Menagih Janji Jokowi

Menagih Janji Jokowi

Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud menagih semua janji Presiden Joko Widodo sebagaimana tertuang dalam sembilan agenda prioritas (Nawa Cita) ketika kampanye.

Di tengah buramnya masa depan pemberantasan korupsi, tulisan ini juga tidak berniat untuk menagih janji guna mewujudkan sistem dan penegakan hukum yang berkeadilan. Yang ditagih: pemenuhan janji Jokowi dalam menentukan sikap soal Komjen Budi Gunawan. Sebagaimana diketahui, di tengah badai kisruh antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Negara RI, hampir semua unsur masyarakat yang peduli terhadap agenda pemberantasan korupsi mengharapkan Presiden mengambil tindakan darurat. Upaya darurat yang dimaksud: menyatakan agar kepolisian menghentikan segala macam tindakan yang dapat dinilai sebagai bentuk kriminalisasi atas pimpinan lembaga anti rasuah ini.

Dalam batas penalaran yang wajar, permintaan darurat itu diperlukan karena ketidaktegasan sikap Presiden Jokowi dalam menghentikan upaya penggerogotan KPK. Misalnya, dalam beberapa kesempatan Jokowi mengajak KPK dan polisi memastikan proses hukum harus obyektif dan sesuai undang-undang (UU). Namun, nyatanya, kepolisian tetap meneruskan segala laporan masyarakat terhadap pimpinan KPK. Yang dirasakan, ajakan Jokowi menjadi kehilangan makna dan KPK benar-benar mengalami disfungsi.

Karena itu, sekiranya memiliki komitmen atas agenda pemberantasan korupsi dan KPK, Jokowi tidak perlu bersikap ambivalen dalam memberi pernyataan. Melihat situasi yang terjadi, proses hukum harus berjalan obyektif dan sesuai dengan UU mestinya dialamatkan langsung kepada polisi. Bahkan, berkaca dari skandal cicak vs buaya jilid I, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) secara tegas menyatakan bahwa kasus Bibit S Riyanto dan Chandra M Hamzah tidak perlu dilanjutkan sampai ke pengadilan.

Jangankan memilih langkah tegas, Tim Sembilan yang diharapkan menjadi tim independen untuk menelisik proses hukum terhadap Wakil KPK Bambang Widjojanto tidak pernah hadir sebagai tim dalam pengertian yang sesungguhnya. Selain tak memiliki landasan hukum yang kuat, Tim Sembilan juga tidak memiliki tugas eksplisit yang dapat bermuara pada penyelesaian sengkarut kriminalisasi atas KPK. Di tengah situasi yang tidak menentu tersebut, Jokowi membiarkan penyelesaian berlarut-larut.

Episentrum masalah

Melacak situasi sejak perubahan status hukum Budi Gunawan menjadi tersangka, tak bisa disangkal, silang sengkarut di sekitar kriminalisasi terhadap pimpinan KPK akan bisa diselesaikan jika Jokowi menarik kembali pengusulan bekas ajudan Megawati ini. Bahkan, sekalipun telah mendapatkan persetujuan dari DPR, dengan status hukum sebagai tersangka, Jokowi memiliki alasan moralitas hukum yang kuat tidak melantik yang bersangkutan menjadi Kapolri.

Bahkan, secara hukum, pejabat yang jadi tersangka diberhentikan sementara dari jabatannya. Paling tidak, berkaca dari pemerintahan sebelumnya, SBY memberhentikan beberapa menteri karena ditetapkan sebagai tersangka. Bahkan, UU Nomor 30 Tahun 2003 menyatakan bahwa dalam menjalankan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, KPK berwenang memerintahkan pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya.

Tidak hanya itu, di lingkungan internal kepolisian, PP Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum bagi Anggota Kepolisian Negara RI mengatur ihwal anggota Polri yang digadaikan tersangka. Terkait hal ini, Pasal 10 Ayat (1) PP No 3/2003 menyatakan bahwa anggota Polri yang dijadikan tersangka atau terdakwa dapat diberhentikan sementara dari jabatan kepolisian sejak dilakukan proses penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap. Ditambahkan lagi, pemberhentian guna kepentingan penyidikan dapat dilakukan secara langsung.

Pertanyaan elementer yang dapat dikemukakan: mengapa aturan hukum yang memungkinkan pemberhentian sementara tersebut tidak diberlakukan kepada Budi Gunawan? Pertanyaan ini menjadi maha-penting karena jika diberlakukan, segala kesempatan yang mungkin memanfaatkan institusi kepolisian untuk diperhadapkan dengan institusi KPK dapat diminimalkan. Bagaimanapun, dengan mengambil langkah pemberhentian sementara, Budi Gunawan jelas-jelas tidak memenuhi persyaratan lagi sebagai calon Kapolri. Ketika seorang calon tak memenuhi syarat, tidak tersedia lagi alasan hukum untuk tetap melantiknya.

Banyak kalangan percaya dan sudah menjadi bahasan umum, perlakuan "tidak senonoh" yang menimpa Bambang Widjojanto tidak mungkin melepaskan sama sekali dengan status tersangka Budi Gunawan. Dapat dipastikan, sekiranya status tersangka tidak ditetapkan KPK, tidak akan terjadi kriminalisasi terhadap pimpinan KPK. Dalam cara pandang ini, episentrum kekisruhan hubungan KPK dan kepolisian berada pada posisi penetapan status hukum Budi Gunawan. Dan, kekacauan yang mungkin terjadi dapat dikelola dan diminimalkan sekiranya status tersangka diikuti dengan tindakan pemberhentian sementara.

Menagih Jokowi

Dalam hitungan waktu, kekisruhan antara KPK dan polisi sebagai akibat status hukum Budi Gunawan belum sampai 20 hari. Namun, secara dampak, kejadian ini jauh lebih mengguncang dan berdampak maha-dahsyat terhadap KPK dan pemberantasan korupsi. Kejadian ini jauh lebih dahsyat mengguncang KPK daripada skandal cicak vs buaya jilid I atau kisruh akibat pengungkapan kasus suap simulator beberapa waktu lalu.

Selain persoalan internal, suasana tak menentu yang melanda KPK juga berdampak pada lumpuhnya agenda pemberantasan korupsi. Sebagai institusi yang diberi tugas khusus memberantas korupsi, sejak serangan mematikan berupa kriminalisasi terhadap pimpinan KPK, mereka yang sedang dalam proses seenaknya mengabaikan panggilan KPK. Bahkan, Budi Gunawan dan hampir semua saksi yang diperlukan keterangannya dalam kasus ini dengan alasan yang sulit diterima tidak memenuhi panggilan KPK.

Melihat bentangan fakta tersebut, Presiden Jokowi memiliki pilihan yang amat terbatas dalam menyelamatkan agenda pemberantasan korupsi. Pertama, sekembali dari luar negeri, Jokowi harus memenuhi janjinya dalam tempo waktu yang sesingkat-singkatnya untuk menyelesaikan persoalan di sekitar calon Kapolri. Untuk mengakhiri masalah ini, Jokowi tidak perlu lagi menggunakan argumentasi akan menunggu proses praperadilan selesai untuk menentukan nasib Budi Gunawan. Apalagi, secara hukum, status tersangka tidak masuk alasan yang dapat dipersoalkan ke praperadilan.

Oleh karena itu, yang ditunggu masyarakat sekembali dari kunjungan ke luar negeri, Jokowi segera mengumumkan tak akan melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri. Tak berhenti di situ, Presiden Jokowi segera mengumumkan calon baru untuk disampaikan ke DPR guna mendapat persetujuan. Secara politis, mayoritas kekuatan politik DPR akan menghormati segala keputusan yang diambil Presiden Jokowi. Paling tidak, di tengah ketegangan antara KPK dan polisi, dorongan bagi Jokowi mengajukan calon Kapolri baru cukup banyak bermunculan. Namun, satu hal yang perlu diingat, ketika hendak mengajukan nama pengganti calon yang akan diajukan, semestinya merupakan figur yang dapat memenuhi janji Jokowi seperti tertuang dalam Nawa Cita. Selain mengajukan calon Kapolri yang bersih, kompeten, dan anti korupsi, Jokowi harus mampu menyodorkan nama calon yang tak memiliki sentimen negatif terhadap KPK. Seandainya Jokowi mengajukan calon yang ramah terhadap KPK, akan lebih mudah merealisasikan janji lain yang tertuang dalam Nawa Cita, yaitu memastikan sinergi di antara KPK dan kepolisian.

Kini, setelah kembali dari kunjungan panjang ke beberapa negara jiran, Jokowi harus memenuhi janji untuk menuntaskan kekisruhan di sekitar calon Kapolri. Pilihan paling komprehensif, segera keluar dari episentrum kisruh antara KPK dan kepolisian. Bagi masyarakat, pemenuhan janji ini sekaligus titik penting untuk menilai komitmen Jokowi dalam memberantas korupsi. Tuan Presiden, kami percaya Anda memiliki nyali untuk ini.

Saldi Isra
Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

 

sumber: kompas

Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews