Cerita Pilu Imigran yang Memilih di Batam Ketimbang Kembali ke Negaranya

 Cerita Pilu Imigran yang Memilih di Batam Ketimbang Kembali ke Negaranya

Seorang imigran dan anaknya di Taman Aspirasi, Batam Centre, Batam. (foto: batamnews)

BATAMNEWS.CO.ID,Batam - Para imigran dan pencari suaka asal negara-negara Timur Tengah dan Afrika, sudah menganggap Taman Aspirasi Batam Centre, sebagai rumah mereka. Mereka lebih memilih hidup susah daripada harus dikembalikan ke negara asalnya.

Sehari-hari, penghuni Taman Aspirasi yang terletak dekat dengan kantor-kantor pemerintahan itu hanya makan mie instan hingga terkadang berpuasa.

Saat ini, bantuan dari IOM (International Organization Migration) terputus sehingga mereka hanya mengharapkan bantuan dari dermawan saja. Sebagian tidur di lapangan terbuka tanpa atap, sebagian lagi memilih gedung DPRD Kota Batam untuk berlindung pada malam hari.

"Kalau kami bisa bekerja, kami dengan senang hati akan bekerja untuk menghidupi diri kami, namun aturan yang berlaku tidak memperbolehkan makanya kami hanya bisa mengandalkan bantuan dari orang-orang Indonesia," kata Hussein.

Seorang imigran menuturkan bahwa semenjak kedatangan ke Batam, mereka hanya bisa mengharapkan bantuan dari dermawan Indonesia, yaitu masyarakat Batam yang mengantarkan bahan makanan ke "rumah" mereka yang berupa tenda-tenda darurat di Taman Aspirasi.

"Kami dapat dari orang Indonesia semua, dari mulai beras, mie instan, dan kacang hijau," ujar Khodim Hussein, seorang imigran dari Afganistan saat ditemui, Selasa (4/10/2016).

Selain orang dewasa, ada juga anak-anak yang masih berumur 4 bulan hingga 10 tahun. Anak-anak tersebut berjumlah 16 orang yang terdiri dari 14 orang Afganistan, 1 dari Sudan dan 1 dari Somalia.

Pantauan Batamnews, anak-anak tersebut hanya bisa bermain di salah satu tenda besar yang berada di tengah-tengah taman, kegiatan mereka sepanjang hari bermain dan tidur.

Selama 5 bulan di Taman Aspirasi, yang mereka makan sehari-hari hanya mie instan, terkadang kacang hijau dimasak dengan beras menjadi menu makanan anak-anak imigran tersebut.

"Kami pernah dikasih ikan yang sudah dimasak, tidak sering dikasih, kalau ada aja yang kasih kalau sehari-hari makan mie instan itupun kalau ada, kalau enggak ada kami menanak beras bersama kacang hijau," kata Yahya, Imgran asal Sudan yang sudah fasih berbahasa Indonesia.

Namun, mereka juga sering berpuasa lantaran tidak ada bantuan makanan yang diberikan dermawan.

"Waktu itu kami tidak dapat bantuan, 3 hari kami berpuasa, kami benar-benar cuma bisa mengharapkan bantuan dari para dermawan," kata Hussein.

Mereka mengaku tidak mau dideportasi ke negara asal mereka karena trauma konflik dan peperangan.

Sebagian besar para Imigran terpaksa meninggalkan keluarga mereka di negara asal, seperti halnya Khodim Hussein yang terpaksa meninggalkan kedua orangtuanya di Afganistan.

"Kalau disuruh kembali saya tidak sanggup, peperangan di Afganistan sungguh menakutkan, kami hidup dalam suasana yang mencekam, setiap hari harus bersembunyi. Orangtua saya terpaksa saya tinggalkan karena saya tidak tahan," ujar Hussein, laki-laki berumur 20 tahun tersebut.

Yahya, imigran Sudan juga beranggapan yang sama walaupun di Indonesia kehidupan sebagai Imigran cukup sulit namun Ia lebih memilih untuk tinggal di Indonesia.

"Ayah dan ibu saya meninggal akibat perang di Sudan, saudara saya setiap harinya harus bersembunyi dan mereka hidup berpindah-pindah dari kota satu ke kota lain," ujar Yahya menuturkan kehidupannya di Sudan.

Yahya merasakan tinggal sebagai imigran memang cukup memprihatinkan namun hal tersebut merupakan pilihan yang paling aman dibandingkan jika harus kembali ke Sudan.

"Kami ikhlas hidup sulit seperti ini, disana (Sudan) kami dihantui kematian yang tak terduga, sebagian saudara saya juga lagi mencari cara untuk keluar dari sana," kata Yahya.

Para Imigran di Taman Aspirasi ada yang sudah berkeluarga, ada yang masih lajang dan remaja. Mereka hanya meminta pertolongan dari pemerintah Indonesia untuk menyediakan bagi mereka tempat yang bisa dijadikan tempat untuk berlindung.

"Kami tidak banyak permintaan, karena kami sadar kami sebagai pengungsi namun tolonglah kami diberikan tempat yang ada atapnya, kalau lagi hujan kami hanya bisa berlindung di bawah terpal yang kondisinya sudah robek," kata Yahya.

(ret)


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews