DPR Nilai Pemerintah Tak Bisa Bersikap Soal Uighur Karena Dorongan Emosional

DPR Nilai Pemerintah Tak Bisa Bersikap Soal Uighur Karena Dorongan Emosional

Anggota DPR Willy Aditya.

Jakarta - Anggota Komisi I DPR Willy Aditya meminta kasus Uighur dilihat dalam perspektif yang lebih komprehensif sebelum pemerintah mengambil keputusan. Dia mengatakan, tindakan pemerintah Indonesia sebagai representasi negara dengan penduduk muslim terbesar harus dengan pertimbangan matang. Willy meminta keputusan pemerintah tak bisa didasarkan dorongan emosional semata.

"Indonesia ini negara muslim terbesar, maka sedikit saja langkahnya akan mempengaruhi situasi global. Itu menjelaskan mengapa baik China maupun Amerika dan negara Eropa terus membujuk Indonesia bersikap. Karena itu, sikap pemerintah tidak bisa didasarkan atas dorongan pertimbangan emosional semata," ujarnya dalam pesan singkat, Jumat (27/12/2019).

Ketua DPP NasDem itu menyebut, masalah Uighur seperti kasus simpanan yang bakal dipakai pada saat tertentu. Dia menyebut, tidak bisa dipisahkan perhatian terhadap Uighur dengan konteks perang dagang China dengan Amerika dan ekspansi ekonomi China.

"Setelah mengeluarkan kebiijakan UU HAM untuk Hongkong, AS mengeluarkan kebijakan UU sejenis untuk Uighur. Ini kemudian diikuti oleh Uni Eropa. Pada saat yang sama Turki, Arab Saudi dan beberapa negara lainnya justru berkebalikan sikap dengan AS dan UE. Kondisi demikian harus jadi pertimbangan pemerintah sebelum menyatakan sikap resmi dan mengambil langkahnya," jelas Willy.

Willy meminta pemerintah tidak perlu merasa terdesak menyikapi kasus Uighur. Sehingga untuk masalah ini harus dilakukan analisa dan kalkulasi yang matang. Dia mengatakan, ada urusan dalam negeri yang butuh perhatian dan perlu negosiasi bersama dengan negara lain yang bersikap terhadap Uighur.

"Tujuan kita bernegara itu salah satunya membangun perdamaian dunia yang jalannya disepakati lewat politik luar negeri yang bebas aktif. Atas nama perdamaian yang menjadi tujuan bernegara penduduk muslim terbesar di dunia, pemerintah bisa meminta China membuka akses Fact Finding Mission independen yang bebas dari kepentingan negara lain semacam UE dan AS. Sama seperti di kasus Rakhine," jelasnya.

Willy menegaskan, semua pihak geram dengan dugaan pelanggaran HAM di manapun termasuk China. Tetapi tidak lantas melegalkan aksi politik dan intervensi. Dia mengatakan, fatsun politik luar negeri, Indonesia harus menghormati independensi dan kedaulatan negara lain.

"Kita tetap harus menjaga kedaulatan dan independensi negara China walaupun ada ajakan dari negara lain untuk melakukan intervensi menggunakan kasus Uyghur. Banyak cara bisa kita gunakan untuk mewujudkan perdamaian di China. Propaganda harus dibersihkan lewat kajian yang ilmiah sebelum bersikap. Kita mau Uyghur terjamin hak kemanusiaannya dan China tak merasa diintervensi apalagi diinvasi negara lain. Sudahi kampanye yang melibatkan keagamaan dalam kasus uyghur ini karena akan mempertajam konflik dan menjauhkan upaya perdamaian," jelasnya.

(*)


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews