Pencatutan Nama Jokowi

Ketua DPR Setya Novanto Terancam Penjara, Ini Penjelasan Pakar Pidana

Ketua DPR Setya Novanto Terancam Penjara, Ini Penjelasan Pakar Pidana

Setya Novanto bersama Donald Trump beberapa waktu lalu. (Foto: Facebook)

BATAMNEWS.CO.ID, Jakarta - Ketua DPR RI Setya Novanto yang diduga mencatut nama Presiden RI Joko Widodo, demi meminta saham ke PT Freeport Indonesia terancam penjara. 
Menurut pakar pidana, Setya Novanto bisa dikategorikan sebagai sebuah bentuk tindak pidana penipuan. 

Kendati demikian, pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai, bahwa di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada pasal spesifik yang mengatur soal pencatutan nama.

"Tindakan pencatutan nama itu memenuhi unsur pasal 378 KUHP tentang perbuatan curang (penipuan). Pelaku mengatasnamakan nama palsu dan tentunya keadaan palsu demi keuntungan dirinya sendiri atau orang lain," ujar Fickar, Senin malam. 

Pasal 378 KUHP berbunyi, "Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang rnaupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun". 

Seharusnya, kata Fickar, penegak hukum sudah bisa bergerak, meskipun belum ada keuntungan yang diraih, hanya saja hal tersebut masuk kategori percobaan penipuan dan bukan delik aduan.

“Aparat penegak hukum bisa langsung melakukan proses penyelidikan tanpa harus menunggu laporan,” kata dia.

Menurut dia, percobaan penipuan yang dilakukan adalah kategori kepentingan umum. 

“Penegak hukum memiliki alasan untuk mengusut kasus ini," ujar Fickar.

Selain Pasal 378 KUHP, menurut Fickar, si pencatut juga dapat dijerat dengan Pasal 310 KUHP tentang pencemaran nama baik. Jika menggunakan pasal ini, Jokowi atau Kalla, harus membuat laporan ke polisi. 

Fickar menilai, pencatutan nama presiden dan wakil presiden merupakan cerminan titik terendah etika dan moral pejabat tinggi negara. 

"Dari peristiwa ini kita lihat, di tingkat pejabat tinggi negara saja moral dan etika sudah kalah dengan kepentingan ekonomi. Saya berharap dia diberhentikan dan masuk ke ranah hukum kasusnya. Malu kita dengan orang-orang seperti itu," ujar Fickar seperti dilansir dari kompas.com. 

Dalam salah satu pernyataannya, Sudirman mengatakan, pada pertemuan ketiga, politisi dan pengusaha itu meminta saham sebesar 11 persen untuk Presiden dan 9 persen untuk Wapres demi memuluskan renegosiasi perpanjangan kontrak PT Freeport. 

Saat ini juga beredar transkrip sebanyak tiga halaman yang diterima kalangan media. Sejumlah inisial disebut sebagai pihak yang bertemu, di antaranya SN. Selain itu, transkrip juga menyebut sejumlah nama tokoh pemerintahan dalam perbincangan. Namun, kebenaran transkrip itu belum terkonfirmasi.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said telah melaporkan anggota DPR yang diduga mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla terkait perpanjangan kontrak PT Freeport kepada Mahkamah Kehormatan Dewan.

Dalam sebuah wawancara eksklusif pada sebuah stasiun televisi, Senin (16/11/2015) petang, Sudirman menyebutkan bahwa yang diduga mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden adalah Ketua DPR RI Setya Novanto. 

Namun, ia memilih melaporkannya kepada MKD, dan tidak melaporkannya secara pidana kepada pihak kepolisian. Bisakah pencatut diproses secara pidana?

 

[snw]


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews