Kesaksian dan Nostalgia Kelam Tragedi "Mei 98"

Kesaksian dan Nostalgia Kelam Tragedi "Mei 98"

Mahasiswa se-Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi mendatangi Gedung MPR/DPR, Mei 1998, menuntut reformasi dan pengunduran diri Presiden Soeharto. Sebagian mahasiswa melakukan aksi duduk di atap Gedung MPR/DPR. Hegemoni Orde Baru yang kuat ternyata menjadi inspirasi bagi orangtua untuk memberi nama bagi anak-anak mereka. (KOMPAS/EDDY HASBY)

BERBEKAL dua pucuk pistol dan ditemani dua perwira menengah, Slamet Singgih, Jenderal Bintang Satu kala itu nekat meluncur ke perumahan Komplek Green Garden di kawasan Jakarta Barat.

Slamet menyambangi perumahan tersebut bermaksud untuk membantu anak seorang pengusaha Tionghoa di Jambi. Pengusaha itu menelepon minta tolong kepada Slamet agar bisa membantu mengeluarkan putrinya dan empat kerabatnya yang terjebak di dalam rumah.

Di sepanjang perjalanan ia melihat sejumlah pertokoan terbakar, isinya dijarah massa. "Seolah terjadi pembiaran dan penanganannya sangat terlambat," tulis Slamet dalam memorinya, 'Intelijen, Catatan Harian Seorang Serdadu' yang dikutip detikcom, Sabtu (13/5/2017).

Selain itu, ia bersaksi bahwa kerusuhan massal yang terjadi di Jakarta 19 tahun lalu itu punya pola yang hampir serupa. "Sebelum pembakaran dan menjarah isi toko, ada semacam 'tim pelopor' yang berjumlah 6-7 orang yang melakukan provokasi kepada masyarakat," tulis mantan Direktur Badan Intelijen ABRI itu.

Kemudian cerita dari Mantan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Erman Soeparno. Ia juga memiliki pengalaman dramatis saat terjadi peristiwa kerusuhan Mei 1998.

Erman yang kala itu menjabat Direktur Utama PT PP-Taisei terpaksa mengubah drastis penampilannya. Untuk menjemput putri bungsunya yang tengah sekolah di Marsudirini, Matraman, Jakarta Timur, ia terpaksa harus merubah penampilan.

Kala itu, Erman harus menanggalkan jas yang biasa ia kenakan dan diganti kaus oblong dan celana kolor. Begitu juga dengan Mercedes yang biasa dikendarainya untuk berdinas, diganti motor bebek milik pembantunya.

Di sepanjang Jalan Raya Kalimalang yang dilaluinya dari Bekasi, ia menyaksikan massa merazia sejumlah kendaraan. Beberapa pengendara dipaksa turun, lalu kendaraannya dibakar. Begitu melintas di depan kantor Pemadam Kebakaran di Matraman, degup jantung Erman nyaris berhenti. Sekelompok lelaki bersenjata tajam menghentikan laju motornya. Dengan membentak-bentak mereka memaksa Erman membuka helm yang menutupi kepala dan wajahnya.

"Bukan! Dia pribumi, orang Jawa," seru seorang dari massa itu. Erman yang di kemudian hari menjadi Menteri Tenaga Kerja, 2005-2009 itu pun diizinkan melanjutkan perjalanan. "Plong…" tulis Erman dalam memorinya, 'Si Tukang Betun Jadi Menteri' yang dikutip detikcom, Sabtu (13/5/2017).

Selain memori Slamet dan Erman, seorang warga, Bernadette Maria yang bermukim di dekat Universitas Trisaksti, pada Jumat (12/5/2017) tepat 19 tahun lalu, ia menceritakan kembali detik-detik menegangkan yang dialaminya kala itu lewat akun Twitter personalnya @doggudoggu.

Kala itu, pagi menjelang siang di pertengahan Mei 1998, Bernadette dan keluarganya menjadi salah satu dari ribuan orang Indonesia yang dilanda cemas.

Bernadette Maria bergegas mengemas barang-barangnya ke dalam tas merah yang sudah disiapkan sang ibu sejak beberapa minggu sebelumnya. Bagaimana tidak, ia tinggal di kawasan dekat Universitas Trisakti, di mana mayoritas warganya merupakan keturunan etnis China yang notabene adalah sasaran utama kerusuhan Mei 98.

Bernadette ingat betul ketika ia dan ibunya harus kabur ke sebuah hotel di bilangan Jakarta Pusat untuk mengamankan diri, sementara sang bapak entah di mana keberadaannya. Ia juga ingat ketika melihat seorang pria dewasa berlumuran darah di depan matanya.

Bukan cuma Bernadette yang membagikan nostalgia kelam pada Mei 1998. Netizen lainnya di Twitter berbondong-bondong melontarkan keadaan mereka kala itu -apa yang sedang mereka lakukan dan bersama siapa.

Cerita lengkap Bernadette tertuang dalam lebih dari 30 kicauan panjang. Anda bisa menyimaknya di sini.

Sayang, kesaksian Slamet dan Erman juga berbagai kesaksian lainnya tak menemukan jawaban tuntas. Tim Gabung Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk BJ Habibie sepekan setelah dilantik menjadi Presiden menggantikan Soeharto, 21 Mei, juga seperti tak punya gigi.

Hasil penyelidikan Tim yang diketuai Marzuki Darusman, mantan wakil ketua Komnas HAM, itu cuma mencatat 1200 orang mati terbakar, 8.500 bangunan dan kendaraan bermotor koyak-moyak, serta lebih 90 lebih wanita Tionghoa diperkosa dan dilecehkan.

Tim juga menyampaikan delapan rekomendasi, yaitu perlunya pemerintah melakukan penyelidikan lanjutan dan menyusun buku putih, mempercepat proses Yudisial, antara lain meminta Pangkoops Jaya Mayjen Syafrie Syamsoeddin, mengadili secara militer Letjen Prabowo dan semua pihak yang terlibat dalam kasus penculikan.

Selain itu, Tim juga merekomendasikan agar pemerintah memberikan jaminan keamanan bagi saksi dan korban dengan membuat undang-undang, memberikan rehabilitas dan kompensasi bagi semua korban dan keluarga kerusuhan, meratifikasi konvensi internasional mengenai anti-diskriminasi rasial, membersihkan segala bentuk premanisme, menyusun undang-undang tentang intelijen negara, dan mendata secara update semua aspek yang menyangkut kerusuhan pada 13-15 Mei 1998.

Sejauh ini, yang telah ditindaklanjuti pemerintah terkait rekomendasi tersebut adalah pembentukan Komnas Perempuan pada 15 Oktober 1998, mengadili anggota Tim Mawar Kopassus yang terlibat penculikan aktivis, membentuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban terkait UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, serta menerbitkan UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Rasial dan UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara.***

Baca artikel menarik lainnya di Detik.com dan Kompas.com


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews