Polisi Tembak Rekannya di Depok Bukti Lemahnya Pengawasan Pimpinan pada Anggota

Polisi Tembak Rekannya di Depok Bukti Lemahnya Pengawasan Pimpinan pada Anggota

Suasana Duka polisi ditembak di Depok.

Jakarta - Anggota Polairud Baharkam Polri Brigadir RT menembak rekannya, Bripka Rahmat Efendi di Mapolsek Cimanggis, Kamis (25/7/2019). Peristiwa berdarah tersebut berawal saat korban melerai aksi tawuran pelajar dan membawa salah satu pelaku aksi tawuran untuk diproses ke Polsek Cimanggis. Dari hasil pemeriksaan, Brigadir RT merupakan paman dari Fahrul, pelaku tawuran yang ditangkap Bripka Rahmat.

Kasus polisi tembak rekannya sendiri bukanlah yang pertama terjadi. Pengamat Kepolisian Institut for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menilai, peristiwa itu bisa dihindari jika anggota polisi memiliki kontrol emosi yang kuat. Ditambah mental dan perilaku personel polisi.

"Makanya faktor-faktor psikologis anggota yang mendapat izin penggunaan senjata harus terus dikontrol secara ketat," ujar Bambang, Sabtu (27/7/2019).

Menurutnya, meskipun psikotest dilakukan setiap bulan, tidak menjamin kondisi kejiwaan anggota polisi terus stabil setiap jam. Maka yang lebih penting dari evaluasi melalui psikotes adalah pengawasan perilaku anggota yang sudah diberikan izin membawa senpi dari pimpinan di kesatuannya.

"Seseorang bisa saja secara mental lolos test tetapi memiliki perilaku yang tak bagus dengan pergaulan yang tak bagus. Misalnya di luar tupoksinya sebagai anggota, menjadi beking kelompok-kelompok yang mengarah ke kejahatan."

Seorang anggota polisi berhak menggunakan senjata melekat 7x24 jam atau selama berdinas. Dalam kasus ini, harus dievaluasi seorang anggota Polairud bisa menenteng senjata jauh di luar wilayah kerjanya. Pimpinan kesatuan masing-masing harus punya tanggung jawab untuk mengawasi perilaku anggotanya. Terutama yang diberikan izin membawa senjata.

"Jangan sampai dengan pemberian izin penggunaan senjata api yang memang melekat dengan kebutuhan sebagai aparat keamanan malah berbalik menjadi ancaman bagi keamanan," katanya.

Kekerasan di dalam kantor yang menyebabkan kematian tak bisa ditoleransi. Apalagi terjadi di dalam institusi pemegang otoritas keamanan. SOP penerimaan tamu, termasuk sesama anggota kepolisian yang lintas kesatuan, harus diperketat.

"Seringkali polisi meremehkan hal-hal kecil, soal pengisian buku tamu misalnya, keramahan menerima tamu dsb. Padahal itu adalah salah satu bentuk barrier untuk pencegahan. Melakukan kewaspadaan tanpa meninggalkan keramahan, bisa meredakan seseorang yang sudah berangkat dengan emosi. Petugas jaga SPKT harus melakukan seperti itu," tutupnya.

(*)


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews