WALHI Ingatkan Pemerintah soal Rencana Relokasi Warga Rempang Galang

WALHI Ingatkan Pemerintah soal Rencana Relokasi Warga Rempang Galang

Demo masyarakat melayu di Kantor Gubernur Kepri

Jakarta, Batamnews – Dalam waktu yang lebih dari 7 dekade sejak kemerdekaan Indonesia dari penjajahan asing, isu penggusuran masyarakat oleh pemerintah demi kepentingan investasi skala besar masih menjadi perhatian serius. 

Lebih dari 7 ribu warga di Pulau Rempang, Provinsi Kepulauan Riau, kini menghadapi risiko kehilangan hak atas tanah mereka akibat dari Program Pengembangan Kawasan Rempang sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (KPBPB) Batam.

Dalam upaya mewujudkan rencana investasi senilai Rp 381 triliun, proyek Rempang Eco City yang akan dijalankan oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) dan dikelola oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam telah memperoleh izin Hak Pengelolaan (HPL) atas lahan seluas 17 ribu hektar dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang. 

Baca juga : Peluang Investasi Properti Menjanjikan di Kawasan Sekupang, Batam

Namun, masyarakat Pulau Rempang merasa bahwa langkah ini mengabaikan hak-hak mereka dan melanggar Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).

Dalam aksi protes yang telah berlangsung selama dua bulan terakhir, masyarakat Pulau Rempang telah mengadakan demonstrasi massal untuk menentang rencana penggusuran dan mempertahankan hak mereka untuk tinggal dan memiliki tanah di pulau tersebut. 

Sementara itu, Pemerintah Indonesia Tengah menggelar GTRA Summit 2023 di Pulau Karimun, yang terletak sekitar 73 km dari Pulau Rempang. 

Ini menciptakan paradoks di mana pemerintah berupaya memperkuat hak kepemilikan tanah masyarakat pesisir, tetapi masyarakat Pulau Rempang justru dihadapkan pada ancaman kehilangan tanah akibat proyek investasi.

Baca juga : Proyek Pengembangan Pulau Rempang Terdaftar dalam Program Strategis Nasional

Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI, Parid Ridwanuddin, mengingatkan bahwa investasi skala besar dapat memperparah risiko bencana dan mengancam keberlangsungan hidup masyarakat di pulau kecil seperti Pulau Rempang. 

Dengan keterbatasan ruang dan sumber daya alam, investasi semacam itu dapat mengancam pasokan pangan dan air bersih, menciptakan bencana kemanusiaan yang serius.

Erwin Suryana dari KIARA menyoroti kegagalan Reforma Agraria (RA) dalam melindungi hak-hak masyarakat di pesisir dan pulau-pulau kecil. 

Ia mencatat bahwa upaya sertifikasi tanah dalam konteks RA P3K sebenarnya memfasilitasi peralihan tanah untuk kepentingan investasi, bukan redistribusi tanah yang adil.

Annisa Azzahra dari PBHI mengkritik pengerahan alat negara seperti TNI dan Polri dalam kasus perampasan tanah untuk investasi. 

Ia menilai bahwa pendekatan paramiliter dan represif bukanlah cara yang tepat untuk menangani masyarakat sipil, dan pemerintah seharusnya menghindari cara-cara tersebut dalam menghadapi protes masyarakat.

Koalisi organisasi seperti KIARA, WALHI, YLBHI, dan PBHI telah bersama-sama mengeluarkan siaran pers ini untuk mendesak pemerintah menghentikan penggusuran masyarakat Pulau Rempang demi kepentingan investasi, serta mengkaji ulang pelaksanaan Reforma Agraria untuk melindungi hak-hak masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil.


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews