namun kini rencana itu buyar sudah.

"Kami bahkan mungkin tak akan ada di sini dua tahun mendatang," katanya.

Vuong dan istrinya Lisa merupakan salah satu petani buah naga terbesar di Australia, memiliki 3.000 pohon dan berencana memperluas kebun mereka.

Rencana tersebut kini ditunda sampai waktu yang belum jelas.

Vuong mengaku tidak bisa berkompetisi dengan buah impor yang biaya produksinya jauh lebih murah, berbanding 10 sen per kilogram dengan 5-10 dolar per kilogram.

"Biaya produksi kami tinggi. Kami harus disertifikasi dan diatur. Sementara buah dari Vietnam sebagian besar hasil dari pekarangan petani di sana," katanya.

Dia mengaku petani buah naga di Australia khawatir dengan masa depan mereka.

"Ajaib jika kami bisa bertahan selama tiga hingga lima tahun ke depan," katanya.

Ketika impor buah naga diumumkan, Pemerintah Australia menekankan bahwa buah ini akan dikenakan ketentuan kontra musiman.

Artinya, buah tersebut hanya boleh masuk jika tidak sedang musim di Australia.

Namun bagi Vuong Nguien yang selama ini menanam buah di luar musim normal, ketentuan impor tersebut jelas sangat merugikannya karena menghabiskan biaya produksi yang besar.

Dalam pernyataan kepada ABC Rural, Menteri Pertanian David Littleproud mengatakan perdagangan selalu dua arah.

"Australia adalah negara dengan 25 juta penduduk namun menghasilkan produksi makanan yang cukup untuk 75 juta penduduk. Petani kita jelas bergantung pada perdagangan," katanya.

"Jika kami tidak adil terhadap negara lain, maka risikonya kita akan dibalas oleh mereka, serta juga melanggar ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia," tambahnya.

Pelabelan negara asal 

Vuong juga mendesak diberlakukannya kewajiban pelabelan negara asal produk buah naga yang lebih ketat, sehingga memungkinkan konsumen lokal memilih buah lokal daripada buah impor.

Awal tahun ini, UU Pelabelan Negara Asal Produk Makanan mulai diberlakukan. Aturan ini menentukan makanan yang tak dikemas, seperti buah dan sayuran, harus dilabel.

Namun, Vuong menilai pelabelan belum jelas bagi konsumen dan seharusnya labelnya dipasang di setiap buah, bukan hanya di kardus produk tersebut.

Dia mengatakan sudah mendapati buah naga impor di kardus buah miliknya sehingga konsumen mungkin saja berpikir itu produksi lokal.

"Kami melihatnya di beberapa tempat. Kami tahu buah kami, seperti apa bentuknya, dan yang kami lihat itu bukan buah dari perkebunan kami," katanya.

Karena itu, katanya, pelabelan harus diperbaiki sehingga konsumen tahu dari mana asal buah yang mereka beli.

Namun Menteri Littleproud menyatakan pemerintah telah bertindak tepat dalam hal ini.

"Pemerintah Federal telah menerapkan pelabelan negara asal produk untuk memberdayakan konsumen Australia dalam mendukung petani kita," katanya.

Badan pengawas persaingan usaha ACCC, katanya, bahkan diberi tambahan kewenangan untuk mengawasi ketentuan tersebut.

(aiy)


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait

close

Aplikasi Android Batamnews