Ulama Saudi Ditahan Protes Kebijakan Mengecilkan Volume Pengeras Suara Masjid

Ulama Saudi Ditahan Protes Kebijakan Mengecilkan Volume Pengeras Suara Masjid

Kota Mekkah. (Foto: ilsutrasi/AFP)

Ridyadh, Batamnews - Pemerintah Arab Saudi dikabarkan telah menahan seorang ulama setempat karena ia mengkritik kebijakan pemerintah yang memerintahkan masjid-masjid di seluruh negeri untuk mengecilkan volume azan.

Omar Abdullah al-Saadoun, seperti dilansir dari The Washington Post, Selasa (3/8/2021), dibui karena ia menulis sebuah opini berisi kritik atas kebijakan Putra Mahkota Muhammad bin Salman (MBS) yang memerintahkan untuk mengecilkan volume pengeras suara masjid di Saudi.

Dalam opini yang dimuat sebuah media online, Al Saadoun mengatakan bahwa jika volume pengeras suara masjid dikecilkan, ia khawatir warga akan berkumpul di dalam masjid untuk mendengarkan kajian dan melanggar aturan pembatasan dari pemerintah untuk mencegah penularan wabah Covid-19.

"Rumah-rumah tak lagi mendengar kajian dan lantunan ayat-ayat Al Quran, dan yang lebih dikhawatirkan adalah kebijakan ini akan melemahkan motivasi orang untuk melaksanakan salat berjamaah," tulis Al Saaodun.

Al Saadoun bukan satu-satunya yang memprotes kebijakan Saudi ini. Tak lama setelah kebijakan ini diumumkan pada Mei lalu, warganet Saudi melontarkan protes via Twitter. Mereka menggaungkan seruan yang mengatakan bahwa "azan adalah tuntutan rakyat."

Tetapi pemerintah Saudi, lewat Menteri Urusan Agama Islam, Abdullatif Al as-Sheikh menuding bahwa kritik atas kebijakan pemerintah itu dilontarkan oleh "para musuh kerajaan yang ingin menggiring opini publik, meragukan keputusan pemerintah, serta mengoyak ikatan bangsa."Al Saadoun bukanlah ulama besar di Saudi dan namanya kurang dikenal, kecuali karena opininya yang tersebar luas di internet itu. Tetai Ia tetap ditangkap dan akun Twitter-nya pun kini tak lagi mencuit.

 

Reformasi yang otoriter

Pemenjaraan atas Al Saaodun ini dinilai sebagai gejala yang umum di Saudi saat ini. Tidak hanya ulama konservatif, para aktivis liberal juga semakin sering terjadi. Muhammad bin Salman dinilai berusaha untuk melakukan reformasi, menjadikan Saudi sebagai negara yang lebih liberal tetapi dengan cara-cara otoriter.

"Kita tahu bahwa sejak MBS menempuh jalan ganda, melakukan reformasi dan sekaligus meningkatkan represi, pendekatan yang digunakan adalah top-down. Reformasi bukan mengikuti kehendak rakyat, tetapi semata-mata menuruti kemauannya sendiri," kata Hiba Zayadin, peneliti Saudi dari Human Rights Watch.

"Siapa saja yang membuka suara akan menerima risiko besar, tidak saja untuk diri mereka sendiri tetapi juga untuk keluarga serta orang-orang dekat mereka," lanjut Zayadin, mengacu pada pemenjaraan atas keluarga serta rekan-rekan para pengkritik pemerintah di Saudi.

Sejak 2017, pemerintah Saudi gencar menangkap dan memenjarakan aktivis liberal maupun kelompok konservatif. Para cendikiawan, baik yang berhaluan garis keras maupun pendukung keterbukaan akan ditangkap selama mereka menentang kebijakan pemerintah.

Meski dipuji karena mengizinkan perempuan mengemudi, menonton pertandingan sepak bola di stadion, membuka bioskop, menggelar konser musik, dan menghapus pembagian ruangan berdasarkan gender di restoran, Saudi juga masih terus menangkapi para aktivis pejuang hak perempuan di negerinya.

Sementara aktivis HAM yang memperjuangkan pemenuhan hak-hak dasar publik juga masih dibungkam. Para jurnalis yang mengkritik pemerintah ditahan dan bahkan dibunuh.

 

Pada Desember 2020 lalu Saudi memecat sejumlah besar imam masjid karena tak mengikuti panduan pemerintah untuk mengecam kelompok Ikhwanul Muslimin di mimbar-mimbar masjid.

Arab Saudi secara resmi menyatakan Ikhwanul Muslimin, gerakan politik Islamis yang berawal dari Mesir, sebagai organisasi teroris.

Menteri Al as-Sheikh menegaskan bahwa meski para imam masjid itu tak mendukung Ikhwanul Muslimin, mereka akan tetap dipecat karena "tak mau mengikuti petunjuk pemerinetah atau terlalu lamban dalam melaksanakannya. Mereka akan diganti oleh orang-orang yang siap melaksanakan perintah kerajaan."

Konsolidasi kekuasaan

Di bawah kendali Muhammad bin Salman, banyak perubahan terjadi di Saudi. Meski banyak warga Saudi yang menyambut positif perubahan tersebut, tetapi banyak pula kritik atas cara-cara kebijakan tersebut ditegakkan.

Paling mengemuka adalah tudingan bahwa perubahan yang dilakukan sang putra mahkota tak lain upaya konsolidasi kekuasaan dan upaya membungkam mereka yang menentangnya.

Raja Salman bin Abdulaziz, yang kini berusia 85 tahun, naik takhta sejak 2015 lalu dan di tahun yang sama ia mengangkat Bin Salman sebagai menteri pertahanan, menteri negara, dan sekretaris jenderal istana kerajaan.

Pada 2017, Raja Salman mengangkat Muhammad bin Salman, putera kesayangannya sebagai putra mahkota menggantikan keponakannya, Pangeran Mohammad bin Nayef dalam insiden yang disebut-sebut sebagai kudeta tak berdarah dalam Istana Saudi.

Adapun Pangeran Muhammad bin Nayef, setelah dicopot dari jabatan-jabatannya, kemudian dijadikan tahanan rumah.

 

Bin Salman yang lahir pada 31 Agustus 1985 itu dikenal ambisius, sekaligus ceroboh. Intelijen Jerman pada 2015 lalu merilis peringatan yang mengatakan bahwa ambisi Bin Salman bisa mengganggu stabilitas Arab Saudi dan bahkan kawasan Timur Tengah.

Bin Salman sendiri disebut-sebut sebagai arsitek Perang Yaman yang hingga kini belum juga berakhir. Ia juga menggalang negara-negara Teluk untuk memblokade tetangganya yang tajir, Qatar pada 2017.

Pada 2017 ia menuding Turki sebagai bagian dari segitiga iblis yang baru bersama musuh bebuyutan Saudi, Iran dan Ikhwanul Muslimin. Ia juga dipercaya sebagai otak di balik pembunuhan wartawan Jamal Khasoggi pada 2018 di kantor Konsulat Saudi di Instanbul.

Tetapi Bin Salman juga dikenal ambisius. Pada November 2017 ia memerintahkan penangkapan atas 200 pangeran, menteri, petinggi militer, dan jutawan Saudi atas tudingan korupsi. Mereka ditahan di Hotel Ritz Charlton, Riyadh.

Penangkapan itu diduga merupakan bagian dari upaya menyingkirkan para penentang Bin Salman di dalam pemerintahan. Beberapa pejabat yang ditangkap kemudian dipecat dan digantikan oleh orang dekat sang pangeran.

Reformasi institusi keagamaan di Saudi juga gencar dilakukan untuk menggeser ulama-ulama yang berseberangan dengan Bin Salman. Sejak 2017 sejumlah kadi di Kementerian Hukum dicopot. Sementara wewenang untuk mengeluarkan fatwa dicabut dari Kementerian Kehakiman dan diserahkan ke sebuah lembaga baru yang bertanggung jawab kepada Raja Salman seorang.

Selain itu wewenang Kementerian Urusan Agama Islam juga dipreteli, sehingga tak bersuara ketika para ulama penentang pemerintah ditahan. Sebagian wewenang kementerian itu kini diambil alih oleh Liga Muslim Dunia, yang berwenang mengurus aktivitas dakwah di dunia.

 

Di saat yang sama Saudi menerapkan beberapa peraturan baru yang dinilai lebih ramah pada bisnis, sesuai dengan Visi 2030 yang dicanangkan Bin Salman pada 2015 untuk mengurangi ketergantungan negara pada minyak dengan membuka sumber-sumber pendapatan baru.

Terbaru pada Juli lalu Arab Saudi mengizinkan restoran, pusat perbelanjaan, dan bisnis lain untuk tetap buka meski sudah saatnya salat 5 waktu.

"Hari-hari yang tidak nyaman itu kini sudah berakhir," tulis sebuah artikel di media online Arab News menyambut keputusan bersejarah tersebut.

Menurut The Post dengan melemahkan institusi-institusi keagamaan di Saudi, Bin Salman tidak saja sedang melibas lawan-lawannya, tetapi di saat yang sama dengan sangat ambisius mengubah kontelasi pembagian kekuasaan antara ulama dan umara yang menjadi dasar pendirian Kerajaan Saudi.


Komentar Via Facebook :
close

Aplikasi Android Batamnews