Pondok Perawan, Tempat Bercinta Gadis Kreung

Pondok Perawan, Tempat Bercinta Gadis Kreung

Salah seorang gadis Kreung duduk di depan Pondok Perawan miliknya. (Foto: Techpuffs via merdeka.com)

SUKU Kreung namanya. Mereka etnis minoritas yang menghuni 27 desa di distrik Ratanakiri, Kamboja. Hidup di alam perkampungan yang tanpa gedung-gedung menjulang, hanya ada hijaunya hutan dan rumah-rumah penduduk yang sederhana.

Secara kasat mata sama saja dengan alam pedesaan lainnya di Indonesia. Namun, nama suku ini menjadi mendunia dan ditulis berbagai media hampir di seluruh dunia lantaran sebuah tradisi unik yang disebut "Pondok Cinta" atau "Pondok Perawan".

Para orang tua di sini membangun sebuah pondok untuk tempat bercinta bagi anak gadisnya. Si anak yang beranjak remaja bebas menerima pria di pondok ini. Mereka bisa bermalam, bahkan bebas berhubungan seks.

Soal apakah hubungan percintaan itu akan berlanjut ke jenjang pernikahan atau tidak, itu sepenuhnya berada pada keputusan si gadis. Jika tidak cocok, maka si gadis bisa menerima pria lain untuk bercinta dengannya di pondok itu.

Suku Kreung percaya bahwa wanita dapat diberdayakan melalui menghabiskan malam dengan anggota lawan jenis yang berbeda.  Untuk itu para ayah membangun pondok cinta untuk anak perempuan mereka yang berumur 9 tahun!

Praktik kuno adalah cara terbaik bagi anak perempuan untuk menemukan suami masa depan mereka.  "Pondok memberi kami kebebasan dan merupakan cara terbaik untuk menjelajahi kekasih sejati kami," kata salah satu gadis Pondok Cinta sebagaimana dikutip boldsky.com.

Menariknya, di desa Pondok Cinta, tak ada perceraian atau kekerasan seksual. Wanita muda hanya terlibat dalam hubungan dengan orang yang mereka rasa nyaman.

"Sebelum kita membuka rumah kita, kita tidak akan bisa membuka hati untuk orang lain," kata Gaham, perempuan berusia 21 tahun dari suku Kreung seperti ditulis Campus Diaries. "Suasana di pondok sedikit gelap dan sunyi. Jadi terasa sangat romantis."

***

INTERAKSI antara sepasang pemuda di gubuk cinta tidak selalu diwarnai hubungan seksual. "Jika aku tidak ingin mereka menyentuhku, mereka tidak akan melakukannya. Kami cuma mengobrol dan tidur," kata  Nang Chan.

Seperti gadis-gadis lainnya, Chan biasa mencari tahu dulu seperti apa kepribadian si pemuda, pandangan hidupnya, keseriusannya, dan sopan santunnya sebelum ia memutuskan untuk bersedia didekati. Kadang para gadis memang harus mengenal sederet pemuda sebelum mereka benar-benar menemukan yang cocok untuk dijadikan pasangan hidup.

Penduduk etnis Kreung memang menghargai seks pra nikah. Jika melakukan hubungan seksual di luar nikah pada budaya-budaya lain dianggap kehilangan kesucian dan kehormatan, dalam budaya Kreung lepasnya keperawanan seorang gadis justru dianggap sebagai simbol dari kedewasaan dan kemandirian.

Seperti dikutip Phnom Penh Post, menurut mereka seks adalah cara bagi pasangan muda-mudi untuk menunjukkan kepada para orang tua bahwa mereka saling mencintai dan berniat serius menjalani komitmen.

Tradisi ini bertujuan untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan bagi remaja puteri untuk belajar tanggung jawab dan kehati-hatian dalam urusan seks. Para orang tua pun tak keberatan anak mereka 'berhubungan' dengan beberapa pemuda sebelum menemukan pasangan sejatinya asalkan si gadis aman dan diperlakukan dengan baik oleh pemuda yang mereka cintai.

Ravee, warga etnis Kreung dari Desa Kala mengatakan, "Dalam komunitas masyarakat kami berhubungan badan sebelum menikah adalah hal yang lumrah. Orang tua bisa ikut mengenal si pemuda karena dia akan tinggal bersama mereka selama beberapa hari."

***

TENTU arus globalisasi juga menembus sampai ke pondok-pondok bambu suku Kreung. Menurut Louis Quail dari Excalibur, tradisi unik ini sudah mulai tergerus arus globalisasi dan budaya barat.

Nilai-nilai budaya Kreung sudah mulai terpengaruh budaya Khmer, yang umumnya menganggap seks pra nikah sebagai hal negatif.

Sekarang ini hanya di desa Tang Kamal yang masih memelihara tradisi pondok cinta. Tetapi di desa ini pun nilai budaya dari tradisi tersebut sudah mulai luntur.

Karena kemajuan teknologi dan mudahnya akses terhadap pornografi, para pemuda Kreung pada zaman sekarang juga sudah mulai tidak menghargai wanita serta seks. "Mereka sudah tidak sesopan dulu," kata Lung Wen, seorang tetua adat dari salah satu desa etnis Kreung.

Pendapat yang sama juga disampaikan Poeun, gadis Kreung.  "Banyak pemuda yang tidak baik. Beberapa dari mereka yang datang untuk menemuiku bersikap arogan."

"Tetapi jika mereka mencoba melakukan sesuatu yang tidak aku inginkan, aku usir saja mereka dengan suara keras. Biasanya cara ini berhasil."***


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait

close

Aplikasi Android Batamnews