Sayonara Mr Hatanto Reksodipoetro

Sayonara Mr Hatanto Reksodipoetro

Hatanto Reksodipoetro (Foto: Straitstimes)

Hatanto Reksodipoetro akhirnya dicopot dari jabatan sebagai Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Batam (BP Batam). Hatanto yang menggantikan Mustofa Widjaja itu, hanya bertahan 1 tahun 6 bulan. Ia dilantik April 2016 lalu. 

Kepastian pencopotan Hatanto beserta jajaran pimpinan lainnya telah diumumkan Menko Perekonomian Darmin Nasution dan Gubernur Kepri Nurdin Basirun melalui rapat tertutup di Jakarta, Senin kemarin.

Hatanto dinilai gagal dan memiliki komunikasi yang buruk dengan hampir semua pihak. Tidak ada prestasi Hatanto yang patut dikenang. Alih-alih prestasi, Hatanto justru membuat masyarakat Batam melarat atas kebijakannya. Ia menaikan tarif pelabuhan, rumah sakit, bandara, hingga sewa lahan.

Gelombang protes pun bermunculan, namun dianggap angin lalu. Hatanto seperti berubah menjadi robot dan tangan besi. Suara-suara agar Hatanto cepat-cepat diganti juga tak sedikit. Suara itu muncul dari berbagai kalangan. Mulai dari pengusaha hingga masyarakat bawah.

Hatanto menggantikan Mustofa yang telah mencengkram selama sekitar 10 tahun di BP Batam. Hatanto adalah sosok asing. Ia tak pernah bersentuhan dengan Batam. Karirnya juga berada di level elit. Puncak karirnya sebagai Dubes Norwegia.

Namanya muncul setelah tak lama Mendagri Tjahjo Kumolo mengancam akan membubarkan BP Batam. Kedatangan Hatanto sempat ditentang para pegawai BP Batam. Ratusan pegawai BP Batam bahkan sempat mogok kerja. 

Para pegawai beralasan tak terima dengan pergantian pucuk pimpinan BP Batam saat itu pada April 2016 lalu. Aksi ini diduga digerakkan pimpinan sebelumnya yang tak terima dipecat begitu saja. Jajaran pimpinan sebelumnya dipreteli dari jabatannya.

Hatanto bersama enam orang lainnya, ditunjuk Ketua Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (PBPB) Darmin Nasution mengemban amanah tersebut.

Pergantian itu menimbulkan gejolak internal. Dari luar pun Hatanto dikritik. Lantas bagaimana sebenarnya sosok Hatanto?

Hatanto dikenal sebelumnya sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan RI pada saat Menteri Mari Elka Pangestu. Setelah itu ia tak lagi menjabat. Ia kemudian Hatanto dicopot saat menjabat Dirjen.

“Hatanto pernah dicopot sebagai Sekjen Kemendag, karena sering berselisih paham dengan Menteri Perdagangan (Mari Elka Pangestu) ketika itu,” ujar sebuah sumber seperti dikutip batamnews.co.id, Selasa (4/7/2017).

Namun kabar itu telah dibantah Hatanto. Menurut Hatanto, ia bukan dipecat atau dicopot, melainkan mengundurkan diri dari jabatan. “Siapa bilang dicopot, saya berhenti,” ujar Hatanto kepada wartawan batamnews.co.id, Selasa.

Di Kementerian Perdagangan ia pernah juga menjadi Atase Perdagangan RI di Brussel, Belgia, serta Dir Hubungan Perdagangan LN, Deperdag.

Menko Perekonomian Darmin Nasution menilai ia tak salah memilih Hatanto untuk memajukan Batam. “Tak mungkin saya salah pilih, saya sudah kenyang di pemerintahan,” ujar Darmin saat berkunjung ke Batam beberapa waktu lalu. 

Usut punya usut, ternyata Hatanto masih orang partai politik Hanura. Ia juga tim pemenang Jokowi di Jawa Barat saat Pilpres lalu. Alih-alih tak memilih orang partai, ternyata Darmin menutup mata soal itu. Bahkan Hatanto adalah caleg DPR RI dari Partai Hanura pada Pileg lalu.

Seiring berjalannya waktu Hatanto membuat “terobosan” baru. Belum lama menjabat ia mengganti sejumlah posisi-posisi penting di BP Batam. 

“Beri waktu buat ‘cuci piring’,” ujar Hatanto. Kala itu BP Batam diterpa isu tak sedap mengenai mafia lahan dan dugaan penyelewengan dalam jabatan. 

Tidak itu saja, sejumlah aturan baru yang kontroversial ia terbitkan. Hatanto menaikkan sejumlah tarif. Mulai dari tarif Uang Wajib Tahunan BP Batam yang dahulu bernama UWTO. Kemudian tarif layanan pelabuhan, bandara, hingga rumah sakit. Kenaikan mencapai lebih dari 100 persen lebih.

Bahkan kenaikan tarif UWTO sampai mencapai diangka 300 persen. Tarif UWTO itu kemudian mendapat gelombang protes dari berbagai elemen masyarakat termasuk kalangan pengusaha. 

Hatanto luluh atas desakan itu. Perka No 1 tahun 2016 itu pun direvisi menjadi Perka No 19 tahun 2016. Isinya pun tak jauh berbeda. Sejumlah tarif yang dikeluhkan sempat turun, kendati tak signifikan.

Sosok Hatanto kemudian menjadi kontroversial dengan kebijakan-kebijakannya tersebut. 

Hatanto bergeming. “Kita hanya ingin kerja, kerja, kerja,” ujar Hatanto. Hatanto benar-benar pasang badan untuk segala kebijakan BP Batam. Bahkan suara-suara publik pun terkesan ia abaikan. Tak heran lantas Hatanto dicap sebagai public enemy.

Hatanto dalam perjalanannya merevisi Perka 19 tahun 2016 tersebut terkait tarif lahan. Kali ini semakin mengejutkan. Dalam perka itu disebutkan, BP Batam menaikkan tarif 4 persen setiap tahunnya. 

“Itu berdasarkan usulan pengusaha,” ujar Hatanto. Sementara itu Ketua Apindo Kepulauan Riau, Ir Cahya mengaku kecewa dengan revisi perka itu. Apalagi kenaikan tarif UWTO yang sekarang ini mencapai 300 persen, padahal Menko Perekonomian Darmin mengatakan, kenaikan tidak boleh lebih dari 150 persen. Cahya pun menepis kalau itu adalah usulan dari pengusaha baik Kadin maupun Apindo. 

“Itu pandai-pandai Kepala BP Batam mengakali. Menurut teman-teman pengusaha, kenaikan bukan 100-150 persen, tapi lebih dari 300 persen,” ujar dia.

Namun Hatanto mengatakan, persoalan revisi itu sudah disetujui Tim Teknis Dewan Kawasan Pelabuhan Bebas Perdagangan Bebas (DK-PBPB). 

Kebijakan Hatanto ini faktanya semakin memperkeruh iklim investasi. Ekonomi Batam memburuk. Salah satunya akibat kebijakan kenaikan tarif UWTO tersebut yang berkaitan dengan lahan.

Gejolak sosial pun bermunculan. Gelombang protes muncul pihak-pihak yang berkepentingan dengan persoalan tersebut.

Selain keras kepala, Hatanto dikenal sebagai sosok yang kurang komunikatif. Ia jarang sekali berbaur dan berkoordinasi dengan pejabat di Batam, terutama saat mengambil kebijakan-kebijakan tersebut. 

Padahal kebijakan Hatanto tidak saja soal lahan, tapi juga soal tarif layanan rumah sakit, kepelabuhan, dan tarif layanan bandara, yang bersinggungan langsung dengan masyarakat atau publik.

Sejumlah pejabat tinggi di Kepulauan Riau dan Batam kesal. Bahkan Rudi pun terang-terangan kurang suka dengan pola komunikasi Hatanto. Meskipun belakangan Hatanto bertandang ke kantor Walikota Batam pasca Lebaran.

Informasinya Rudi pada saat itu menanggapi dengan dingin. Begitu juga Gubernur Kepri Nurdin Basirun. Bahkan kerap sekali Nurdin mengundang Hatanto, tapi tak kunjung dihadiri Hatanto.

Hatanto dilantik bersama enam orang pejabat lainnya diantaranya, Agus Tjahajana Wirakusumah, selaku Wakil Ketua Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam serta beberapa deputi lainnya.

Setelah menjabat, kebijakan Hatanto ini dinilai ikut andil melemahkan kondisi Batam. Pertumbuhan ekonomi jeblok. Dari pertumbuhan 4 persen di tahun 2016, kini di triwulan pertama 2017 hanya 2 persen saja. 

Segala kebijakan Hatanto yang tanpa ampun itu memukul sendi-sendi kehidupan masyarakat. Warga Batam mengeluh dengan kenaikan UWTO belum lagi harus membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Tarif sewa lapak misalnya di Bandara Hang Nadim mencapai 20 juta per bulan. Pass pelabuhan naik dari Rp 2.500 per kepala menjadi Rp 10 ribu. Layanan rumah sakit juga tak mau ketinggalan.

BP Batam seolah-olah ingin “menjarah” hasil keringat warga Batam hingga ke sumsum. Kini Hatanto resmi dicopot. Ia dinilai gagal membangun komunikasi dan kerap menjadi topik kegaduhan. Hatanto pun harus rela siap-siao beres-beres lagi dan angkat koper.

Sayonara Mr Hatanto Reksodipoetro! 

 

Muhammad Zuhri

Pemimpin Redaksi Batamnews.co.id

 


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews