Mangarungi Punggung Laut Penawar Rindu

Mangarungi Punggung Laut Penawar Rindu

Laut lepas saat menuju Belakang Padang. (Foto: Ajang Nurdin)

BERSAMA Pemimpin Redaksi Batamnews.co.id Muhammad Zuhri dan wartawan liputan6.com Ajang Nurdin, merencanakan berlayar ke Pulau Belakang Padang, Batam, Kepulauan Riau. Dari Pelabuhan Sekupang, Batam, kami menumpang motor boat yang di lambungnya bertuliskan “Persatuan Pengemudi Motor Sangkut”.

Parahu ini dibuat khusus untuk mengangkut 12 penumpang. Setiap orang dikenakan biaya Rp 15 ribu. Bermesin tempel 15 PK yang ditempatkan di buritan perahu, penumpang duduk pada 6 tempat kursi kayu panjang yang melintang berjejer.  Agar penumpang tak basah, telah dibuatkan tenda yang bentuknya disesuaikan dengan perahu.

Hari itu, Rabu (15/2/2017), kami berlayar sekitar pukul 07.15 WIB. Cuaca kurang menarik. Awan hitam menggelantung di langit  yang diiringi hujan rintik-rintik. Angin bertiup kencang. Namun, mesin tempel bermerk Yamaha tak mengenal cuaca. Begitu gasnya digeber si pengemudi perahu, iapun meraung-raung mendorong perahu mengarungi laut.

Hm, maksud hati ingin berlayar sambil memandang keindahan lautan lepas pun buyar. Saya hanya bisa mengintip di sela-sela tenda, terlihatlah gelombang ombak yang bentuknya mirip selendang yang dikebut-kebut oleh para penari. Perahu terombang-ambing diterpa ombak berlayar perlahan di punggung laut. Di sela-sela dinding perahu yang bocor masuk air laut.

Wah, saya jadi teringat imbauan Komandan Pangkalan Angkatan Laut (Danlanal) Batam, Kolonel Ivong Wicaksono Wibowo, yang mengimbau pengguna jasa laut mewaspadai angin utara yang melanda wilayah Batam. "Sangat beresiko kecelakaan laut. Gelombang laut menjadi tak stabil," katanya seperti dikutip batamnews.co.id. "Sebaiknya jangan melaut dulu, resikonya sangat besar. Keselamatan jiwa yang paling utama.”

Tapi apa boleh buat, saya sudah di tengah-tengah lautan lepas. Tentu si pengemudi tak mau kalau diajak kembali ke Pelabuhan Sekupang. Pilihan yang masuk akal ya tetap berlayar menuju Pulau Belakang Padang. “Saya sudah melihat pengemudinya, wajahnya tenang-tenang saja. Jadi tak akan terjadi apa-apa,” kata Zuhri. Ia seakan tahu kerisauan saya. Wajah para penumpang lainnya pun biasa-biasa saja. Jadi malu sendiri, sebab ternyata cuma saya seorang yang cemas akan gelombang laut.

Setelah 20 menit merasakan gelombang laut, kami pun berlabuh di Pelabuhan Rakyat Belakang Padang. Jika semula terlihat laut berwarna biru, maka di tepi pelabuhan ini berserakan sampah-sampah hingga mengubah air laut menjadi kehitaman.

Pagi itu, toko-toko yang berjejer di tepi laut masih banyak yang tutup. Di pelabuhan ada ratusan sepeda motor berjejer mulai dari jembatan pelabuhan hingga ke areal parkirnya. Di jalan utama di gerbang pelabuhan, berjejer puluhan becak. Jangan harap ada angkutan umum maupun taksi di sini. Bahkan mobil pribadi pun tak terlihat.

Seorang penarik becak, Sakhad, mengatakan di Belakang Padang memang tak ada angkutan umum roda empat. “Hanya ada becak dan ojek,” kata pria yang sudah 25 tahun menarik becak di Belakang Padang. Penarik becak “Sri Bumi Indonesia” yang telah berusia 53 tahun ini, mengatakan teman sejawatnya ada 150 orang. “Pelanggan kami rata-rata dari luar pulau, seperti Batam dan juga dari luar negeri,” kata ayah enam anak ini lagi.

Kini, saya telah menjejakkan kaki ke Pulau Belakang Padang yang dikenal juga sebagai Pulau Penawar Rindu. Sebuah gelar yang menurut warga setempat diambil dari kebiasaan pendatang yang setiap berkunjung ke Belakang Padang akan kembali lagi. “Sebab mereka merindukan lagi Belakang Padang,” kata RB Paiman, 72 tahun, tokoh masyarakat Belakang Padang. ***

  1. Mengarungi Punggung Laut Penawar Rindu
  2. Menyesap Kopi Ameng dan Singapura
  3. Legenda Bocah Dihukum Mati di Batu Berantai
  4. Berkeliling Pulau Penawar Rindu


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews