Ini Alasan Tentara Inggris Anggap Pertempuran 10 November di Surabaya Bak Neraka!

Ini Alasan Tentara Inggris Anggap Pertempuran 10 November di Surabaya Bak Neraka!

Ilustrasi

Surabaya - Tentara Inggris datang ke Indonesia sebagai pemenang perang dunia II. Mereka bertujuan untuk melucuti tentara Jepang yang kalah perang. 

Inggris juga diberi mandat untuk memulihkan, apa yang disebut pihak sekutu, ketertiban di Indonesia. Artinya mereka akan mengembalikan Indonesia pada jajahan Belanda, seperti pada era sebelum perang.

Orang-orang Belanda atau Netherlands Indies Civil Administration (NICA), ikut membonceng masuk kembali ke Indonesia bersama tentara Inggris tanggal 25 Oktober 1945. Hal ini memancing kemarahan rakyat Indonesia.

Berbagai ketegangan terjadi. Insiden awal terjadi tanggal tanggal 18 September 1945 saat sekelompok orang Belanda mengibarkan bendera merah putih biru di atas Hotel Yamato. Rakyat ramai-ramai merobek warna biru dan mengibarkan bendera merah putih.

Hal ini diperparah oleh aksi tentara Inggris membebaskan paksa sejumlah orang Belanda yang ditahan rakyat Surabaya.

Tanggal 27 Oktober, sebuah pesawat Dakota menyebarkan pamflet dari Mayor Jenderal Hawthorn, Panglima Divisi ke-23. Isinya dalam waktu 2x24 jam, rakyat Surabaya harus menyerahkan senjata pada pasukan Inggris. Jika tidak, akan ditembak di tempat.

Ketegangan segera meningkat. Rakyat Surabaya tak sudi menuruti perintah Inggris. Pertempuran demi pertempuran antara Tentara Keamanan Rakyat (TKR), bersama masyarakat, melawan tentara Inggris terjadi sejak 28 Oktober.

Sebagai pemenang perang dunia, Inggris tak menyangka akan mendapat perlawanan sengit dari rakyat Indonesia. Bayangkan, tentara Jerman saja yang nyaris menaklukkan dunia mereka kalahkan. 

Namun siapa sangka di Surabaya, Inggris justru mendapat perlawanan habis-habisan hingga tentara Inggris menyebutnya sebagai neraka atau Inferno di Timur Jawa.

Berikut beberapa kisah pertempuran heroik di Surabaya:

1. Pasukan berani mati

Kekuatan tentara Inggris di Surabaya saat itu diperkirakan sekitar satu divisi tentara, atau 5.000-6.000 prajurit. Sementara kekuatan laskar bersenjata dan TKR ada 30.000 orang. Jumlah ini ditambah minimal 100.000 rakyat bersenjata tajam yang siap bertempur hidup dan mati. 

Bantuan terus berdatangan dari daerah-daerah sekitar seperti Malang, Gresik, Pasuruan, Ponorogo dan Mojokerto. Dalam Buku Surabaya 10 November 1945, sejarawan Batara Hutagalung mengutip pernyataan Kolonel Doultan bagaimana serangan gelombang manusia di Surabaya tak takut mati.

Gempuran tembakan dari meriam kapal inggris di pelabuhan, serta serangan dari pesawat terbang tidak menggetarkan nyali para pemuda untuk maju. Orang Indonesia di Surabaya tidak menghiraukan kematiannya. 

Jika seorang laki-laki jatuh tertembak, 100 orang lainnya datang maju. Maju terus menyerang. Senjata berbicara tidak putus-putusnya. Kematian telah bertumpuk-tumpuk dan di atasnya barikade berbentuk kuda-kuda. Tetapi orang Indonesia makin bertambah banyak berdatangan, melangkahi para pemuda yang tewas bergelimpangan di depannya, kata Doulton.

2. Tentara Inggris nyaris hancur total

TKR dan rakyat menyerbu semua pos tentara Inggris di seluruh sudut Kota Surabaya. Mereka juga melakukan blokade total. Aliran listrik dan air dimatikan. Truk-truk yang mengirim bantuan makanan dan air untuk tentara Inggris dihalau.

Bantuan dari udara yang diterjunkan pun seringkali tidak tepat sasaran dan malah jatuh ke tangan pemuda Surabaya. Saat itulah pimpinan Tentara Inggris menyadari seluruh Brigade 49 akan wiped out. Karena itu mereka mengibarkan bendera putih dan meminta gencatan senjata.

Inggris juga meminta Presiden Soekarno untuk terbang ke Surabaya guna membujuk pejuang agar menghentikan serangan pada tentara mereka. Hal ini menimbulkan dilema bagi TKR dan pemuda Surabaya. 

Di satu sisi mereka harus ikut keputusan Bung Karno untuk menghentikan tembak-menembak. Namun di sisi lain, saat itu mereka sebenarnya telah berhasil mengalahkan pasukan Inggris.

Bung Karno dan Bung Hatta kembali ke Jakarta tanggal 30 Oktober 1945. Setelah menyepakati gencatan senjata dengan Inggris.

3. Tewasnya Jenderal Mallaby dan Symonds

Selama 5 tahun berperang dengan Jerman, dan 3 tahun melawan Jepang, tak satu pun Jenderal Inggris pernah tewas di pertempuran. Namun justru di Surabaya, Inggris kehilangan seorang jenderal. Brigadir Jenderal Mallaby tewas setelah kericuhan di sekitar gedung Internatio tanggal 30 Oktober.

Saat itu sudah disepakati gencatan senjata. Gedung Internatio adalah pos pertahanan Inggris yang terakhir. Tak jelas siapa yang memulai. Namun menurut para pejuang, tentara Inggris dari gedung yang menembak lebih dulu. Aksi itu dibalas tembakan balasan oleh para pejuang.

Setelah 2 jam tembak menembak, terlihat mobil Brigjen Mallaby hancur dan jenderal itu tewas. Ada beberapa versi. Dari pihak pejuang, banyak yang dengan bangga mengaku menembak Mallaby. Masing-masing punya versi sendiri.

Namun dari penjelasan pewira Inggris di Brigade 49, Kapten Smith, ada pejuang Indonesia yang mendekati mobil dan menembak Mallaby hingga tewas. Smith membalasanya dengan melemparkan granat sebelum berlari meninggalkan mobil. 

Granat itu meledak membunuh dua pejuang, namun juga mengakibatkan bagian belakang mobil hancur. Jadi ada kemungkinan justru granat Smith lah yang menghabisi Mallaby.

Inggris menjadikan kematian Mallaby sebagai alasan menghukum rakyat Surabaya. Mereka mengerahkan pasukan Divisi ke-5 dan Marinir ke Surabaya. Jumlah total pasukan Inggris membengkak menjadi 30.000 prajurit didukung kapal perang, pesawat tempur, meriam dan tank.

Kelak dalam pertempuran, Sebuah pesawat yang dipiloti Letnan Osborn yang ditumpangi Brigadir Robert Guy Loder-Symonds jatuh pada pukul 09.50 pada 10 November. Hal ini membuat 2 jenderal Inggris tewas di Surabaya.

4. 10 November yang berdarah

Tanggal 10 November 1945 Inggris menggempur Kota Surabaya habis-habisan dari darat, laut dan udara. Mereka sesumbar bisa merebut Surabaya dalam waktu tiga hari. Namun pertempuran berjalan dengan berdarah-darah.

David Whehl dalam buku Birth of Indonesia menulis, pertempuran terdengar di seluruh penjuru kota. Jalan-jalan harus diduduki satu per satu, dari pintu ke pintu. 

Rakyat Indonesia memberikan perlawanan dengan fanatik. Ada yang menyerang tank dengan pisau belati. Ada juga dengan cara lebih terorganisir seperti yang diajarkan Jepang.

Kota Surabaya porak poranda. Tak ada jembatan atau gedung yang utuh. Dari pihak Republik, hingga akhir November tak kurang dari 16.000 orang tewas. Sementara di pihak Inggris diperkirakan 600 prajurit tewas, termasuk dua orang jenderal. Kerugian besar bagi dua belah pihak.

(pkd)


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews