Racun Novichok, Lebih Mematikan dari XV yang Membunuh Kim Jong Nam

Racun Novichok, Lebih Mematikan dari XV yang Membunuh Kim Jong Nam

Petugas inggris memakai helm saat menyelidiki zat kimia yang menyerang Sergei Skripal. (Foto: London News Picture)

BATAMNEWS.CO.ID, London - Racun untuk menyerang mantan agen Rusia, Sergei Skripal (66), dan putrinya, Yulia (33), diidentifikasi bernama Novichok, yang berarti "pendatang baru" dalam bahasa Rusia. Racun ini disebut Pemerintah Inggris sangat berbahaya, bahkan lebih mematikan dibanding zat kimia lain.

Salah satu bahan kimia pembuat Novichok, yaitu A-230, disebut 5 hingga 8 kali lebih beracun daripada zat saraf VX. Bahkan Novichok dapat membunuh seseorang kurang dari 4 menit.

"Ini adalah zat yang lebih berbahaya dan canggih daripada sarin atau VX dan lebih sulit untuk diidentifikasi," kata Profesor Gary Stephens, seorang farmakolog Universitas Reading, seperti diberitakan BBC, Rabu (13/3/2018).

VX merupakan bahan kimia yang digunakan untuk membunuh saudara tiri Kim Jong Un, Kim Jong Nam, di Kuala Lumpur, Malaysia, pada tahun lalu. 

Perdana Menteri (PM) Inggris Theresa May mengecam Rusia karena diduga kuat menjadi dalang penyerangan terhadap Skripal. Pasalnya, Novichok pernah dikembangkan secara rahasia oleh Uni Soviet pada 1970 dan 1980-an. 

"Percobaan pembunuhan dengan menggunakan zat saraf kelas militer di sebuah kota di Inggris bukan hanya sebuah kejahatan terhadap Skripal. Itu tindakan sembarangan dan ceroboh melawan Inggris, yang membuat kehidupan warga sipil tak berdosa terancam," kata May.

Tuduhan terhadap Rusia ini juga didasarkan pada catatan bersejarah Rusia di masa lalu. Rusia cenderung membunuh para pembelot di negaranya.

"(Ini berdasarkan) jejak Rusia yang melakukan pembunuhan yang didukung oleh negara dan penilaian kami bahwa Rusia memandang beberapa pembelot sebagai target yang sah untuk dibunuh," ujar May, menambahkan.

Novichok, racun saraf terhebat yang pernah dimiliki Rusia di era Soviet pernah membuat Israel ketakutan karena jenderal yang mengembangkannya ingin menjual racun itu kepada Suriah.

Racun saraf itu kini sedang jadi sorotan dunia karena diduga digunakan untuk menyerang mantan agen ganda Rusia; Sergei Skripal, di Inggris yang kini memicu perseteruan kedua negara.

Jenderal Anatoly Kuntsevich adalah jenderal di balik pengembangan racun saraf ganas tersebut. Namun, jenderal Soviet—kini bernama Rusia—ini tewas misterius tahun 1990-an. 

Dia sebelumnya diincar Mossad—badan intelijen Israel—karena dianggap berusaha menjual racun Novichok ke Suriah. Damaskus saat itu menjadi salah satu musuh Tel Aviv.

Kematian misterius Jenderal Kuntsevich memicu spekulasi bahwa Mossad sebagai pelakunya.

Di tengah-tengah runtuhnya Uni Soviet, Kuntsevich mulai aktif mencoba menjual pengetahuannya kepada orang-orang Suriah. Gerak-geriknya ditulis wartawan dan penulis Israel Ronen Bergman. Laporan tentang kisah jenderal Rusia ini muncul dalam artikel berjudul "Rise and Kill First: The Secret History of Israels Targeted Assassinations."

Israel berulang kali memperingatkan Moskow, terkait sepak terjang jenderalnya itu namun sia-sia. "Dipercaya bahwa (Presiden Rusia Boris) Yeltsin tidak dapat, atau tidak mau untuk campur tangan," lanjut laporan Bergman, yang dilansir Ynet, Jumat (16/3/2018) malam.

Bergman mengutip buku "The Volunteer", yang diterbitkan di Kanada oleh Michael Ross, di mana dia mengaku sebagai agen Mossad dan mengatakan bahwa dia berulang kali dikirim untuk memperingatkan pejabat senior Rusia tentang kegiatan Kuntsevich. Sekali lagi, usaha agen intelijen Israel itu tanpa hasil apapun.

"Israel sangat marah. Pada tanggal 29 April 2002, dalam keadaan yang tidak diketahui, Kuntsevich meninggal dalam penerbangan dari Aleppo ke Moskow," tulis Bergman.

"Orang-orang Suriah tampaknya yakin bahwa intelijen Israel telah berhasil mencapai dan meracuni jenderal tersebut," lanjut Bergman.

Suriah setuju untuk menyerahkan persenjataan kimia pada tahun 2013 ketika Presiden Amerika Serikat Barack Obama mengancam akan menyerang Damaskus sebagai pembalasan atas serangan senjata kimia di daerah yang dikuasai pemberontak di pinggiran Damaskus selama perang sipil. Serangan tersebut diyakini telah menewaskan lebih dari 1.000 orang. Obama membatalkan niatnya untuk menyerang Suriah setelah Presiden Bashar al-Assad setuju untuk menyerahkan senjata tersebut.

Namun, Suriah telah berulang kali dituduh menggunakan gas klorin dalam serangan lain.

Setelah sekian tahun jejak racun Novichok misterius, pada 4 Maret lalu, mantan agen intelijen Rusia, Sergei Skripal, bersama dengan putrinya, Yulia Skripal, dan seorang perwira polisi Inggris, ditemukan tak sadarkan diri di Salisbury, Inggris selatan. Mereka diduga diserang racun Novichok.

Inggris dan Amerika Serikat (AS) menuduh Rusia sebagai dalang serangan terhadap mantan agen intelijen yang telah berkhianat pada Moskow itu. Namun, Kremlin membantah dan menuntut bukti atas tuduhan itu.

Rusia bersikukuh bahwa tidak ada motif untuk menargetkan Skripal dengan apa yang dikatakan Inggris sebagai serangan pertama di Eropa sejak Perang Dunia II.

Wakil Menteri Luar Negeri Sergei RyabkoV membantah bahwa Rusia bahkan memiliki program untuk mengembangkan agen saraf Novichok.

"Saya ingin menyatakan dengan pasti kemungkinan bahwa Uni Soviet atau Rusia tidak memiliki program untuk mengembangkan agen racun yang disebut Novichok," katanya kepada kantor berita Interfax.

Dia mengecam orang menyebarkan informasi bahwa program tersebut diduga nyata setelah ahli kimia Soviet Vil Mirzayanov pertama kali mengungkapkan adanya agen saraf ultra-kuat tersebut.

Mirzayanov, yang sekarang tinggal di Amerika Serikat, mengatakan Moskow menemukan agen saraf yang sangat beracun selama Perang Dingin dan menggunakannya di sebuah institut yang berbasis di Moskow di mana dia bekerja sampai awal 1990-an. 

(ind)
 


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait

close

Aplikasi Android Batamnews