Kabul Bagai Kota Hantu, Orang-Orang Frustrasi dan Cemas

Kabul Bagai Kota Hantu, Orang-Orang Frustrasi dan Cemas

Helikopter AS di Kabul. (Foto: AFP)

Kabul, Batamnews - Pejuang Taliban mengepung ibu kota Afghanistan, Kabul, pada 15 Agustus, setelah beberapa pekan berhasil menduduki sejumlah wilayah di negara tersebut. Hal ini memicu eksodus massal warga Kabul, di mana warga panik dan berusaha melarikan diri, dan sejumlah kedutaan besar berusaha mengevakuasi staf mereka.

Warga berharap pemerintah dan Taliban akan memegang janji mereka untuk mencegah pertempuran dan menjamin keamanan warga.

Video dan foto banyak yang viral di media sosial menunjukkan kekacauan di Kabul ketika Taliban memasuki kota tersebut pada 15 Agustus. Saat Taliban telah mencapai pinggir kota, penduduk mengemas barang-barang mereka dan menarik uang, dengan harapan bisa meninggalkan negara tersebut, yang hampir segera beralih dikuasai Taliban.

Ada video yang menunjukkan pejuang Taliban berada di gerbang kota Kabul, diperintahkan menunggu di pinggir kota sementara kelompok itu bernegosiasi dengan pemerintah untuk peralihan kekuasaan yang damai. Mereka diperintahkan memberi jalan bagi warga yang ingin meninggalkan negara tersebut.

“Rakyat Afghanistan seharusnya tidak khawatir, tidak akan ada serangan di kota dan akan ada penyerahan kekuasaan yang damai ke pemerintahan transisi,” kata Menteri Dalam Negeri Afghanistan, Abdul Sattar Mirzakwal dalam sebuah pidato yang direkam, dikutip dari France 24, Senin (16/8/2021).

France 24 Observers mewawancarai Abdullah (bukan nama sebenarnya), seorang aktivis HAM yang bersembunyi di Kabul. Dia sedikit terhibut dengan janji pemerintah dan Taliban bahwa tidak akan ada pertumpahan darah di Kabul.

“Kabul relatif tenang sekarang. Setidaknya kami tahu tidak akan ada pertempuran terkait penyerahan kekuasaan di Kabul. Sejauh ini, baik Taliban dan pemerintah (Ashraf Ghani) sepakat untuk penyerahan kekuasaan dengan damai. Tapi Kabul bak kota hantu sekarang, toko-toko ditutup, jalan-jalan kosong. Orang-orang frustrasi dan cemas,” jelas Abdullah.

Pada titik tertentu, lanjut Abdullah, pengumuman tersebut setidaknya memberi mereka kabar positif. Namun, bagi kelompok yang bisa menghadapi persekusi dari Taliban, seperti aktivis sosial, aktivis HAM, dan jurnali, ada kekhawatiran yang nyata.“Saya harap Taliban akan menepati janjinya dan menjamin keamanan setiap orang,” harapnya.

 

Menakutan dan penuh ketidakpastian

Mostafa, seorang guru yang bersembunyi di Kabul, khawatir Taliban tidak bisa menepati janjinya terkait keamanan dan menjunjung tinggi HAM.

“Saat ini Kabul benar-benar kosong, tidak ada pemerintahan, tidak ada aturan, tidak ada polisi, tentara, tidak ada siapapun. Situasinya menakutkan, panik, dan tidak pasti,” ujarnya.

Dia mengatakan, pejuang Taliban tidak memiliki basis tentara atau militer, karena itu Mostafa takut mereka melakukan kekerasan.

“Mereka bisa mengambil rumah-rumah, mereka mungkin mengawasi perempuan, pejabat pemerintah, jurnalis, dan menghukum mereka. Tidak ada pemerintah, tidak ada kontrol. Jadi jika mereka melakukan pencurian atau pembunuhan atau kejahatan lainnya, tidak ada sistem yang bisa menangkap mereka. Orang-orang tidak tahu bakal melapor ke siapa,” ujarnya.

“Taliban mengatakan (warga bisa meninggalkan kota itu dengan bebas) dalam sebuah pernyataan, tapi kita harus menunggu dan melihat apa yang sebenarnya Taliban lakukan. Mereka harus menunjukkan keinginan baiknya dengan tindakan. Jika mereka ingin mengatakan mereka telah berubah, mereka harus membuktikannya.”

“Ketika saya berusia tujuh, delapan, sembilan tahun, saya mengalami rezim (Taliban sebelumnya). Perempuan benar-benar ditelantarkan, diabaikan. Ibuku tidak bisa pergi ke dokter sendiri. Dia tidak bisa pergi membeli makanan untuk kami. Ketika ada hal darurat, ibuku tidak bisa ke apotek atau ke dokter. Kakak perempuanku tidak bisa sekolah. Ini adalah kekhawatiran utama kami kalau Taliban kembali berkuasa.”

Mereka yang tidak bisa meninggalkan negara itu kini terperangkap di Kabul.

Ali, bukan nama sebenarnya, seorang penjaga toko, mengatakan kepada France 24 Observers, dia tidak punya pilihan kecuali tinggal di Kabul.

“Situasi di Kabul tidak normal, toko-toko tutup, orang-orang ketakutan dan jalan-jalan seperti kota hantu, orang-orang menunggu apa yang akan terjadi. Saya khawatir dengan masa depan kami, dan khususnya keluarga kami, karena ayah saya bisa menjadi target Taliban. Sekarang Taliban telah menduduki semua kota, jadi mau pergi kemana lagi, bahkan kami tidak bisa meninggalkan rumah. Kami bersembunyi di suatu tempat bersama keluarga kami. Saya berusaha kabur dari Afghanistan tapi tidak bisa karena saya tidak punya uang," jelas Ali.

Sejumlah kedutaan besar juga mengevakuasi staf mereka dan sejumlah saksi mata melaporkan melihat asap dari kantor kedutaan AS di Kabul ketika kedutaan dilaporkan membakar sejumlah dokumen sensitif.

Presiden Afghanistan, Ashraf Ghani kabur ke Tajikistan, menurut sejumlah pejabat pemerintah, ketika Taliban mengatakan pihaknya tidak akan masuk lebih jauh ke Kabul setelah menghabiskan berjam-jam di pinggir kota.

Taliban memerintah Afghanistan dari 1996 sampai intervensi militer AS pada 2001. Pada Februari 2020, AS dan Taliban menandatangani kesepakatan untuk penarikan pasukan Amerika. Setelah tentara AS meninggalkan negara itu pada Mei dan Juni 2021, Taliban mulai melakukan serangan dan kembali meraih kontrol di beberapa distrik di sejumlah provinsi.


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews