Bom Waktu Polemik Ganti Rugi Lahan Waduk Sei Gong

Bom Waktu Polemik Ganti Rugi Lahan Waduk Sei Gong

Proses pembangunan Waduk Sei Gong beberapa waktu lalu.

Batam  - Lahan Waduk Sei Gong, Kecamatan Galang, Kota Batam masih berpolemik. Beberapa warga melakukan gugatan terkait ganti rugi lahan yang dinilai mengangkangi hak mereka.

Persidangan terkait gugatan perdata masalah ini sejatinya mulai pada Senin (7/1/2019), namun ditunda.

Beberapa warga yang memiliki lahan di Sei Gong, warga Kampung Tanjungpiayu, Desa Setengar yang bermasalah sedang mencari solusi. Hal ini dikatakan kuasa hukum warga terkait, Rusman Arief.

Rusman mengungkapkan kasus perdata ini ditangani timnya Rusman Arief Nasution advocate and counselor at law, menggandeng rekanannya Muhammad Anwar & Partners.

Menurut Rusman, jika dihitung, kerugian warga pemilik lahan mencapai Rp 37 miliar. "Sekitar 1.620 ribu meter persegi, atau 162 hektare diduga dimanipulatif BP Batam dalam pembebasan lahan," ujarnya.

Menurutnya hal ini bisa menjadi bom waktu. Ia menyesalkan, di tengah polemik yang belum jelas ini, waduk Sei Gong tetap diresmikan presiden beberapa waktu lalu.

"Tim hukum kami bersama warga sudah melakukan upaya-upaya persuasif, pendekatan dan komunikasi yang intens secara kekeluargaan. Namun tidak mendapat respons dari pihak terkait," ungkapnya.

Kuasa hukum lainnya, M. Anwar menyebutkan jika warga yang lahannya terkena pembangunan waduk sebenarnya meminta proses ganti rugi dilakukan dengan baik dan benar oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian PUPR.

"Namun kenyataan warga mengaku 'dipingpong' terus tidak jelas. Mereka sudah capek memperjuangkan dari tahun 2015. Hampir 3 tahun," tukasnya

Ia dan timnya mengaku sudah mempelajari substansi masalah. "Presiden pernah kunker ke lokasi pada Mei. Presiden mengatakan tak ada ganti rugi. Yang ada hanya tanam tumbuh," sebutnya.

Anwar mensinyalir ada informasi yang tak sama antara tim presiden dan tim di tingkat daerah. "Fakta di SK gubernur hanya uang kerohiman. Tanah tidak ganti rugi, karena dianggap tanah negara. Itu nggak sesuai fakta. Masyarakat di sana sudah ada sejak 1982. Otorita Batam itu masuk tahun 1973. Wilayahnya tak masuk Galang. Tahun 2015 itu ditetapkan hutan lindung. Jadi kami rasa informasi yang masuk ke presiden itu keliru dari bawah," paparnya.

Menurutnya ganti rugi harus dijalankan dengan benar. Buktinya warga punya surat-surat yang sah atas kepemilikan lahan di lokasi itu yang ditandatangani pejabat yang sah.

"Klien kami beli tanah ada surat dan bukti pembayarannya. Yang jelas di lahan itu ada bangunan, ladang, kolam dan sebagainya. Proses uang kerohomiam yang diberikan ke klien kami juga tidak pernah dirembukkan adanya diimingi," terang Anwar.

Namun masyarakat menurutnya terkejut saat disodorkan uang kerohiman itu, sementara surat SK gubernur mereka belum dapat.

"Dalam ebuah konstruksi hukum, ini kekeliruan yang sangat fatal. Ini yang jadi spirit kami untuk maju," ungkapnya

(oke)


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait

close

Aplikasi Android Batamnews