Sidang Jurnalis Inggris

Sidang Dua Jurnalis Inggris, Penasihat Hukum: Kalau Begini Jurnalis dengan Mudah Dikriminalisasi

Sidang Dua Jurnalis Inggris, Penasihat Hukum: Kalau Begini Jurnalis dengan Mudah Dikriminalisasi

Dua jurnalis Inggris yang didakwa menyalahgunakan visa dan melanggar UU Keimigrasian. (Foto: Edo Alba)

BATAMNEWS.CO.ID, Batam - Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Batam Bani Imanuel Ginting meminta Majelis Hakim Pengadilan Negeri Batam, menolak pembelaan (pledoi) penasihat hukum Neil Richard George Bonner dan Rebecca Bernadette Margaret Prosser, Senin (26/10/2015).

Jaksa Penuntut Umum Bani menyampaikan replik atau tanggapan atas pledoi penasihat hukum kedua terdakwa.

Sidang berlangsung sekitar pukul 13.30 WIB. Kedua terdakwa datang menggunakan baju tahanan, Bonner diborgol.

Jaksa menanggapi pledo yang menyatakan kedua terdakwa tak bersalah, namu jaksa tetap pada tuntutannya.

Mengenai pledoienasihat hukum mengatakan kegiatan terdakwa praproduksi film dokumenter, jaksa menanggapi, fakta yang tergambar tidak menemukan dasar hukum yang jelas.

Di Malaysia mereka telah memiliki izin. Lokasi syuting harus izin pihak terkait pariwisata.

Mengenai saksi tak diperintahkan terdakwa namun oleh Zamira Lubis. Jaksa mengatakan bahwa, Zamira sebagai penerjemah bukanlah pembuat skenario.

Kedua terdakwa didanai Wall to Wall untuk membuat film dokumenter bagi National Geographic.

Rencananya, keduanya melakukan kegiatan jurnalistik di pelabuhan Jakarta, Sulawesi, dan Batam. Bonner sebagai produser dan Prosser sebagai sutradara.

Surat Kedubes Inggris di Jakarta berisi surat permintaan maaf pada 16 Juni. Keluarga juga meminta maaf telah mengambil gambar tanpa izin.

“Mengenai hal itu di luar dari tuntutan kami,” kata Jaksa Penuntut Umum Bani Ginting.

Jaksa juga menanggapi mengenai rara terdakwa yang dikatakan penasihat hukum, tak terbukti secara umum melakukan tindak pidana, karena belum melakukan kegiatan jurnalistik, menurut jaksa, mereka tak fokus ke jurnalistik melainkan izin tinggal, hanya saja kasus tersebut menyangkut kegiatan jurnalistik.

“Kegiatan syuting diketahui belum ada izin. Mengenai saksi yang lain, kami sudah berusaha mendatangkan saksi. Kami tak ada melanggar hukum,” ujar Bani Ginting.


Jaksa juga tak lupa menanggapi mengenai pledoi yang mengatakan, tuntutan tak terbuki, jaksa mengatakan kegiatan syuting film dokumenter tersebut dinyatakan sudah selesai.

“Kemudian sanksi pidana upaya terakhir dalam kasus ini? Tak terlau relevan kami tak perlu menanggapi,” ujar dia.

Berdasarkan barang bukti dan keterangan saksi kami menyimpulkan kedua terdakwa secara meyakinkan bersalah.

“Meminta, meminta majelis hakim menolak pledoi penasihat. Menolak semuan yang disampaikan dalam persidangan. "Meminta majelis hakim memutuskan sesuai dengan tuntutan," ujar Bani.

Duplik

Dalam dupliknya, penasihat hukum Neil dan Rebecca mengatakan, kasus ini membahayakan profesi jurnalis. 

Menurut penasihat hukum, jaksa tidak mendefenisikan apa itu film dokumenter, tidak ada UU Pers, serta Permen Kominfo dalam dakwaan maupun tuntutan. 

“Bahwa kegiatan jurnalistik memiliki rangkaian kegiatan, mencari, mengumpulkan dan mengolah, memiliki dan akan dimuat atau ditayangkan. Menurut Dewan Pers telah menjelaskan mengenai kegiatan jurnalistik," ujar Aristo Pangaribuan, penasihat hukum Bonner dan Prosser.

Kata Aristo Pangaribuan, penasihat hukum terdakwa, bahwa mereka tak pernah menyebutkan kedua terdakwa  tidak tahu apa-apa. “Kegiatan jurnalistik bukan sebuah kegiatan yang satu kegiatan,” ujar dia.

"Mereka sudah minta izin ke Kedutaan Indonesia di London, mengenai kegiatan mereka, tidak ada kegiatan yang disembunyikan," ujar dia.

Kegiatan serupa berlangsung di Malaysia dan Singapura. Di sana mereka disambut baik. Di sinopsis itu bisa dilihat skenario dan itu tak sama persis dengan kegiatan di Indonesia.

Di Singapura tak perlu izin khusus seperti di Indonesia. "Proses perizinan di Indonesia kita akui lebih rumit," ujar Aristo.

Aristo mengatakan ini adalah kriminalisasi terhadap pers. Ini akan menjadi preseden buruk terhadap dunia jurnalistik. "Setiap jurnalis bisa dipidana kalau begitu," ujar Aristo.

Penasihat hukum mendesak jaksa menghadirkan otak dari kasus tersebut, namun tak bisa dihadirkan.

Sejak 28 Mei hingga 26 Juli tak jelas status hukumnya, kemudia tiba-tiba dinyatakan menempuh jalur pidana. "UU Imirgasi tak mewajibkan mempidanakan kasus seperti ini," ujar Aristo.

Kami minta pertimbangan majis hakim membebaskan terdakwa dari dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum.

Kalaupun terbukti, tapi bukan sanksi pidana, kami mohon terdakwa dibebaskan. Minta barang bukti dikembalikan. Denda Rp 50 juta sangat berat.  "Sangat mahal," ujar Aristo.

 

[edo]


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews