Pentingnya Kompromi Terhadap Situasi

Pentingnya Kompromi Terhadap Situasi

Ilustrasi

Oleh: Iskandar Zulkarnain Nasution

KOMPROMI menurut wikipedia bahasa Indonesia memiliki arti sebuah upaya untuk memperoleh kesepakatan di antara dua pihak yang saling berbeda pendapat atau pihak yang berselisih paham. Kompromi juga dapat dikatakan sebagai konsep untuk mendapat kesepakatan melalui komunikasi.

Taliban yang berhasil menguasai sebagian besar Afghanistan masa ini melakukan hal tersebut. Taliban berkompromi. Berbeda sekali dengan profil Taliban yang berkuasa 20 tahun yang lalu

Ada 2 isu utama yang dikedepankan Taliban yakni membuka ruang kerjasama dengan para pejabat Afghanistan yang telah ditaklukkan dan memberikan kesempatan bagi wanita untuk duduk di beberapa pos Kementerian. Ini adalah salah upaya Taliban untuk memberi keyakinan, tidak hanya di dalam negeri tapi juga dunia Internasional, bahwa Taliban sudah berganti haluan, menjadi islam yang moderat.

Langkah pertama yang dilakukan Taliban dalam usahanya tersebut adalah melakukan pertemuan dan menjalin kompromi dengan Presiden Hamid Karzai, yang memerintah di Afghanistan setelah Taliban digusur oleh koalisi Amerika Serikat 20 tahun yang lalu.

Walaupun demikian langkah kompromi Taliban ternyata ditentang oleh Wakil Presiden Pertama Afghanistan yang melarikan diri ke Provinsi Pansjir, Amirullah Saleh, yang berasal dari etnis Tajik, menantang hegemoni Taliban yang mayoritas berasal dari etnis Pashtun. Ini mulai mengerucut menjadi pertentangan berdasarkan suku dan etnis yang telah membelah Afghanistan sejak lama. Ternyata di Afghanistan, urusan suku tidak ada kompromi.

Kompromi yang dilakukan Presiden Trump di tahun 2019 dengan Taliban lah yang juga membuka kotak pandora kelemahan Pemerintahan Afghanistan. Setelah hasil kompromi tersebut dilaksanakan, hanya dalam 10 hari, Taliban berhasil merebut kekuasaan dan Presiden Ashraf Ghani melarikan diri dengan menenteng ratusan juta dolar terbang ke Uni Emirat Arab (UEA), setelah ditolak masuk oleh Negara Tajkistan.

Ada 300 ribu tentara terlatih Afghanistan dengan perlengkapan perang canggih yang menjaga eksistensi Pemerintahan. Namun lemahnya koordinasi lapangan tempur dan suplai logistik yang tidak terkoneksi mengakibatkan Taliban bebas menguasai kabul tanpa ada pertempuran. Nyaris 300 ribu tentara tersebut menolak bertempur dan melarikan diri. Padahal mereka direkrut, dilatih dan bertempur bersama pasukan koalisi Amerika Serikat selama 20 tahun.

Beralih ke Indonesia, ketika Pilpres 2019 kemarin, rivalitas antara Presiden Joko Widodo dan Letjen (Pur) Prabowo Subianto, berhasil diminimalisir. Terjadi kompromi yang mengagetkan semua kawan politik maupun lawan politik. Prabowo bersedia bergabung dalam Pemerintahan Presiden Joko Widodo. Langkah kompromi ini menjadi berkah, apatah lagi tak lama setelah kompromi ditunaikan, Indonesia dihadapkan pada gelombang pandemi Covid-19 yang tidak mengenal kompromi. Kita tidak bisa bayangkan, bagaimana situasi Indonesia jika rivalitas itu belum diselesaikan melalui kompromi kedua belah Pimpinan terbaik di Indonesia saat ini.

Tentara Indonesia juga harus mulai memikirkan 2 situasi perang yang baru saja terjadi. Selain di Afghanistan, juga ada di Armenia dan Azerbaijan. Kedua perang ini menampilkan 2 hal yang kontradiktif. Taliban dengan peralatan persenjataan yang kalah canggih, diduga dipasok oleh China, berhadapan dengan kecanggihan peralatan NATO dan Amerika Serikat yang dimiliki oleh tentara Afghanistan. Persoalannya adalah lemahnya rantai komando dan putusnya rantai logistik perang.

Sementara perang singkat Armenia Azerbaijan yang secara kalkulasi dimenangkan oleh Azerbaijan, menggunakan peralatan tempur uzur dengan pasukan darat terlatih di sisi Armenia berhadapan dengan kecanggihan drone tempur Turki yang dipergunakan oleh tentara Azerbaijan. Azerbaijan berhasil memenangkan sengketa wilayah yang telah berlangsung selama 30 tahun.

Tentara Afghanistan juga memiliki drone tempur, Azerbaijan memilikinya, mengapa hasilnya berbeda? Ini memerlukan kajian militer komprehensif jika Indonesia mau menang dalam setiap ancaman yang melanda negara.

Sebagai perbandingan, menghadapi ancaman separatis Papua, yang ditangani joinstrike TNI-Polri, dimana jumlah separatis hanya ratusan orang dengan senjata yang tidak signifikan, TNI-Polri sedikit kewalahan. Bahkan sampai sekarang belum dapat mengeliminasi ancaman separatis tersebut.

Doktrin kontra gerilya TNI sepertinya belum mampu menangani pola klandestein yang diterapkan oleh separatis Papua. Ada kesenjangan dalam proses tranformasi kehandalan strategi di lapangan, dan kecanggihan peralatan ketika berhadapan dengan separatis yang berjuang di gunung gunung. TNI harus memiliki konsep perang gerilya dan kontra gerilya sehingga mampu secara cepat mengeliminir separatis tersebut.

Evaluasi terhadap keterlibatan Polri dalam kontra separatis juga perlu dilakukan, Penempatan Polri dalam tugas mirip perang di wilayah pegunungan akan menimbulkan keasingan dalam bertindak di lapangan. Polri kita tidak dididik untuk mobilisasi keamanan di gunung dan hutan, mereka digunakan untuk tertib sipil di kota dan kampung. Kita bisa lihat jika tindak pidana teroris ataupun separatis bermuat di kota dan kampung, Polri sangat handal dan terbukti berhasil.

Pembelajaran metode klandestein di Timor Leste harusnya menjadi bahan baru strategi kita dalam menghadapi skala tempur yang menggunakan gunung dan hutan sebagai media mereka. Kita harus melakukan kompromi dengan kekuatan yang ada yang bisa berpihak kepada kita. Kalau tidak, maka pembelajaran 20 tahun Taliban berjuang dengan memberontak terhadap Pemerintahan yang sah yang dilindungi Amerika, dan 30 tahun sengketa wilayah Armenia Azerbaijan, juga bakal kita cicipi.

Penulis pengamat sosial di Kepulauan Riau.


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews