Review Foxtrot Six: Film Nasional Rasa Hollywood

Review Foxtrot Six: Film Nasional Rasa Hollywood

(Foto: istimewa)

FILM Foxtrot Six resmi tayang di bioskop seluruh tanah air Kamis (21/2/2019) lalu. Film Indonesia ini digadang setara produksi Hollywood karena diproduseri sineas sekelas Mario Kassar, yang pernah memproduseri film Rambo, Terminator, Basic Instinct, Stargate, Clifhanger, Chaplin, dan puluhan film lainnya.

Tidak hanya itu, film ini perdana didukung teknologi Computer Graphics Interface (CGI) penuh di Indonesia, untuk hasil visual yang menarik. Sinema besutan rumah produksi MD Pictures dan Rapid Eye Pictures itu disutradarai anak muda Indonesia, Randy Korompis. 

Sebelum tayang perdana di tanah air, Foxtrot Six memang disebut film sekelas Hollywood baik dari teknologi, pengambilan gambar, sound effect hingga ke alur film. Namun apakah berhasil film dibintangi artis ternama Indonesia tersebut sekelas Hollywood?.

Judul ulasan ini setidaknya memberikan gambaran. Bagaimana upacaya perfilman Indonesia masuk kancah international, seperti tentara marinir turun di “Pochinki”. 

Pochinki merupakan tempat paling menakutkan di game PUBG yang terkenal akhir-akhir ini. Di sana paling sering musuh berkumpul untuk saling bunuh. Dalam film ini juga digambarkan pasukan marinir menyarang gedung presiden yang penindas.

Jadi apakah film Forxtrot Six atau marinir itu bisa bertempur di perfilman sekelas Pochinki (international). Berikut ulasannya setelah menonton film yang berdurasi hampir 114 menit itu.

Cukup sulit penonton untuk menyejajarkan film Foxtrot Six dengan film Hollywood lainnya. Tetapi hadirnya film Foxtrot Six merupakan langkah awal mengejar ketertinggalan dunia perfilman Indonesia.

Foxtrot Six awalnya mengisahkan dunia tengah dilanda bencana kelaparan tahun 2031 termasuk di Indonesia. Sumber daya alam diperebutkan, yang makan hanya yang berkuasa.

Tidak hanya memperlihatkan kelas si kaya dan si miskin, film yang mulai dibuat sejak 2015 lalu juga menunjukkan ranah politik penuh intrik. Negara dikuasai partai kejam yang tak peduli dengan penderitaan rakyat. 

Namun di tengah peristiwa itu, menggugah seorang prajurit marinir Angga (Oka Antara). Ia tidak bisa tenang melihat kondisi yang terus memburuk di tengah masyarakatnya.

Angga mencoba mengumpulkan beberapa marinir lainnya yang tidak bertugas lagi. Proses pergulatan ini cukup menegangkan hingga akhir cerita. 

Untuk saat ini Foxtrot Six sangat patut diapresiasi dan layak direkomendasikan. Apalagi dibintangi artis papan atas seperti Oka Antara (Angga), Chicco Jerikho (Spec), Rio Dewanto (Bara), Arifin Putra (Tino), Mike Lewis (Ethan), Miller Khan (Indra), dan Julie Estelle (Sari Nirmala). Sehingga Foxtrot Six perlu diperhitungkan untuk ditonton akhir pekan ini.

Walau begitu, tetap ada beberapa kekurangan yang mengganjal, seperti penggunaan bahasa Inggris secara penuh yang terasa kurang tepat dengan identitas negara Indonesia yang dipilih sebagai latar.

Kemudian dari visual, ada beberapa adegan dengan kontinuitas gambar yang tidak padu. Terdapat pula bagian computer-generated image (CGI) yang kurang maksimal.

Di kondisi ini kita, seperti kembali ke adegan seperti film-film naga terbang di salah satu stasiun TV nasional yang pernah menjadi bahan tertawa tahun-tahun 2000. Apalagi ketika Angga berupaya menyelamatkan kekasihnya. 

Fokus terbuyarkan dengan visual yang tidak maskimal. Tentu banyak hal yang perlu diperhatikan untuk menjadi film sekelas Rambo, Terminator atau film lainnya. 

Di alur film ada hal-hal mengejutkan ditunjukkan. Seperti peran Chiko yang cukup misterius. Ia berperan seperti Limbad, sedikit bicara namun banyak bekerja. 

Uniknya sampai film berakhir, tidak ada penjelasan gamblang mengenai istilah "Foxtrot Six". Sutradara ingin penonton memberikan pemaknaan sendiri mengenai sebutan yang menjadi judul film itu. 

Namun, di ujung film penonton akan dikejutkan beberapa fakta menarik tentang marinir sang pahlawan. Begitu juga jangan beranjak setelah film usai karena ada adegan tambahan usai tayangan kredit.

Terlepas dari semua itu, Foxtrot Six tetap memberikan warna berbeda untuk perfilman Indonesia. Indonesia patut mendukung dan mendorong film seperti ini. Apalagi Mario Kassar memprediksi dunia perfilman Indonesia sangat menjanjikan di masa yang akan datang.

Yogi Eka Sahputra


Komentar Via Facebook :

Berita Terkait

close

Aplikasi Android Batamnews