Ini Dia Vaksin yang Disebut-sebut Terampuh Lawan Covid-19

Ini Dia Vaksin yang Disebut-sebut Terampuh Lawan Covid-19

Foto: AP/Jessica Hill

Jakarta - Kabar baik datang dari vaksin buatan perusahaan Amerika Serikat (AS), Pfizer. Vaksin ini terbukti 94% efektif dalam penelitian yang melibatkan 1,2 juta orang.

Ini menjadikannya 'penelitian nyata' pertama dunia yang ditinjau secara konprehensif untuk mengakhiri pandemi. Penelitian terkait imunisasi massal yang dilakukan Israel ke jutaan penduduknya.

Dalam makalah di New England Journal of Medicine, dipaparkan pula bahwa vaksin ini kemungkinan memberi perlindungan kuat dari infeksi. Ia mampu menghentikan penularan selanjutnya.

Secara rinci eksperimen sendiri dilakukan dari 20 Desember 2020 hingga 1 Februari. Sekitar 1,2 juta orang dibagi menjadi kelompok yang divaksin dan tak menerima vaksin.

Setiap peserta yang divaksinasi dicocokkan dengan yang tidak divaksin, disebut sebagai 'control person'. Keduanya memiliki karakter serupa baik usia, jenis kelamin, geografis, hingga medis.

Melansir AFP, Kepala Epidemiologi dan Penelitian Clait Research Institute Noam Barda yang juga penulis laporan menegaskan proses pencocokan sangat kuat. Seorang pria Yahudi Ultra-Ortodoks lanjut usia dari lingkungan tertentu dengan kumpulan penyakit penyerta dan riwayat vaksinasi flu tertentu akan dicocokkan dengan orang lain yang sesuai dengan profil dirinya.

Para peneliti nantinya mencatat hasilnya pada hari ke 14 sampai 20, setelah dosis pertama. Dan, hari ke-7 setelah dosis kedua.

"Kemanjuran melawan infeksi gejala adalah 57% antara 14-20 hari setelah dosis pertama, tetapi meningkat menjadi 94% tujuh hari setelah dosis kedua. Sangat dekat dengan 95% yang dicapai selama uji klinis Fase 3," tulis laporan itu.

Orang yang menerima dosis kedua juga sangat terlindungi dari gejala parah bahkan kematian. Namun sayangnya, jumlah tepatnya kurang signifikan disebutkan dan ada rentang statistik yang lebih luas karena jumlah kasus yang relatif minim.

Studi ini juga menemukan bahwa orang yang menerima dosis kedua memiliki kemungkinan 92% lebih rendah terinfeksi dibanding yang tak divaksin. Meskipun temuan ini dianggap kabar baik, namun penelitian lanjutan masih harus dilakukan untuk memperbanyak bukti.

"Itu karena para peserta tidak diuji secara sistematis secara berkala. Sebaliknya, mereka mendapatkan ujian ketika mereka menginginkannya," tulis laporan itu.

"Penulis berusaha untuk mengoreksi hal ini dengan metode statistik tetapi hasilnya masih belum sempurna."


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews