Batam dan Hegemoni Singapura

Batam dan Hegemoni Singapura

Suyono Saputro (Foto: Istimewa)

Perayaan Hari Kemerdekaan Singapura yang digelar Konjen Singapura di Batam terasa istimewa karena dihadiri langsung oleh Menteri Pertahanan dan Luar Negeri Mohamad Maliki Osman, setelah sehari sebelumnya hadir di Medan dalam acara yang sama.

Ada yang menarik dari kehadiran pejabat penting Kabinet Lee Hsien Leong itu adalah rencana Singapura untuk terus meningkatkan kemitraan dan perluasan kerjasama strategis dalam rangka membangun hubungan saling menguntungkan antara kedua negara.

Bagi Singapura, Batam tentu memiliki peran strategis karena besarnya investasi perusahaan asing asal negeri Jiran tersebut. Begitu juga sebaliknya, bagi Batam dan Indonesia kedekatan dengan Singapura merupakan sebuah anugrah dan keuntungan/keunggulan daya saing geografis yang tidak dimiliki daerah lain di Indonesia.

Jadi tidak perlu lagi kita bertanya sejauh mana peran dan dominasi Singapura dalam mendukung dan menopang perekonomian Batam sejak 1980 sampai 2018 ini. 

Justru yang harus kita sikapi adalah bagaimana Batam dan Indonesia bisa semakin maju berkembang dengan memanfaatkan kedekatan hubungan ini dengan memaksimalkan kerangka kerjasama yang sudah dibangun, sejak 24 tahun lalu.

Segitiga Emas

Sejak 1980-an, potensi tiga negara bertetangga (Indonesia-Malaysia-Singapura) ini menjadi perhatian serius terutama bagi Singapura. Singapore Economic Development Board melakukan kajian terhadap potensi tersebut dan proposal untuk membentuk skema kerjasama lintas batas itu diumumkan secara resmi oleh Deputi PM Goh Chok Tong pada 1989.

Namun komitmen politik untuk bekerjasama tiga negara antara Singapura dan Malaysia (Negara bagian Johor Baru) dan Indonesia (Batam-Bintan) ini baru bisa ditetapkan dalam sebuah nota kesepakatan yang ditandatangani di Johor Bahru pada 17 Desember 1994.

Tim Bunnel et. al (2004) dalam risetnya berjudul Geographies of Power in the Indonesia-Malaysia-Singapore Growth Triangle,  menyebutkan visi awal Singapura dalam kerjasama segitiga ini adalah bagaimana agar potensi ekonomi negara tersebut bisa dikelola secara efektif melalui cross-border hinterlandization. 

Singapura dengan kekuatan modal dan teknologi yang dimiliki dapat dengan mudah mengakses tenaga kerja murah, lahan siap bangun, dan sumber air baku di Malaysia dan Indonesia. Atau dengan kata lain, Singapura menyediakan modal, Johor dan Batam menyediakan lahan dan tenaga kerja, dalam konteks economic complementary.

Faktor lain dipilihnya Batam dan Johor adalah kedekatan wilayah. Batam - Singapura dapat ditempuh kurang dari sejam dengan kapal penumpang dan barang, begitu juga Johor - Singapura yang sudah terhubung jembatan. Sehingga diharapkan arus barang dari dan ke Singapura bisa lebih cepat dan menekan biaya logistik.

Karena sebagai pelengkap (complementary), maka sudah pasti porsi Singapura sangat dominan dalam kerjasama ini. Kondisi ini sempat jadi perdebatan karena pada saat yang sama, Pemerintah RI berniat mengembangkan Batam agar menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dan kota metropolis baru bersaing dengan Singapura.

Sebagai tindak lanjut dari Sijori Growth Triangle tersebut, perusahaan asal Singapura melalui bekerjasama dengan mitra dari Indonesia membangun Batamindo Industrial Park pada era 1990-an. Sejak itu arus investasi asing dari perusahaan multinasional baik yang berbasis di Jepang dan Singapura berduyun-duyun datang ke Batam.

Data terakhir dari BP Batam (2017) menyebutkan dari US$10 miliar investasi PMA yang tercatat hampir 75% PMA yang ada berasal dari Singapura baik joint-venture dengan perusahaan lokal maupun sesama PMA, diikuti oleh Jepang, Malaysia, dan negara lainnya. Sementara itu dari sisi ekspor, rata-rata pertahun sebesar US$9 miliar sekitar 2/3 diantaranya diekspor atau transit ke Singapura

Efek dari tingginya arus investasi asing tersebut mendorong sektor ekonomi lain tumbuh signifikan yaitu sektor perdagangan jasa, pariwisata, properti, keuangan perbankan, dan lainnya. Batam menjadi tujuan para pencari kerja dari berbagai daerah di Indonesia. Walaupun belum optimal, Batam harus diakui telah menjadi kekuatan ekonomi baru di tanah air.


Berbagi Peran

Setelah hampir 23 tahun sejak kerjasama Sijori itu ditandatangani, tanpa berpretensi apapun kita bisa lihat bagaimana Singapura memainkan peran positif bagi pertumbuhan ekonomi di regional dan menjadi hegemoni dalam konteks kerjasama Sijori.


Selama periode 1990 - 2000, pertumbuhan ekonomi Batam meroket rata-rata 10% (BP Batam, 2000), walau angka ini merosot begitu memasuki periode 2000 - 2010 dengan rata-rata 6-7% dan bertahan terus hingga tahun ini.

Walaupun dalam perjalanannya ada ekses-ekses negatif seperti penyelundupan barang dari Singapura tentunya jangan sampai mengabaikan potensi ekonomi yang terjadi akibat kedekatan kedua negara ini dan akhirnya disimpulkan kedekatan wilayah ini tidak ada manfaat sama sekali.

Pertanyaannya kini adalah bagaimana agar porsi Indonesia bisa diperbesar dan kerjasama ini tidak lagi dalam skema economic complementary, apakah Batam mampu menjadi pesaing atau rival bagi Singapura? Atau selamanya kita menjadi pelengkap saja! Untuk menjawabnya kita harus membandingkan potensi ekonomi ketiga negara ini. 

Data dari World Bank (2016) menyebutkan dengan GDP perkapita sebesar US$37.728, posisi Singapura tujuh kali lebih besar dibandingkan dengan Batam (BPS, 2015) yang hanya US$5.280 (Indonesia US$3.620) dan lima kali lipat dari Johor Bahru (WorldBank, 2015) sebesar US$7.900 (Malaysia US$10.830). 

Patut disadari bahwa ada non-equilateral dalam hubungan segitiga ini karena ekonomi Singapura yang jauh lebih besar dan kuat dibandingkan Johor - Batam, yang berakibat pada ketergantungan yang semakin tinggi.

Dengan data perbandingan ini, maka pantas jika Singapura berperan sebagai prime mover atau negara yang memberikan daya dorong paling besar bagi daerah di sekitarnya dalam hal ini Batam dan Johor. Walaupun sebenarnya ketiga negara ini harus berbagi peran yang signifikan sebagai new economic epicentrum.

Johor Bahru sudah melihat peluang ini salah satunya dengan mengembangkan Iskandar Development Region sebagai kawasan ekonomi baru yang memberikan manfaat bagi daerahnya. BUMN Singapura turut berperan dalam membangun IDR tersebut.

Indonesia (Batam) juga mestinya bisa memainkan peran dan porsi yang sama dengan mengacu pada potensi ekonomi di kawasan ini dan bekal status FTZ di BBK. Potensi Selat Malaka yang demikian besar masih bisa digarap dengan membangun fasilitas pelabuhan kontainer standard internasional.

Jika Singapura bisa menjadi transhipment hub, maka Batam harusnya bisa melakukan hal serupa. Sebanyak 70.000 unit kapal dan 80 juta TEUs kontainer lalu lalang setiap tahun di perairan Selat Malaka masih berpotensi untuk digarap. Bahkan pada 2030 diperkirakan mencapai 100 juta TEUs kontainer yang lewat di perairan itu.

Prioritas utama, tentu saja kita harus membangun pelabuhan alih kapal di Batu Ampar atau di Pulau Tanjung Sauh agar porsi ekonomi yang selama ini dikuasai Singapura juga bisa dimanfaatkan oleh Batam. Dengan demikian asas non-equilateral bisa dikurangi dan ketiga negara bisa setara dalam beberapa sektor tertentu. 

Pelabuhan Tanjung Pelepas, Johor sudah memainkan peran itu. Sejak 2000, dari awal pengoperasiannya mengelola 400.000 TEUS kontainer hingga 2015 sudah melesat drastis menjadi 11 juta TEUS kontainer (Singapura 32 juta TEUS). Sementara Batam sejak 10 tahun lalu sampai saat ini masih 400.000 TEUS.

Selain itu masalah-masalah lain juga harus dituntaskan seperti hambatan di pelayanan perizinan, carut marut pengelolaan lahan, masalah status Rempang - Galang, masalah hubungan institusional antara BP dan Pemko harus segera diselesaikan, percepatan pembangunan sarana infrastruktur dan moda transportasi serta logistik, dan yang tidak kalah penting adalah visi pembangunan kawasan pada 10-20 tahun ke depan.

Penulis masih memiliki harapan Batam masa depan akan jauh lebih maju, tapi peta jalan dan cetak birunya harus dibuat saat ini. Jangan sampai kita bermimpi ingin menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru tapi tidak tahu mau jalan kemana dan apa prioritas utama.

Bukan saat yang tepat kita mempertanyakan lagi manfaat Singapura terhadap Batam, tapi bagaimana Batam bisa memanfaatkan momentum kerjasama segitiga emas ini bagi pertumbuhan kawasan sebagaimana halnya Johor memanfaatkan Singapura dalam pembangunan wilayahnya.

 

Penulis adalah akademisi Universitas Internasional Batam dan Staf Ahli Bidang Ekonomi Kadin Provinsi Kepri, berdomisili di Batam


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait

close

Aplikasi Android Batamnews