Ganja untuk Obat? Terbukti atau Sekedar Akal-akalan

Ganja untuk Obat? Terbukti atau Sekedar Akal-akalan

bbc.com/indonesia

JARI jemari Ifa bergerak cekatan melilit benang pada jarum rajut. Matanya menatap tajam lilitan benang, tanpa berkedip. Bagi Ifa, aktivitas merajut adalah kesenangan tersendiri. Inilah hobi yang dilakoninya setelah rutin mengonsumsi ganja.

Pada  2010, Ifa didiagnosa mengidap pelebaran pembuluh darah atau aneurysma di bagian tengkorak belakang mata. Dia mengaku telah berobat ke mana-mana, tapi hasilnya nihil. "Rumah sakit di Singapura saja sudah bilang tidak bisa diapa-apain lagi," kata Ifa

Pernah ia tiba-tiba kejang dan mulutnya berbusa hingga ia pun harus menjalani opname setiap dua pekan sekali. "Semua orang di rumah stres," katanya.

Hingga kemudian anaknya menyarankannya untuk menggunakan ganja. "Mau apa nggak mencobanya?" sang anak bertanya seperti ditirukan Ifa. "Dan saya mencobanya."

Sejak itu, rasa sakitnya berkurang. "Saya nyaman, enak tidur. Saya perhatiin, sakitnya nggak kayak ditusuk. Sakitnya kadang-kadang muncul, tapi nggak sesakit sampai harus diopname," tuturnya.

Apakah tidak membuatnya fly? "Itu jadi pertanyaan saya waktu saya pakai. Takutnya fly. Ternyata nggak ada sama sekali. Jadi dia sifatnya benar-benar medis. Nggak ada fly atau high, nggak ada sama sekali. Menyamankan, ya. Menenangkan, ya."

Bagaimanapun, tindakan Ifa dalam mengonsumsi ganja tetap saja tergolong melanggar hukum, mengingat ganja masuk kategori narkotika yang tidak bisa dipakai untuk keperluan medis, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang 35 Tahun 2009.

Jika ketahuan mengkonsumsi ganja maka nasib Ifa akan seperti Fidelis Ari Sudarwoto, seorang pegawai negeri sipil di Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, yang mendekam di sel tahanan sejak 19 Februari lalu.

Fidelis menanam ganja untuk diberikan kepada istrinya, Yeni, yang didiagnosa mengidap Syringomyelia -penyakit di sumsum tulang belakang. Yeni meninggal dunia pada 25 Maret lalu setelah Fidelis ditahan.

Kepala Humas Badan Narkotika Nasional, Sulistyandriatmoko, menyatakan perbuatan Fidelis tidak bisa dibenarkan.

"Sifat dari ganja itu, salah satunya yang jahat, kan adiktif. Sampai sejauh ini kan belum ada yang menyatakan secara ilmiah—di dalam jurnal kah, di dalam penelitian kah—bahwa itu bisa digunakan sebagai obat."

Akan tetapi, Ifa—yang memilih tidak mempublikasikan identitasnya—menepis pernyataan BNN.

"Berdasarkan apa dia nangkap saya? Ini buat obat kok, sama sekali bukan buat madat. Salah besar kalo dia bilang itu membuat addict, madat, apa itu. Ini buat obat."

***

SEJUMLAH ilmuan sudah melakukan penelitian untuk menjawab apakah benar ganja itu dapat memberikan manfaat untuk tubuh manusia.

Salah satunya adalah Profesor Musri Musman, ahli kimia dari Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.  Ia melakukan kajian literatur, namun belum meneliti di lapangan.

"Ada bagian dalam zat yang terkandung di dalam ganja, terutama minyaknya, yang bisa mereduksi atau menghambat terjadinya oksidasi," katanya.

Profesor Musri menjelaskan bahwa sifat anti-oksidan di dalam ganja itu yang menghambat pembentukan gula yang berlebihan dalam darah dan tidak dapat dinetralisir oleh insulin. "Dengan demikian terjadi keseimbangan gula dalam darah," papar Musri.

Menurut Musri, dalam kajian literatur, khasiat medis ganja berasal dari senyawa kimia dalam ganja bernama cannabinoid atau disingkat CBD.

CBD diyakini berdampak pada tubuh sejak 1990-an ketika sejumlah ilmuwan menemukan keberadaan dua reseptor CBD dalam tubuh manusia. Reseptor pertama terhubung dengan rasa nyeri, sedangkan reseptor kedua terhubung dengan sistem kekebalan tubuh.

Kedua reseptor ini akan aktif seiring dengan masuknya CBD ke dalam tubuh dan memicu reaksi kimia. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan hingga kini, apa manfaatnya pada proses pemulihan penyakit dan bagaimana mekanismenya?

Ryu Hasan, seorang dokter bedah syaraf, membenarkan temuan kedua reseptor CBD dalam tubuh manusia.  "Namun, belum ada penelitian yang bisa menjelaskan secara rinci mekanisme CBD dalam menghilangkan nyeri dan cara kerja CBD pada reseptor di tubuh manusia," katanya.

Lebih sederhana, kata dia, belum ada penelitian yang membuktikan ganja bisa menyembuhkan penyakit. "Mengurangi keluhan nyeri, iya. Banyak laporan, misalnya, orang-orang dengan HIV/AIDS yang mengonsumsi ganja kualitas hidupnya lebih bagus," kata Ryu.

Tapi, Ryu melanjutkan, apakah sudah diteliti dari sekian ratus orang dengan HIV/AIDS mengonsumsi ganja kemudian dibandingkan dengan pengidap HIV/AIDS yang mendapat obat standar tanpa mengonsumsi ganja. "Perbedaannya bermakna atau tidak? Belum ada penelitian seperti itu," katanya.

Ganja baru bisa dipertimbangkan menjadi opsi pengobatan jika sudah terbukti menyembuhkan ribuan kasus, pengonsumsinya multi etnis, diketahui dosisnya, hingga efek sampingnya. "Ini kan belum."

Ryu mengatakan, pada satu sisi orang-orang yang pro-legalisasi ganja mengklaim banyak penyakit yang bisa diobati dengan ganja. Padahal, klaim tersebut belum bisa dibuktikan secara ilmiah.

Dalam kasus Fidelis, misalnya, Ryu menekankan bahwa penyakit Syringomyelia yang diderita mendiang Yeni tidak bisa disembuhkan ganja.

Cannabis, kata Ryu, hanya meringankan sakit tanpa mengobati sumber penyakit. "Kalau benar Syringomyelia, maka yang bisa dilakukan adalah operasi untuk mengangkat penumpukan cairan di sumsum tulang belakang," ujarnya.

Di sisi lain, pihak-pihak yang anti-ganjam menutup mata tentang manfaat ganja. "Padahal ganja tidak sama dengan narkotika, seperti morfin atau heroin. Belum ada penelitian yang menyebutkan ganja menyebabkan ketagihan," kata Ryu.

***

Kementerian Kesehatan sudah mengeluarkan izin penelitian ganja pada 2015, melalui surat yang ditandatangani Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan nomor LB.02.01/III.03/885/2015 tentang Izin Penelitian Menggunakan Cannabis.

Namun, hingga kini penelitian tersebut belum terlaksana. Menteri Kesehatan Nila Moeloek beralasan biaya penelitian ganja besar dan banyak hal lain untuk diteliti dibanding ganja.

"Kita harus prioritas lah. Penelitian yang menghasilkan benefitnya besar kita lakukan tapi kalau penelitian sudah mahal dan benefitnya kecil rugi dong. Dan kita masih bisa pikir yang lain. Dan penelitian yang lain masih banyak."

Pernyataan Menteri Kesehatan itu disayangkan Ifa, pengonsumsi ganja untuk medis.

"Yang menderita itu harusnya dibantu. Kalau memang nggak percaya khasiatnya, bikin eksperimen. Tolong dibantu, daripada jadi meninggal. Ya semua orang pasti meninggal, Cuma caranya jangan sampai menderita." ***

Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews