Minta Pisahkan Politik dan Agama, Jokowi Dinilai Lupa Sejarah Bangsa

Minta Pisahkan Politik dan Agama, Jokowi Dinilai Lupa Sejarah Bangsa

Presiden RI Joko Widodo. (foto: ist/net)

BATAMNEWS.CO.ID, Jakarta - Sejumlah pihak menilai Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginginkan Indonesia menjadi negara sekuler yang menganut pemisahan antara negara dan agama.

Pendapat itu disampaikan ‎pengamat politik dari Universitas Jayabaya Igor Dirgantara, menanggapi imbauan Presiden Jokowi agar semua pihak memisahkan persoalan politik dan agama untuk menghindari gesekan antarumat.‎

Igor mengaku tidak sepakat dengan pendapat Presiden Jokowi demikian. "Semua agama pada dasarnya baik, oknumnya yang mungkin bermasalah," kata Igor, Selasa (28/3/2017) dilansir sindonews.

Oleh karena itu, kata Igor, nilai-nilai agama harus menyinari kehidupan berbangsa dan bernegara kita. "Itu sebabnya sila 1 ideologi Pancasila menyebut Ketuhanan Yang Maha Esa, yang juga disebut dalam pembukaan UUD 45," paparnya.

Dia berpendapat bahwa, dalam praktiknya agama dan politik itu saling menguatkan, menopang dan mempengaruhi dalam pengambilan keputusan berbangsa dan bernegara.

Itu sebabnya, lanjut dia, partai politik (parpol) berbasis massa Islam tetap mendapat tempat bagi pemilih di Indonesia. Bahkan lanjut Igor, parpol nasionalis sekalipun mengadopsi spirit nasionalisme yang religius dalam platform program dan visi misinya sesuai yang dulu dicetuskan the founding fathers Indonesia.

Kemudian menurut dia, pemisahan agama dan politik sama saja mengingkari sebagai bangsa yang menjunjung tinggi agama sebagai fondasi dalam interaksi bermasyarakat. "Atau dengan kata lain, Indonesia berarti adalah negara sekuler, yang menganut pemisahan antara negara dan agama," bebernya.

Jika demikian, kata dia, artinya bangsa Indonesia sudah tidak lagi mau bersumber kepada kepribadian nenek moyangnya sendiri. "Tapi lebih tunduk kepada asing," pungkasnya.‎

Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak‎ tidak sepakat dengan imbauan Presiden Jokowi ‎agar semua pihak memisahkan persoalan politik dan agama untuk menghindari gesekan antarumat.‎ "Bagaimana mungkin memisahkan agama dari politik Indonesia," ujar‎ Dahnil.

Ia menilai Jokowi ‎lupa sejarah dan tercerabut dari nilai-nilai keindonesiaan, Pancasila dan UUD 1945.‎ Pasalnya, Presiden RI pertama Soekarno berusaha menyatukan nilai-nilai ideologi agama dalam kegiatan dan ideologi politik yang diinisiasinya bernama Nasakom alias Nasionalisme, Agama dan Komunisme.

Sebab, kata Dahnil, Pancasila saja dijiwai oleh Ketuhanan yang Maha Esa. Kemudian, pendahuluan UUD 1945 saja, dimulai dengan kalimat Rahmat Tuhan yang Maha Esa.

Menurut dia, ‎gesekan antarumat muncul karena orang-orang yang sama sekali tidak pernah bicara agama dan merawat nilai-nilai agama, tiba-tiba ketika kontestasi politik datang rajin menggunakan agama. Bahkan, lanjut dia, berani bicara yang tidak pantas tentang agama orang lain, sehingga muncul gesekan.

"Bagi saya pandangan Pak Presiden tersebut alpa sejarah dan tercerabut dari nilai-nilai keindonesiaan, Pancasila dan UUD 1945," pungkasnya.  

Sementara Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj tidak mempermasalahkan imbauan Jokowi itu. Pasalnya, Said Aqil mengklaim pernyataan Presiden Jokowi itu adalah pendapatnya.

"Itu pendapat saya kok, tidak ada agama dalam politik dan tidak ada politik dalam agama. Itu pendapat saya," ujar Aqil di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Senin (28/3/2017).

Dirinya mengaku memiliki pemikiran tersebut jauh sebelum Presiden Jokowi melontarkannya. Kata dia, politik jika dicampurkan dengan agama akan menimbulkan radikalisme. Tak hanya itu, seseorang akan mudah mengkafirkan orang jika mencampurkan agama dengan politik.

Diketahui, sebelumnya Presiden Jokowi mengimbau semua pihak memisahkan persoalan politik dan agama. Pemisahan tersebut dianggapnya untuk menghindari gesekan antarumat.

(ind)


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews